news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Jalan Manusia: Antara Kemurnian Matematika dan Kemurnian Filsafat

Rival Laosa
Political Science Muhammadiyah University of Jakarta
9 Maret 2025 13:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengapa orang dan kehidupan itu penting? Ya, mungkin bisa dengan matematika dan filosofi. Ketika mengacu pada matematika, itu akan membahas struktur, jaminan, dan kerangka kerja logis yang dapat dijelaskan, sementara filsafat lebih memperkenalkan pertanyaan mendalam mengenai tujuan, keberadaan, dan keaslian. Lalu jika kita berpikir tentang bagaimana orang bertindak secara alami, maka dengan bertanya "bagaimana seharusnya orang - orang di dunia ini?" Apakah kita dibatasi untuk mematuhi norma yang sudah mapan, atau apakah kita terpaksa memajukannya dengan terus bertanya?
Sumber photo : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber photo : Pixabay.com
Kemurnian matematika. Dalam ungkapan ini ialah 'urutan dan kepastian' seperti, dengan satu tambah satu selalu sama dengan dua. Jika kita membandingkan kenyataan dengan masalah matematika, maka kita harus hidup dengan semacam aturan, pemikiran, dan sebab-akibat yang pasti.
ADVERTISEMENT
Jika berbicara dalam sejarah pemikiran, konsepsi yang dikenal sebagai platonisme matematika. Dalam pandangan ini, keteraturan bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh manusia, akan tetapi sesuatu yang ditemukan. Jika demikian, maka manusia seharusnya berjalan dalam keteraturan ini, memahami hukum-hukum alam, dan menyesuaikan diri dengan keseimbangan kosmos. Namun, aturan ini bisa dibelenggu. "Jika individu hanya mematuhi hukum alam tanpa merenungkan signifikansi mereka, ia akan menghilangkan kekhasan yang memisahkannya dari makhluk lain". Di sinilah filsafat mengambil peran penting.
Jika membahas kemurnian filsafat (pertanyaan dan makna), maka matematika berbicara tentang kepastian, filsafat justru bergerak di ranah pertanyaan. Filsafat tidak menerima kebenaran begitu saja, tetapi mempertanyakan dasar dari setiap klaim kebenaran. Jika matematika memberikan kita struktur dan kepastian, filsafat mengajarkan kita mengapa kita harus peduli terhadap struktur itu.
Sumber photo: Pixabay.com
Halnya Seorang filsuf tidak akan puas dengan fakta bahwa 1 + 1 = 2, tetapi akan bertanya. Mengapa seperti itu? Apakah angka benar-benar ada, atau hanya konstruksi bahasa saja? Jika matematika adalah refleksi dari realitas, apakah realitas itu sendiri benar-benar terstruktur secara matematis seperti yang seharusnya?
ADVERTISEMENT
Jika Filsafat membawa manusia keluar dari keteraturan yang sudah mapan karena selalu mempertanyakan sesuatu yang dianggap benar apakah itu konkret benar atau sebenarnya itu adalah kesalahan yang tidak bisa dipastikan jawaban lainnya. Hal ini mendorong manusia untuk berpikir lebih jauh dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan baru lainnya.
Jika manusia hanya mengikuti hukum-hukum yang ada, maka hal ini akan menjadi bagian dari sistem tanpa memahami tujuan yang seharusnya. Dengan filsafat, manusia menyadari bahwa ia bukan sekadar elemen dalam suatu sistem, tetapi juga subjek yang bisa mengubah sistem itu sendiri.
Namun, jika kita telisik lebih dalam mungkin saja ada bahaya lain. Jika manusia terlalu tenggelam dalam dunia filsafat tanpa pijakan pada keteraturan matematika, ia bisa tersesat dalam skeptisisme berlebihan atau kehilangan arah yang biasanya dibilang “tersesat”. Jika segalanya terus-menerus dipertanyakan tanpa dasar yang jelas, maka tidak ada yang dapat dijadikan pegangan dalam hidup. Oleh karena itu, keseimbangan antara keduanya mungkin bisa menjadi kunci.
ADVERTISEMENT
Berjalan dalam alam manusia. Menyatukan keteraturan dan kebebasan. Jika matematika mewakili keteraturan dan filsafat mewakili kebebasan berpikir, maka mungkin manusia harus berjalan di antara keduanya. Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, bukan hanya sebagaimana manusia membutuhkan struktur dan kepastian, tetapi juga harus memiliki kesadaran dan refleksi terhadap struktur tersebut.
Dalam konteks ini, kita juga dapat melihat perbedaan antara antroposentrisme dan teosentrisme. Sebagaimana antroposentrisme melihat bahwa matematika dan filsafat adalah hasil pemikiran manusia, alat yang dikembangkan untuk memahami dunia dan sebagainya. Sementara itu, teosentrisme berargumen bahwa keteraturan dalam matematika adalah bagian dari rencana ilahi, dan filsafat adalah upaya manusia untuk memahami kehendak Tuhan.
maka di sini keseimbangan diperlukan. Jika manusia hanya berpikir secara antroposentris, ia bisa menjadi terlalu sombong, menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta. Sebaliknya, jika ia terlalu teosentris tanpa pemahaman kritis, ia bisa menjadi dogmatis dan menerima segalanya tanpa berpikir.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sekiranya ada jalan yang seharusnya ditempuh manusia ialah jalan yang harmonis antara keteraturan dan kebebasan, antara kepastian dan pertanyaan, antara hukum dan refleksi. Mencari harmoni dalam diri dengan alam matematika dan filsafat bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi dua sisi dari perjalanan manusia dalam memahami realitas.
Jika manusia hanya hidup dalam matematika, ia akan menjadi makhluk mekanis yang hanya mengikuti aturan. Jika manusia hanya hidup dalam filsafat, ia akan tersesat dalam pertanyaan tanpa akhir. Maka, manusia harus berjalan dengan kesadaran penuh, memahami keteraturan dunia tetapi juga mempertanyakan batas-batasnya. Dalam keseimbangan inilah manusia dapat menemukan makna sejati dalam kehidupannya, bukan sebagai budak sistem, tetapi sebagai pencipta makna dalam sistem itu sendiri.
ADVERTISEMENT