Konten dari Pengguna

Generasi Digital, Etika Minimal? Mengapa Anak Muda Tak Lagi Peduli Kesopanan

Rita Novia Simalango
Mahasiswa, Fakultas Ekonomi di Universitas Katolik Santo Thomas Medan
16 Maret 2025 16:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rita Novia Simalango tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Sumber: https://pixabay.com/id/photos/remaja-hoodie-tangan-tidak-sikap-5842706/)
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber: https://pixabay.com/id/photos/remaja-hoodie-tangan-tidak-sikap-5842706/)
ADVERTISEMENT
Perubahan zaman membawa banyak kemudahan, terutama dalam hal komunikasi dan akses informasi. Generasi muda saat ini lahir di era digital, di mana segala sesuatu dapat diakses hanya dengan sekali klik. Namun, di balik kemajuan teknologi ini, ada satu hal yang tampaknya mulai terkikis: etika dan kesopanan.
ADVERTISEMENT
Dulu, norma kesopanan seperti berbicara dengan sopan, menghormati orang yang lebih tua, dan menjaga adab dalam pergaulan dianggap sebagai hal mendasar dalam kehidupan sosial. Kini, batasan antara “bebas berekspresi” dan “kurang terbuka” semakin kabur. Ungkapan seperti “toxic”, “santuy”, atau “bebas aja, asal bukan ganggu orang” sering dijadikan alasan untuk bertindak tanpa mempertimbangkan norma sosial.
Lantas, apakah benar generasi digital ini memiliki etika yang semakin minim? Ataukah dunia digital yang memang mendorong mereka untuk berbuat lebih bebas tanpa batas?
Budaya Digital: Antara Kebebasan dan Kurangnya Kesopanan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat anak muda berbicara dengan nada tinggi kepada orang tua, lupa mengucapkan terima kasih, atau bahkan enggan meminta maaf saat melakukan kesalahan. Hal ini diperparah dengan budaya digital yang semakin membatasi batasan antara kebebasan dan norma sosial. Banyak faktor yang menyebabkan etika anak muda tampak semakin buruk di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Internet memberi ruang bagi siapa saja untuk berbicara tanpa bertanggung jawab langsung atas ucapannya. Dalam banyak kasus, akun-akun anonim di media sosial sering kali menjadi "tempat pengungsi" bagi mereka yang ingin berkomentar kasar atau menyebarkan kebencian. Fenomena ini dikenal sebagai "online disinhibition effect" , di mana seseorang merasa lebih berani dan tidak terkendali saat berkomunikasi di dunia maya dibandingkan di kehidupan nyata. Akibatnya, banyak anak muda yang tanpa sadar terbiasa berkata kasar, atau bahkan menyinggung perasaan orang lain tanpa merasa bersalah. Saat ini, banyak anak muda yang lebih peduli pada popularitas dibandingkan kesopanan. Demi mendapatkan followers yang tinggi, mereka rela melakukan apa saja: mulai dari prank keterlaluan, menghina orang lain secara terbuka, hingga membuat konten kontroversial yang melanggar norma sosial. Fenomena ini sering terlihat di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Banyak konten viral yang sebenarnya tidak memberikan nilai positif, namun tetap ditonton dan dikomentari oleh jutaan orang. Yang penting viral dulu, urusan etika belakangan. Akibatnya, anak muda yang melihat tren ini pun ikut-ikutan, menganggap bahwa kesopanan tidak lagi penting selama dapat mendapatkan popularitas.
ADVERTISEMENT
Generasi digital lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget dibandingkan berinteraksi langsung dengan orang lain. Hal ini berdampak pada menurunnya kemampuan komunikasi tatap muka dan hilangnya empati dalam berinteraksi sosial.
Contoh sederhananya adalah saat makan bersama keluarga, tetapi semua orang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Atau ketika seseorang lebih nyaman menyelesaikan konflik melalui chat dibandingkan berbicara langsung. Tanpa interaksi sosial yang cukup, anak muda kehilangan kesempatan untuk belajar memahami ekspresi wajah, nada bicara, dan perasaan orang lain.
Apakah Etika dan Kesopanan Masih Diperlukan?
Sebagian besar anak muda beranggapan bahwa konsep kesopanan sudah ketinggalan zaman. Kenapa harus jaga ucapan kalau kita punya hak untuk bebas berekspresi? Ini adalah pemikiran yang sering muncul. Namun, ada banyak alasan mengapa etika dan kesopanan tetap penting, bahkan di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Jika semua orang bebas berbicara tanpa batas, tanpa peduli dampaknya pada orang lain, dunia akan penuh dengan konflik dan kebencian. Kesopanan adalah alat untuk menjaga keseimbangan sosial dan memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak merugikan orang lain.
Di dunia kerja, etika sangat menentukan masa depan seseorang. Anak muda yang terbiasa mengucapkan kata-kata kasar atau tidak sopan di media sosial mungkin akan menghadapi masalah di dunia profesional. Banyak perusahaan kini mulai melacak rekam jejak digital calon karyawan sebelum menerima mereka bekerja.
Media sosial dan teknologi seharusnya menjadi alat untuk berbagi ilmu dan berinteraksi secara sehat, bukan tempat untuk menyebarkan kebencian atau menyerang orang lain. Anak muda sebagai generasi digital justru harus menjadi pelopor dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih beretika.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Anak Muda Dapat Kembali Menjunjung Etika?
Menjaga etika di era digital memang tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil. Anak muda harus sadar bahwa kebebasan berekspresi tetap harus diimbangi dengan rasa tanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan. Di dunia maya, setiap kata yang diketik dan setiap komentar yang diposting dapat mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, mengontrol cara berbicara dan berbicara di dunia digital adalah langkah penting untuk menjaga hubungan sosial yang sehat. Selain itu, interaksi sosial langsung harus tetap dijaga, karena itulah cara terbaik untuk memperkuat nilai-nilai kesopanan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan dan lingkungan sosial juga memegang peranan penting dalam menanamkan kembali kesadaran akan pentingnya etika. Orang tua, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membentuk karakter anak muda yang beretika. Sebagai generasi digital, anak muda memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat, di mana kebebasan berbicara dan etika berjalan seiring. Dunia digital yang terus berkembang tidak boleh menghapus nilai-nilai sopan santun yang merupakan dasar dari hubungan sosial yang harmonis.
ADVERTISEMENT
Dengan langkah tersebut, etika akan kembali menjadi bagian integral dari kehidupan generasi muda, bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Sebab, kebebasan berekspresi yang beretika adalah kebebasan yang benar-benar membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
Dengan demikian, kesopanan bukanlah aturan kuno yang harus ditinggalkan, namun fondasi penting yang membuat masyarakat tetap harmonis. Generasi muda perlu memahami bahwa kebebasan berekspresi tetap harus diimbangi dengan tanggung jawab dan kesadaran sosial.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukanlah apakah etika masih penting? Tapi bagaimana kita dapat tetap menjaga kesopanan di era digital yang semakin bebas ini? Karena menjadi generasi digital bukan berarti harus kehilangan etika.