Rusia-Ukraina: Masalah Kompleks dan Gagalnya Resolusi Konflik Total

Riswanda Imawan
Hubungan Internasional UMY
Konten dari Pengguna
1 Maret 2023 14:46 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riswanda Imawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden AS Joe Biden disambut oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky selama kunjungan di Kiev, Ukraina, Senin (20/2/2023). Foto: Dimitar DILKOFF / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS Joe Biden disambut oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky selama kunjungan di Kiev, Ukraina, Senin (20/2/2023). Foto: Dimitar DILKOFF / AFP
ADVERTISEMENT
Deklarasi perang oleh Rusia terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022, benar-benar menjadi krisis global terbesar pasca pandemi Covid-19. Bulan ini, tepat setahun konflik tersebut berlangsung. Memang, itu adalah krisis yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia II, dan kemungkinan memicu perang yang lebih dahsyat, yaitu perang nuklir. Faktanya, konflik yang sedang berlangsung di Eropa pasti memiliki dampak buruk pada stabilitas global. Selain itu, menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan komunitas internasional untuk mencegah konflik melalui beberapa cara dalam resolusi konflik.
ADVERTISEMENT
Perang ini menjadi bukti dari kegagalan pendekatan konflik melalui diplomasi yang telah ada selama beberapa abad. Selain itu, konflik yang terus muncul menunjukkan kepada kita bahwa dinamika konflik secara global tidak dipahami dengan baik dan benar oleh aktor-aktor global, dalam hal ini negara. Hal ini disebabkan karena kesenjangan antara teori dan realitas yang sangat jauh.
Tulisan ini akan membahas mengenai kompleksitas masalah dan kegagalan total resolusi konflik dalam konflik Rusia dan Ukraina. Pertama, kita harus memahami dengan baik dinamika konflik. Kedua, mengawinkan teori dan realitas, dan mengurangi kesenjangan di antara mereka. Dan berujung pada jalan keluar yang komprehensif, terstruktur dengan baik, inklusif, dan lebih efisien yang bertujuan untuk mencegah konflik apa pun sebelum berubah menjadi bencana.
ADVERTISEMENT
Dinamika konflik saat ini sudah dimulai melalui diplomasi yang gagal. Diplomasi sebagai tindakan preventif dan resolusi konflik telah ditekankan dalam Hubungan Internasional pada beberapa dekade terakhir. Pada kenyataannya, hari ini negara-negara akan lebih memilih penyelesaian menggunakan hard power untuk mencapai tujuan terlepas dari kerugian yang akan ditimbulkan.
Mari kita bahas, pertama, sistem yang ada saat ini dimainkan oleh konflik yang tidak hanya melibatkan negara-negara kecil dengan kekuatan militer kecil tetapi sekaligus melibatkan negara-negara adidaya seperti Rusia dengan NATO. Dewasa ini, konflik-konflik tersebut semakin kompleks dan melibatkan banyak parameter seperti ekonomi, geopolitik, agama, ketahanan pangan, dan lain sebagainya.
Kedua, munculnya konflik antar negara menjadi pertanyaan besar terkait peran dari PBB dan Security Council dalam menjaga perdamaian dan stabilitas dunia. Hal ini menjadi masalah, karena pada faktanya sistem global yang ada saat ini ternyata juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, khususnya dalam hal resolusi konflik. Permasalahan ini harus segera ditangani sebelum potensi konflik lain muncul (Tiongkok dan Taiwan, Korea Utara dan Korea Selatan, dll).
ADVERTISEMENT
Hasilnya conflict prevention telah berkembang dari definisi-definisi klasik, salah satunya melalui Agenda for Peace di tahun 1992 yaitu tentang upaya preventif melalui diplomasi untuk mencegah perselisihan dan eskalasi konflik. Conflict Prevention telah menjadi elemen kunci dari “peace continuum” yang diusulkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guteres, yang juga sejalan dengan “sustaining peace” atau skema pembangunan perdamaian oleh PBB. Saat ini, Conflict Prevention menjadi bagian dari resolusi konflik.
Evolusi konflik antar negara (state) dalam bentuk perang atau disebut juga dengan cara hard power dalam beberapa dekade terakhir juga turut serta memberikan peran dalam perkembangan perdamaian. Perdamaian yang dimaksud adalah upaya resolusi konflik itu terjadi. Resolusi konflik telah memberikan peran yang penting pada perdamaian dunia.
ADVERTISEMENT
Pertama, tindakan preventif ini menggantikan peran “reactive approaches” terhadap konflik. Dalam penelitian United Nations dan World Bank menunjukkan bahwa tindakan preventif lebih efisien dalam hal sumber daya dan lebih efektif terhadap hasil. Kedua, konsep resolusi konflik ini telah diperluas dalam berbagai aspek perdamaian untuk mengatasi konflik senjata dan ketidakstabilan. Dengan demikian, konstruksi perdamaian bersifat ‘holistik’ termasuk pada sustainable development, justice, dan environmental issues.

Masalah Kompleks

Seorang pria berjalan dengan sepedanya melintasi puing-puing di luar pusat perbelanjaan Retroville yang hancur di Kiev, Ukraina, pada 21 Maret 2022. Foto: Aris Messinis/AFP
Dalam kasus Rusia dan Ukraina diperlukan pemahaman terkait konflik modern, seperti yang telah dibahas di atas. Hal tersebut juga dapat dilihat seperti alasan dibalik perang ini, implikasi regional dan global.
Sejak kemerdekaan ditahun 1991, Ukraina adalah negara satelit Rusia yang pada kebijakannnya dipengaruhi oleh politik Pemerintahan Rusia. Dibawah pengaruh tersebut, Ukraina menjadi negara yang terpuruk. Dengan kondisi tersebut, rakyat Ukraina kemudian menjalankan sebuah bentuk revolusi yang menginginkan perubahan. Revolusi ini dijalankan di Ibukota Kiev mulai tahun 2004 – 2005. Namun kesalahan justru terjadi ketika presiden terpilih, Yushchenko justru menginginkan adanya demokratisasi di Ukraina dan peningkatan perekonomian melalui integrasi dengan Uni Eropa. Ini merupakan kekalahan pertama Rusia karena calon dukungan presidennya kalah.
ADVERTISEMENT
Masalah internal yang berkembang lainnya adalah pada kondisi yang terjadi di Ukarina, lebih spesifiknya pada kondisi perbedaan etnis, bahasa sehari-sehari dan agama di masyarakat pada beberapa wilayah di Ukraina yang pada akhirnya juga turut menjadikan hubungan kedua negara tersebut tidak baik. Perbedaan etnis tersebut terjadi pada beberapa daerah seperti Donetsk, Luhansk, dan Krimea. Masyarakat di daerah-daerah tersebut mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari negara Rusia.
Hal ini berhubungan dengan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan yakni bahasa Rusia. Untuk menanggulanginya, pemerintah Ukraina melakukan Ukrainisasi di wilayah-wilayah tersebut dengan cara membuat kebijakan dalam bentuk undang-undang yang berisi ketentuan penggunaan bahasa Ukraina pada sebagian besar aspek kehidupan publik.
Undang-undang tersebut memiliki tujaun untuk merevitalisasi bahasa Ukraina dan merupakan bentuk penguatan identitas nasional pasca lengsernya Uni Soviet. Hal ini justru menimbulkan diskriminasi terhadap masyarakat di wilayah-wilayah tersebut, dan memicu Rusia untuk turut serta memainkan perannya dengan melakukan invasi pada 2002, alasannya adalah melindungi etnis Rusia dan populasi berbahasa Rusia di Ukraina.
ADVERTISEMENT
Berlanjut pada tahun 2013 ketika Presiden Ukraina saat itu Victor Yanukovich yang dianggap condong pada Rusia menolak untuk melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Victor memilih menerima bantuan pinjaman sebesar 15 Miliar USD dari Rusia dan potongan 30 persen harga gas Rusia. Keputusan tersebut kembali menuai gelombang protes di Ibukota Kiev. Protes dilakukan dengan kekerasan dan puluhan demonstran luka-luka serta terbunuh.
Berbagai upaya mediasi dilakukan oleh pemerintah Ukraina dengan melibatkan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Polandia. Namun juga tidak meredam gelombang protes yang terjadi hingga setahun berlangsung. Karena konflik yang tak kunjung selesai ini, Presiden Victor Yanukovich mundur dan digantikan sementara oleh Presiden Olexander Turchynnov. Tak kunjung ada perubahan memasuki tahun 2015, Presiden Ukraina dijabat oleh tokoh yang Pro dengan Uni Eropa, yaitu Presiden Petro Poroshenco. Perubahan arah politik Pemerintahan Ukraina ini, membuat tindakan Rusia semakin agresif terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Hubungan keduanya diperburuk dengan status Krimea terhadap Rusia. Tudingan Ukraina pada Rusia terkait campur tangan referendum Krimea dan kemudian bergabung dengan Rusia, sedangkan klaim Rusia mengatakan tidak melakukan intervensi atas referendum tersebut. Selain itu sejak era Presiden Petro Poroshenco yang dianggap pro dengan Uni Eropa, Rusia merasa terancam. Perubahan politik tersebut memicu adanya intervensi Uni Eropa dan Amerika Serikat yang tergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Sebagai upaya diplomasinya, Pemerintah Rusia telah mengirimkan surat tuntutan kepada NATO, salah satu poinnya adalah menolak ide bergabungnya Ukraina kedalam organisasi tersebut.
Jauh sebelum hal diatas, Rusia dan Ukraina setidaknya pernah menjadi negara yang berteman akrab sejak kemerdekaan Ukraina pada 1991 silam. Surat ini menjadi respon Putin atas permintaan Presiden Zelensky untuk bergabung dengan NATO. Zelensky menganggap bahwa latihan militer yang dilakukan oleh Putin pada wilayah perbatasan merupakan ancaman dari Putin terhadap negaranya. Beberapa negara juga turut serta membantu mendamaikan kedua negara tersebut, yaitu Turki dan Israel namun juga tidak membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Penjelasan diatas adalah sedikit gambaran mengenai beberapa penyebab mengapa konflik ini terjadi. Kedua negara sejak terpisah sejak era Uni Soviet tidak menunjukan hubungan yang baik, termasuk warga Ukraina yang juga terpecah belah. Polarisasi tersebut memperburuk keadaan dalam negeri Ukraina. Keinginan masyarakat Ukraina Barat yaitu melakukan kerjasama dengan negara-negara Eropa dan bergabung dengan NATO.
Sedangkan hal ini tidak disukai oleh Rusia karena dianggap ancaman pada negara mereka. Masyarakat Ukraina Timur pun juga condong untuk bergabung pada Rusia karena kesamaan etnis dan bahasa. Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa masalah yang terjadi pada Rusia dan Ukraina tidak hanya sebatas hubungan negara yang tidak baik atas beberapa kebijakan dan keputusan, namun juga terjadi pada masyarakat didalam negeri Ukraina terhadap Rusia dan Eropa.
ADVERTISEMENT

Kegagalan Upaya Resolusi Konflik Total

Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiri pertemuan dengan karyawan pabrik Obukhovsky, yang merupakan salah satu lokasi produksi produsen rudal Rusia Almaz-Antey, di Saint Petersburg, Rusia. Foto: Sputnik/Ilya Pitalyov/Pool via REUTERS
Dalam teori resolusi konflik menurut Fisher adalah suatu usaha untuk menangani penyebab konflik dan berusaha membangun hubungan yang lebih baik serta dapat bertahan lama diantara pihak-pihak yang terlibat. Johan Galtung juga berpendapat bahwa terdapat beberapa cara dalam rangka proses resolusi konflik. Diantaranya adalah melalui peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding. Selaras dengan Fisher, ketiga model tersebut bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dalam jangka panjang meskipun ketiganya memiliki dimensi yang berbeda-beda.
Tulisan ini menekankan pada model peacekeeping, salah satunya mediasi. Mediasi adalah salah satu bentuk alternatif resolusi konflik di luar pengadilan. Ada beberapa syarat dasar agar proses mediasi tersebut berjalan dengan baik, diantaranya adalah nilai tawar menawar yang sama, kedua belah pihak memiliki keyakinan untuk memiliki orientasi yang sama dimasa mendatang, adanya urgensi untuk diselesaikan, dan kedua belah pihak dapat berkompromi untuk menyelesaikan konflik keduanya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat beberapa upaya yang dilakukan beberapa pihak agar tidak terjadinya konflik ini, termasuk oleh Rusia dengan menyurati NATO untuk menolak Ukraina bergabung. Hal tersebut menjadi salah satu upaya Putin untuk tidak mencoba hal-hal yang tidak diinginkannya. Putin juga meminta agar Barat termasuk NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Sayangnya, tidak direspon dengan baik oleh Presiden Joe Biden yang justru akan memberikan dukungan apabila Rusia melakukan invasi.
Usaha lainya adalah dengan adanya pertemuan diplomatik pada 10 Januari 2022 antara perwakilan AS dan Rusia di Jenewa, pertemuan tersebut juga tidak memberikan solusi. Moskow memberikan tuntutatn yang terkait dengan keamanan. Pada 24 Januari justru direspon oleh NATO dengan menempatkan pasukan dengan posisi siap siaga dan memperkuat militernya, termasuk AS yang menempatkan lebih dari 8.500 pasukannya pada wilayah perbatasan Rusia.
ADVERTISEMENT
Namun AS melalui NATO memberikan tanggapan lain secara tertulis dengan menunjukan kembali prinsip organisasi tersebut dengan “pintu terbuka”. Selain itu, dialog damai yang dimediasi oleh Turki juga tidak memberikan kemajuan seperti yang diinginkan yaitu gencatan senjata. Turki memiliki hubungan yang baik dengan keduanya, sehingga pada beberapa kesempatan akan memberikan bantuan pada masing-masing pihak dengan tidak mengurangi rasa hormat pada keduanya.
Kegagalan mediasi ini karena masing-masing pihak belum memiliki kesepakatan yang dapat diterima. Penawaran yang diberikan oleh Rusia dianggap sangat merugikan Ukraina. Diantaranya adalah netral terhadap NATO secara konsisten, mengakui Krimea dan memberikan kemerdekaan pada Donbas (Donetsk dan Luhansk). Posisi Ukraina sangatlah dirugikan, mereka hanya mampu memenuhi beberapa tuntutan saja. Oleh karena itu, resolusi konflik ini tidak akan terjadi jika kedua negara tidak merubah tuntutan dan kesepakatannya.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya yang telah dijelaskan diatas adalah beberapa penjelasan bahwa pada kasus konflik Rusia dan Ukraina memiliki latar belakang masalah yang berlarut-larus dan kompleks ditambah dengan keduanya juga saling menaruh curiga dan saling tidak percaya. Karena hal dasar yang dapat dibangun dalam resolusi konflik itu sendiri adalah menjalin hubungan yang baik jika tidak dilakukan maka resolusi tersebut sulit tercapai.