Konten dari Pengguna

Intelektualitas Manusia : Peradaban Emosional

Rival Laosa
Political Science Muhammadiyah University of Jakarta
27 Oktober 2024 1:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pikiran dan Hati - Sumber photo: AI
zoom-in-whitePerbesar
Pikiran dan Hati - Sumber photo: AI
ADVERTISEMENT
Manusia, sebagai makhluk hidup yang berperan penting dalam siklus peradaban yang dimana banyak melahirkan berbagai pikiran yang kemudian menjadi suatu konsensus akan Ilmu, banyak hal yang sekiranya menjadi unsur dari peradaban manusia saat ini.
ADVERTISEMENT
Manusia membangun peradaban dari akar suatu pertanyaan, dari berbagai pertanyaan kemudian dipecahkan dengan suatu rangkaian praktik yang kemudian melahirkan suatu inovasi atau suatu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Jika berbicara suatu pertanyaan, manusia meletakan emosi yang membawa pikiran untuk mencari tau apa yang sedang dipikirkan. Kejadian rumit seperti itu sering kali dikaitkan dengan Namanya intelektual, dimana saat seseorang sudah mulai bertanya hal-hal yang mendalam maka intelektual sedang terjadi, ya diketahui sebagaimana kapasitas pikiran manusia untuk memahami, menganalisis, dan memproses informasi serta gagasan secara kritis dan logis itu menjadi suatu kesatuan yang mengikat dan dimanakan intelektual.
Kembali pada hakikatnya, saat seseorang melihat suatu fenomena yang terekam oleh matanya kemudian tersaring dan terproses oleh otak maka hal itu adalah suatu proses pengantar dari yang Namanya berpikir. Banyak hal yang dilihat oleh mata pada setiap saat manusia itu hidup, bahkan saat tertidur lelap pun, mata seakan melihat sesuatu yang kemudian tergambarkan dalam mimpi. Jelas hal ini membuat posisi otak dan pikiran menjadi fondasi manusia membangun peradaban.
ADVERTISEMENT
Kemudian, saat adanya suatu fenomena yang terjadi kemudian di olah oleh otak dan akhirnya membawa suatu emosi tanda tanya yang akan melahirkan berbagai efek, Mulai dari kebingungan mengapa suatu itu terjadi, atau apa sebenarnya alasan hal itu terjadi, bahkan bisa merasa seperti apa yang sebenarnya sedang di rasakan.
Masuk pada permasalahan yang sedang dipermasalahkan saat ini. Dalam beberapa dekade terakhir, banyak kejadian yang melahirkan kemajuan besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Jika bisa kita sebut sebagai “euforia intelektual,” dimana sebuah masa intelektualitas dan kemampuan kognitif manusia berada di puncaknya (seharusnya).
Dengan akses informasi yang tidak terbatas dan kemampuan untuk berinovasi dalam berbagai disiplin ilmu, manusia telah mencapai pencapaian besar dalam sains, teknologi, kedokteran, bahkan eksplorasi ruang angkasa. Namun jika kita melihat kembali, di balik euforia intelektual ini, apakah muncul pertanyaan? Seperti hal mendasar: Apakah intelektualitas yang memadai cukup untuk membangun peradaban yang adil dan berkelanjutan? Sedangkan dalam situasi dunia saat ini, berbagai lingkup kehidupan masih terdapat berbagai permasalahan yang membawa kita kepada masa kekhawatiran secara emosional. Jadi apakah di sinilah konsep “peradaban emosional” menjadi relevan?
ADVERTISEMENT
Walaupun perkembangan intelektual memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup, tanpa keterlibatan aspek emosional karena terkadang manusia secara teknis melakukan sesuatu tanpa melibatkan suatu emosi dan semua hanya berjalan datar atau monoton secara emosional, kita tahu peradaban cenderung menjadi dingin dan mekanistik. Teknologi media sosial adalah contoh nyata yang dirancang untuk menyatukan manusia, media sosial sering kali malah menciptakan jarak emosional, kecemasan, dan persaingan yang tidak sehat.
Sering kali, pendekatan teknologi dan sains cenderung pragmatis, mengutamakan efisiensi dan produktivitas tanpa mempertimbangkan dampaknya pada aspek emosional manusia kedepannya. Ini menunjukkan keterbatasan intelektualitas ketika dipisahkan dari kepekaan dan tanggung jawab sosial secara emosional.
Selain itu, kita ketahui intelektual yang berfokus pada kecepatan dan inovasi namun ternyata hal ini dapat membawa dampak negatif pada kesejahteraan individu dan masyarakat. Tekanan untuk terus “maju” secara intelektual sering kali mengorbankan aspek-aspek kehidupan lain yang esensial, seperti hubungan sosial, kesehatan mental, dan keseimbangan hidup. Alih-alih menciptakan kebahagiaan yang berkelanjutan, euforia intelektual malah sering menciptakan kecemasan akan masa depan dan alienasi sosial dengan membawa klaim-klaim emosional.
ADVERTISEMENT
Jika sebaliknya, kita memikirkan, peradaban emosional mengusung nilai keseimbangan antara intelektual dan emosional, yang memungkinkan manusia untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga merasakan dan menghargainya. Peradaban emosional menekankan pentingnya keterampilan emosional, seperti empati, ketahanan, dan pengelolaan emosi, yang membantu membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Ini bukan berarti menolak intelektualitas, melainkan memperkaya cara kita berpikir dengan mempertimbangkan dampak emosional pada diri sendiri dan orang lain.
Kemudian jika kita masuk dari pertanyaan yang kemudian menimbulkan jawaban seperti dalam peradaban emosional, pengambilan keputusan, baik di tingkat individu maupun kolektif, mempertimbangkan dampak sosial dan emosional dari setiap Tindakan yang dilakukan. Di tingkat kebijakan, misalnya, penerapan kebijakan yang berfokus pada kesejahteraan emosional masyarakat telah terbukti memiliki dampak positif. Negara-negara seperti Bhutan yang mengukur kesejahteraan nasional melalui indeks “Gross National Happiness” (Kebahagiaan Nasional Bruto) adalah contoh konkret dari bagaimana keseimbangan antara kemajuan intelektual dan kesejahteraan emosional dapat diwujudkan dalam tatanan sosial.
ADVERTISEMENT
Euforia intelektual adalah kekuatan besar yang memungkinkan manusia untuk mengatasi berbagai tantangan modern, tetapi tanpa keseimbangan emosional, kekuatan ini berpotensi menjadi destruktif. Dengan mengintegrasikan aspek emosional ke dalam intelektualitas kita, kita dapat membangun peradaban yang lebih utuh dan berkelanjutan. Peradaban emosional bukan berarti menolak kemajuan intelektual, melainkan mengajarkan manusia untuk memahami, merasakan, dan hidup dengan kesadaran akan dampak emosional dari tindakan dan inovasi mereka.
Jika intelektualitas adalah puncak akal, maka peradaban emosional adalah puncak kemanusiaan. Menggabungkan keduanya akan memungkinkan kita tidak hanya untuk bertahan, tetapi juga untuk berkembang dalam arti yang sesungguhnya sebagai individu yang utuh dan sebagai masyarakat yang seimbang.
ADVERTISEMENT