Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Gender dan Terorisme: Tidak Semua Wanita Itu Cinta Damai
30 Desember 2020 7:06 WIB
Tulisan dari Rista Vauza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Adanya konstruksi sosial yang banyak mengamini bahwa wanita merupakan makhluk yang diciptakan untuk menjadi Ibu yang memiliki jiwa pengasuh, cinta damai, dan feminin. Sehingga masyarakat memandang wanita sebagai kaum yang lebih lemah daripada pria dan menimbulkan adanya genderisasi. Tanpa disadari, dikotomi gender ini juga berdampak buruk bagi keduanya, karena pria diharuskan menjadi sosok yang kuat dan berwibawa, begitupun wanita harus menjadi sosok yang lemah lembut dan penurut. Apabila pria berperilaku feminin dan wanita berperilaku maskulin, perilaku mereka dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan standar yang diamini oleh masyarakat. Cara pandang tersebut merupakan cara pandang yang berkaitan dengan adanya budaya patriarki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Max Weber (1947) dalam tulisan Errol Miller yang berjudul “Gender, Power and Politics: An Alternative Perspective”, menyatakan bahwa Patriarki itu merupakan konstruksi sosial yang membuat ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. Ada 2 elemen dalam partiarki, yakni adanya marjinalisasi pria dan marjinalisasi wanita. Contohnya dalam konteks perang yang mengharuskan pria sebagai pemimpin, sosok yang kuat, sanggup berperang dan memenangkan peperangan. Namun, tidak semua pria memiliki orientasi sebagai sosok yang maskulin dan sanggup menjadi pemimpin yang memenangkan peperangan. Pria seringkali dipaksa untuk menjadi pemimpin perang, apabila ia tidak sanggup, maka ia akan dikucilkan bahkan ditindas karena dianggap tidak layak menjadi seorang pria. Bahkan apabila pria kalah dalam berperang, ia akan menjadi tawanan perang bahkan bisa dibunuh karena cara pandang patriarki yang menganggap pria tersebut tidak memiliki kekuatan yang seimbang dengan lawannya. Oleh karena itu, muncul studi gender yang dibentuk untuk menghilangkan cara pandang patriarki tersebut. Studi gender berusaha untuk menyampaikan bahwa peranan pria dan wanita secara sosial dan alamiah itu tidak bisa disamakan. Hal tersebut berarti bahwa pria bisa menjadi feminin dan wanita bisa menjadi maskulin.
ADVERTISEMENT
Mengapa Wanita Melakukan Aksi Teror?
Wanita sejak lama dianggap sebagai makhluk yang cinta damai. Wanita dinilai sebagai aktor yang bertanggung jawab untuk menghasilkan keturunan dan berperan dalam ranah domestik. Nilai-nilai tersebut seringkali membuat wanita dianggap sebagai juru damai, padahal tidak semua wanita cinta damai. Wanita juga bisa menjadi abusive, menjadi aktor dalam perang, bahkan melakukan aksi teror. Pernyataan Mia Bloom (2011) dalam tulisan Kathleen Turner yang berjudul “Femme Fatales – Why Women are Drawn to Fight with Violent Extremist Groups” menyatakan bahwa ada 5 faktor yang menjadi alasan wanita untuk melakukan aksi teror. Faktor tersebut antara lain; (1) Revenge (balas dendam) karena kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya atau karena melawan pemerintahan yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya, (2) Redemption (Penebusan) yang membuat wanita melakukan aksi teror sebagai salah satu cara untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu, (3) Relationship (hubungan) yang telah berhasil membuat banyak wanita masuk kedalam organisasi teroris seperti ISIS karena ia memiliki hubungan dekat dengan teroris itu sendiri (memiliki suami atau keluarga teroris), (4) Respect (rasa hormat) yang membuat wanita ingin membuktikan bahwa mereka mampu untuk sejajar dengan kekuatan pria sehingga, (5) Rape (pemerkosaan) digunakan untuk memaksa wanita agar bergabung dengan kelompok teroris. Banyak wanita yang beranggapan bahwa setelah ia mengalami pelecehan seksual, ia tidak bisa kembali ke lingkugannya dan menganggap bahwa ia sudah tidak berharga. Oleh karena itu, wanita yang mengalami pelecehan seksual lebih mudah dipengaruhi untuk bergabung menjadi teroris.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus: Wanita dan Al-Qaeda
Al-Qaeda merupakan salah satu organisasi teroris internasional yang didirikan oleh Osama bin Laden. Al-Qaeda memanfaatkan kekuatan perempuan untuk membantu mereka dalam melakukan aksi teror. Von Knop (2006) dalam tesis Olivia M. Bizovi (2014) mengatakan bahwa Osama bin Laden memanfaatkan wanita untuk berperan penting sebagai pendukung, fasilitator, dan promotor dalam menjalankan Jihad (Bizovi, 2014). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Jennie Stone dan Katherine Pattillo dalam “Al-Qaeda’s Use of Female Suicide Bombers in Iraq: A Case Study”, bahwa Al-Qaeda mempekerjakan wanita sebagai pelaku teror bom bunuh diri, seperti yang terjadi di Tal Afar, Irak pada 28 September 2005. Melalui kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa peran gender telah berhasil dimanupulasi. Para wanita pelaku bom bunuh diri tersebut dapat lolos saat melewati pos pemeriksaan keamanan dan berhasil melakukan serangan tanpa menarik banyak perhatian. Aksi yang terkesan rapi tersebut dapat mematahkan stigma bahwa wanita itu lemah lembut dan cinta damai. Terbukti dengan adanya kasus bom bunuh diri tersebut, membuat wanita juga bisa berperan maskulin dan menyebarkan teror.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus: Muriel Degauque Sebagai Pelaku Bom Bunuh Diri Pertama di Eropa
Muriel Degauque merupakan seorang wanita yang berasal dari Charleroi, Belgia dan ia menjadi seorang mualaf setelah menikah dengan suaminya. Menurut pernyataan Katherine E. Brown dalam artikelnya yang berjudul “Muriel’s wedding: News media representations of Europe’s first female suicide terrorist” menjelaskan bahwa alasan Muriel melakukan aksi teror ialah karena pandangan radikalisme yang dimilikinya sejak menikah dengan suaminya. Setelah menikah, Muriel dan suaminya memutuskan untuk pindah dan menetap di Irak. Puncaknya, pada 9 November 2005, Muriel melakukan aksi bom bunuh diri di Baquba, Irak. Suami Muriel juga dikabarkan tewas saat melakukan aksi bom bunuh diri di tempat yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Setelah mengetahui dua contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa peran wanita dalam aksi teror semakin meningkat. Banyak alasan dibalik keterlibatan wanita dalam melakukan aksi teror, sebagian besar karena mereka berkeinginan untuk melakukan aksi teror yang didukung oleh adanya pengaruh dari kerabat terdekat, seperti keluarga atau suami. Selain itu, karena faktor kekerasan seksual juga membuat wanita sangat mudah dihasut untuk ikut dalam aksi teror. Wanita yang telah diperkosa dianggap telah membawa aib keburukan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka didoktrin untuk ikut dalam kelompok teror sebagai cara untuk menebus dosa mereka, mengembalikan kehormatan bagi diri sendiri dan keluarga mereka, serta menghilangkan rasa malu yang timbul. Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, tentunya sangat memungkinkan apabila wanita akan terus terlibat dalam jaringan teroris.
ADVERTISEMENT
Referensi
BBC NEWS UK. (2005, Desember 2). Journey of Belgian female 'bomber'. Dipetik Desember 30, 2020, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4491334.stm
Bizovi, O. M. (2014, Desember). Deviant Women: Female Involvement in Terrorist Organizations. Pennsylvania: Mercyhurst University. Dipetik Desember 29, 2020, dari https://www.mercyhurst.edu/sites/default/files/uploads/799711-bizovi-thesis-final.pdf
Miller, E. (201). Gender, Power and Politics: An Alternative Perspective. Dalam I. Skjelsbæk, & D. Smith (Penyunt.), Gender, Peace and Conflict (hal. 80-103). SAGE Publications Ltd. doi:http://dx.doi.org/10.4135/9781446220290
Sciolino, E., & Mekhennet, S. (2008, Mei). Al Qaeda Warrior Uses Internet to Rally Women. The New York Times. Dipetik Desember 30, 2020, dari https://www.nytimes.com/2008/05/28/world/europe/28terror.html
Stone, J., & Pattillo, K. (2011). Al-Qaeda’s Use of Female Suicide Bombers in Iraq: A Case Study. Dalam L. Sjoberg, & C. E. Gentry (Penyunt.), Women, Gender, and Terrorism (hal. 159-175). Athens: University of Georgia Press.
ADVERTISEMENT
Turner, K. (2016, April 1). Femme Fatales – Why Women are Drawn to Fight with Violent Extremist Groups. Dipetik Desember 29, 2020, dari https://s3.amazonaws.com/fwvcorp/wp-content/uploads/20160419155228/FemmeFatales.pdf
UK, B. N. (2005, Desember 2). Journey of Belgian female 'bomber'. BBC. Dipetik Desember 30, 2020, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4491334.stm