Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Negara Ideal: Sebuah Negeri Antah-berantah
11 Maret 2025 17:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Negara Ideal? sebuah Negeri Antah-berantah. Di negeri ini, para pemimpin bukan sekadar orang yang duduk di singgasana kekuasaan, tetapi para penjaga nurani rakyat. Mereka memahami bahwa kursi bukan untuk diduduki semata, melainkan untuk menopang keadilan. Di sana, hukum bukan seperti karet yang lentur sesuai genggaman, melainkan seperti baja yang kokoh di setiap zaman. Rakyatnya pun bukan sekadar angka di kertas pemilu, tetapi pemilik sah negeri yang suaranya bukan hanya bergema di kotak suara, tetapi juga dalam kebijakan yang berpihak pada mereka.

Di negeri yang ideal ini, ekonomi bukan permainan segelintir orang yang pandai menari di atas jurang defisit, melainkan ladang subur tempat semua orang bisa menuai hasil kerja kerasnya. Pendidikan bukan ajang menghafal mantra-mantra tua tanpa makna, tetapi proses mencerdaskan tanpa membunuh nalar. Agama bukan sekadar simbol di KTP, tetapi ruh yang membangun moralitas, bukan alat untuk menyesatkan yang tak sejalan.
ADVERTISEMENT
Sekarang, mari kita coba tengok negeri kita sendiri, tanah yang konon penuh berkah, tapi di beberapa sudutnya terasa seperti negeri dongeng yang tokoh-tokohnya lupa akan naskah. Ada yang berteriak lantang tentang keadilan, tapi diam seribu bahasa saat melihat ketidakadilan di sekitarnya. Ada yang mengibarkan panji moralitas, tapi sibuk menyusun skenario agar tetap duduk di singgasana. Rakyatnya pun kadang bingung: apakah mereka pemilik negeri ini, atau sekadar figuran yang dipanggil saat musimnya tiba?
Di pasar kebijakan, ada yang menjual janji-janji dengan harga diskon, tapi saat harus menepati, mereka mendadak amnesia akut. Ada pula yang sibuk membangun citra, meski realita berkata lain. Infrastruktur dibangun megah, tapi ada yang lapar di bawahnya. Statistik tumbuh pesat, tapi entah mengapa harga kebutuhan tetap melangit. Lalu kita bertanya: apakah negeri ini sedang berjalan ke arah yang ideal, atau sekadar berputar-putar dalam labirin tanpa pintu keluar?
ADVERTISEMENT
Di bagian mana negeri ini masih butuh banyak cermin untuk bercermin? Ya , soal SDM, di negeri yang ideal, manusia bukan sekadar angka dalam sensus atau sekadar sumber daya yang bisa diperah tanpa dipelihara. Mereka adalah pilar peradaban, bukan sekadar roda gigi dalam mesin ekonomi yang bisa diganti kapan saja. Di negeri ideal, SDM bukan hanya diukur dari berapa banyak ijazah yang dicetak, tapi seberapa tinggi daya pikir dan moralitas yang tertanam. Mereka tidak hanya diajarkan cara mengerjakan soal ujian, tapi juga cara berpikir kritis dan mandiri. Ilmu pengetahuan bukan sekadar bahan ujian, melainkan obor yang menerangi langkah-langkah kehidupan.
Tapi bagaimana di negeri kita? Di sini, pendidikan kadang seperti pabrik: memproduksi banyak lulusan, tapi entah apakah mereka siap bersaing atau justru bingung harus ke mana. Ada yang terampil dalam menghafal teori, tapi gagap saat harus menerapkannya. Ada yang bangga dengan titel panjang, tapi tersandung dalam menghadapi realitas. Di dunia kerja, SDM sering dianggap sekadar tenaga kerja. Kualitasnya tidak selalu dibentuk, tapi justru diperas sampai kering. Yang kuat bertahan, yang lemah ditinggal. Ada yang bekerja mati-matian, tapi hasilnya dinikmati segelintir orang. Ada yang cerdas, tapi tidak punya koneksi. Ada yang biasa saja, tapi punya akses ke segala pintu.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan mentalitas? Ya, ini lebih kompleks lagi. Ada SDM yang gigih, kreatif, dan siap berinovasi, tapi seringkali mereka harus berjuang sendirian. Sementara itu, ada juga yang memilih jalan pintas: mencari jabatan dengan cara instan, memperkaya diri dengan aturan yang bisa dinegosiasi, atau sekadar sibuk berdebat tanpa menghasilkan solusi.
Di negeri yang ideal, orang-orangnya tumbuh dalam ekosistem yang sehat, baik secara pendidikan, ekonomi, maupun moral. Tapi di negeri kita, ekosistemnya kadang lebih mirip kolam yang keruh: ikan yang jernih harus pintar bertahan, sementara yang lain sibuk berenang mengikuti arus, tak peduli ke mana mereka terbawa. Jadi, kalau bicara SDM, pertanyaannya bukan hanya seberapa banyak manusia yang kita miliki, tetapi seberapa berkualitas manusia yang kita bentuk. Apakah kita sedang menciptakan generasi pemikir dan pembangun, atau justru sekadar generasi pengikut dan penurut?
ADVERTISEMENT