Konten dari Pengguna

Ilmu dan Emosi: Mencari Keseimbangan dalam Kehidupan dan Keilmuan

Rival Laosa
Political Science Muhammadiyah University of Jakarta
7 Februari 2025 13:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Photo : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Photo : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan kehidupan manusia, ilmu pengetahuan dan emosi sering kali dianggap sebagai dua entitas yang saling bertentangan. Ilmu pengetahuan mengandalkan rasionalitas, logika, dan objektivitas, sedangkan emosi mencerminkan perasaan, intuisi, dan subjektivitas. Namun, apakah benar bahwa keduanya harus selalu berlawanan seperti yang secara umum diketahui? Atau apakah justru ada titik temu yang dapat menyatukan keduanya dalam harmoni yang ideal sebagaimana yang seharusnya kita pahami? Bagaimana jika mengeksplorasi hubungan antara ilmu dan emosi, ternyata ada membahas keseimbangan yang dapat diciptakan, serta menawarkan konsep solusi yang memungkinkan keduanya lebih bekerja bersama secara produktif.
ADVERTISEMENT
Berbicara Ilmu pengetahuan dan emosi adalah dua aspek yang saling terkait dalam kehidupan manusia, dan keduanya memiliki peran yang penting. Namun, hubungan antara keduanya bisa kompleks dan tidak selalu mudah dipisahkan. Ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang psikologi dan neurosains misalnya, hal ini dapat membantu manusia memahami bagaimana emosi bekerja. Dengan pemahaman ini, seseorang dapat belajar mengelola emosi mereka secara lebih efektif. Misalnya, teknik-teknik seperti meditasi, terapi kognitif, atau manajemen stres didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang membantu individu mengendalikan emosi mereka (Kahneman, Thinking, Fast and Slow). Dalam hal ini, ilmu pengetahuan berfungsi sebagai alat untuk mengontrol atau mengarahkan emosi.
Jika melihat dari sisi lain, kita mungkin akan menemukan emosi sering kali memengaruhi cara manusia memandang dan menggunakan ilmu pengetahuan. Emosi seperti rasa takut, cinta, atau keingintahuan dapat mendorong seseorang untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan atau justru menghindarinya. Emosi juga dapat memengaruhi interpretasi terhadap fakta-fakta ilmiah, misalnya ketika seseorang memiliki bias emosional yang memengaruhi keputusan mereka (Damasio, Descartes). Dalam hal ini, emosi bisa menjadi kekuatan yang mengarahkan atau bahkan membatasi penerapan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika kita memikirkan apakah ada bidang Ideal untuk menyatukan Ilmu dan Emosi? Bagaimana jika ada bidang yang secara alami menjadi titik temu antara ilmu pengetahuan dan emosi, mungkin bisa kita bahas antara lain seperti dalam bidang Pendidikan, psikologi, politik dan filsafat.
Pendidikan dan Pengajaran. Pengajar yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu secara rasional tetapi juga membangun keterhubungan emosional dengan siswa agar ilmu lebih mudah dipahami dan diaplikasikan. Kemudian, Psikologi dan Kesehatan Mental. Ilmu psikologi menggunakan metode ilmiah untuk memahami dan mengatur emosi manusia, sehingga seseorang dapat mengontrol emosinya tanpa mengabaikan perasaannya.
Atau sebagaimana Kebijakan Publik dan Politik. Di mana Keputusan yang baik harus berbasis data tetapi tetap mempertimbangkan aspek sosial dan moral yang berkaitan dengan emosi masyarakat (Sandel, Justice: What's the Right Thing to Do?). Serta, Filsafat dan Etika. Di mana Filsafat mencari keseimbangan antara logika dan nilai-nilai moral, mengajarkan manusia bagaimana berpikir kritis tanpa mengesampingkan perasaan (Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals).
ADVERTISEMENT
Di luar daripada bidang yang terkonsepkan itu, bagaimana jika ada konsep yang mendatangkan Solusi untuk Keseimbangan Ilmu dan Emosi. Ya, untuk mencapai keseimbangan antara ilmu dan emosi, kita dapat mengadopsi konsep "Rasionalitas Emosional", yaitu pendekatan yang menggabungkan logika dan empati dalam pengambilan keputusan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Konsep ini dapat diterapkan dalam beberapa cara tergantung sudut pandang yang dibutuhkan.
Misalnya, Pendidikan Berbasis Emosi dan Logika. Sistem pendidikan harus mendorong pemikiran kritis tetapi juga menanamkan kecerdasan emosional, sehingga siswa tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki pemahaman sosial yang baik. Kemudian, Kepemimpinan Berbasis Data dan Empat. Pemimpin harus menggunakan ilmu pengetahuan dalam mengambil keputusan, tetapi juga harus memiliki kemampuan memahami aspirasi dan perasaan masyarakat agar kebijakan yang dibuat lebih inklusif dan berdampak positif. Serta, Ilmu Pengetahuan yang Humanis. Dalam penelitian dan inovasi, para ilmuwan dan pemikir harus mempertimbangkan dampak emosional dan etis dari teknologi yang mereka kembangkan, agar ilmu tidak hanya berkembang tetapi juga memberikan manfaat kemanusiaan yang lebih luas.
Sumber Photo: Pixabay.com
Dari hal ini bisa disimpulkan bahwasanya Ilmu dan emosi bukanlah dua kutub yang saling bertentangan, melainkan dua elemen yang harus bekerja bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dengan menemukan titik temu dalam berbagai bidang seperti pendidikan, politik, psikologi, dan filsafat, serta menerapkan konsep "Rasionalitas Emosional," kita dapat menciptakan dunia yang lebih seimbang antara rasionalitas dan kemanusiaan. Keseimbangan ini bukan hanya ideal dalam teori, tetapi juga dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik dalam pengambilan keputusan individu maupun dalam kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Manusia yang seimbang adalah mereka yang mampu menggunakan ilmu pengetahuan untuk memahami dan mengendalikan emosi, tetapi juga tidak mengabaikan peran emosi dalam memberikan makna dan tujuan dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT