Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Perang Simetris dan Asimetris dalam Konteks Politik Kontemporer
3 Februari 2025 15:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perang simetris dan asimetris adalah dua konsep utama dalam studi konflik dan strategi militer. Perang simetris membahas pada konflik antara dua pihak yang memiliki kekuatan dan sumber daya yang relatif seimbang, sedangkan perang asimetris terjadi ketika satu pihak memiliki keunggulan signifikan dalam hal kekuatan, teknologi, atau sumber daya, sedangkan pihak lain mengandalkan taktik tidak konvensional untuk mengimbangi ketimpangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika berbicara dalam konteks politik global saat ini, kedua bentuk perang ini dapat diamati dalam berbagai konflik internasional, termasuk persaingan antara negara adidaya, perang proxy, dan gerakan perlawanan bersenjata. Adapun jika analisis perang simetris dan asimetris dengan menghubungkannya dengan situasi politik terkini maka hal yang bagus di gunakan dalam studi kasus ialah persaingan AS-China dan konflik di Timur Tengah.
Berbicara Perang Simetris Persaingan AS-China. Perang simetris sering kali terjadi antara negara-negara dengan kekuatan militer dan ekonomi yang setara. Salah satu contoh terbaru adalah persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan China. Kedua negara ini memiliki kapasitas militer yang canggih, ekonomi yang kuat, dan pengaruh global yang signifikan. Persaingan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari teknologi, perdagangan, hingga pengaruh geopolitik di kawasan seperti Laut China Selatan dan Indo-Pasifik. Menurut Mearsheimer (2014), dalam bukunya “The Tragedy of Great Power Politics”, persaingan antara negara adidaya sering kali mengarah pada konflik yang bersifat simetris karena kedua pihak berusaha mempertahankan atau memperluas pengaruhnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks AS-China, hal ini terlihat dari upaya AS untuk mempertahankan hegemoninya di kawasan Asia-Pasifik, sementara China berusaha menantang dominasi tersebut melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan modernisasi militernya. Namun, perang simetris tidak selalu mengarah pada konflik bersenjata langsung seperti yang diketahui.
Adapun sebaliknya, persaingan ini sering kali dimanifestasikan dalam bentuk perang ekonomi, sanksi, dan persaingan teknologi. Misalnya, perang dagang AS-China yang dimulai pada masa pemerintahan Donald Trump pada periode pertama dan berlanjut hingga kini mencerminkan dinamika perang simetris, di mana kedua pihak saling mengenakan tarif dan pembatasan perdagangan untuk melemahkan ekonomi lawan (Swanson, 2021).
Kemudian jia berbicara Perang Asimetris pada Konflik di Timur Tengah. Di sisi lain, perang asimetris lebih sering terjadi dalam konflik antara negara dan aktor non-negara, seperti kelompok milisi atau organisasi teroris lainnya. Salah satu contoh terkini adalah konflik di Timur Tengah, khususnya di Suriah dan Yaman, di mana kelompok seperti ISIS dan Houthi menggunakan taktik asimetris untuk melawan kekuatan militer yang jauh lebih superior. Perang asimetris mengandalkan taktik seperti serangan gerilya, penggunaan spiritualist untuk propaganda, dan eksploitasi kelemahan lawan. Arreguín-Toft (2001) dalam artikelnya “How the Weak Win Wars”, aktor yang lebih lemah sering kali berhasil mengalahkan kekuatan yang lebih besar dengan menggunakan strategi yang tidak konvensional dan memanfaatkan pengetahuan lokal.
ADVERTISEMENT
Hal ini terlihat dalam konflik di Yaman, di mana kelompok Houthi berhasil mempertahankan posisinya melawan koalisi Arab Saudi yang didukung oleh AS, meskipun memiliki sumber daya yang jauh lebih terbatas. Selain itu, perang asimetris juga melibatkan penggunaan teknologi canggih oleh aktor non-negara. Misalnya, penggunaan drone oleh kelompok Houthi untuk menyerang fasilitas minyak Arab Saudi menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi alat yang efektif dalam perang asimetris (Binnie, 2020).
Situasi politik global saat ini menunjukkan bahwa perang simetris dan asimetris sering kali saling terkait. Misalnya, persaingan AS-China tidak hanya terbatas pada konflik simetris, tetapi juga melibatkan elemen asimetris.
China menggunakan strategi seperti diplomasi vaksin dan investasi infrastruktur di negara-negara berkembang untuk memperluas pengaruhnya, sementara AS merespons dengan membentuk aliansi seperti QUAD (Quadrilateral Security Dialogue) untuk membendung pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik (Panda, 2021). Di Timur Tengah, konflik asimetris antara negara dan kelompok milisi juga dipengaruhi oleh persaingan simetris antara negara adidaya. Misalnya, konflik di Suriah tidak hanya melibatkan pemerintah Suriah dan kelompok oposisi, tetapi juga melibatkan intervensi dari AS, Rusia, dan Iran.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bagaimana perang simetris dan asimetris dapat saling tumpang tindih dalam konteks politik yang kompleks. Perang simetris dan asimetris merupakan dua bentuk konflik yang terus relevan dalam politik global saat ini.
Persaingan AS-China menggambarkan dinamika perang simetris, sementara konflik di Timur Tengah menunjukkan efektivitas taktik asimetris dalam menghadapi kekuatan yang lebih superior. Kedua bentuk perang ini saling terkait dan sering kali dimanfaatkan oleh aktor-aktor globular untuk mencapai tujuan strategis mereka. Dalam konteks ini, pemahaman mendalam tentang perang simetris dan asimetris menjadi penting untuk menganalisis dan merespons tantangan keamanan global yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT