news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Titik Benah SDM : Pendidikan, Ilmu dan Moral

Rival Laosa
Political Science Muhammadiyah University of Jakarta
11 Maret 2025 18:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Titik benah permasalah SDM, mungkin kita akan membahas Pendidikan, ilmu, dan moral yang dimana adalah tiga pilar yang menentukan arah sebuah negeri. Jika ketiganya kokoh, negeri akan melaju menuju kejayaan. Jika salah satu rapuh, bersiaplah menyaksikan peradaban yang pincang. Ya, ini sekadar bahasa yang pernah terdengar dari para angan-angan. Mungkin kita bisa melihat berbagai hal yang berkaitan, di mana pendidikan, ilmu dan moral tidak bisa terlepas dari berbagai masalah.
Sumber Photo: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Photo: Pixabay.com
Mari kita bahas tentang “Pendidikan” kata yang pas apakah Pabrik atau Kawah Candradimuka? Di negeri ideal, kita ketahui bahwa pendidikan bukan sekadar pabrik yang mencetak ijazah, melainkan kawah candradimuka yang menempanya menjadi manusia seutuhnya. Ia tidak hanya mengajarkan bagaimana mengerjakan soal ujian, tetapi bagaimana bertanya dengan benar. Ia tidak hanya memberikan rumus-rumus mati, tetapi juga membangkitkan daya cipta dan kritis.
ADVERTISEMENT
Namun, di negeri kita, pendidikan sering kali seperti lorong panjang yang berisi hafalan, bukan pemahaman. Sistem yang katanya mencerdaskan justru sering mematikan daya pikir. Anak-anak diajari cara menjawab soal, bukan cara mencari solusi. Mereka didorong untuk menjadi patuh, bukan kreatif. Mereka sibuk menghafal jawaban yang benar, tapi takut mempertanyakan apa yang salah. Guru? Ah, banyak yang berniat mulia, tapi sistem membuat mereka sibuk mengejar administrasi daripada mencerdaskan. Sementara itu, yang di atas lebih sibuk membuat kurikulum yang berubah lebih cepat daripada pemahaman yang bisa dicerna.
Berlanjut ke masalah kedua kita, yaitu “Ilmu” sebagaimana mungkin kata yang pas itu Pilar Peradaban atau Sekadar Pajangan? Ya. Ilmu adalah pilar peradaban. Dengan ilmu, manusia membangun kota, menaklukkan laut, dan menerangi kegelapan. Namun, di negeri kita, ilmu sering kali lebih dihargai sebagai pajangan daripada alat perubahan. Gelar lebih dipuja daripada isi kepala. Teori lebih diagungkan daripada implementasi. Orang berilmu sering kali tenggelam dalam birokrasi, sementara mereka yang lihai dalam basa-basi justru naik ke puncak hierarki.
ADVERTISEMENT
Negeri ini penuh dengan orang pintar, tapi minim inovasi. Banyak yang tahu banyak, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ada yang bisa mengutip filsuf dari Plato sampai Derrida, tapi tidak tahu cara menyelesaikan antrean panjang di kantor pelayanan publik. Di sisi lain, mereka yang benar-benar ingin mengembangkan ilmu sering kali harus berjuang sendirian, mencari jalan ke negeri orang karena tanah sendiri terasa gersang.
Masalah terakhir dari hal kita ini, ya, Moral. Pedoman Hidup atau Alat Propaganda? Di negeri ideal, moral adalah kompas yang menjaga arah. Ia bukan alat politik, bukan sekadar wacana, tetapi pegangan yang membentuk karakter bangsa. Moral bukan hanya soal mengatur pakaian dan simbol-simbol keagamaan, tetapi bagaimana menjaga kejujuran, keadilan, dan rasa kemanusiaan. Namun, di negeri kita, moral sering kali seperti bendera yang dikibarkan saat diperlukan, lalu dilipat rapi saat mengganggu kepentingan. Ada yang rajin berkhotbah soal akhlak, tapi sibuk menyusun strategi untuk merampas hak orang lain. Ada yang menyerukan kesederhanaan, tapi hartanya tak terhitung.
ADVERTISEMENT
Moral bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tapi juga apa yang dilakukan. Sayangnya, sering kali mereka yang banyak bicara soal moral justru paling lihai dalam menyiasati batas-batasnya. Jadi, di mana sebaiknya dari mana kita mulai?
Sumber Photo : Pixabay.com
Ya, pertama ialah Pendidikan harus direvolusi, dari sekadar tempat menghafal menjadi arena berpikir dan mencipta. Kemudian, Ilmu harus dihargai bukan karena gelarnya, tapi karena manfaatnya. Serta, Moral harus diterapkan dengan jujur, bukan sekadar menjadi alat pencitraan. Jika tiga hal ini masih dijadikan slogan kosong tanpa implementasi nyata, negeri ini akan terus berputar-putar dalam ilusi kejayaan tanpa pernah benar-benar mencapainya.
Namun kalau bicara pendidikan dan moral, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Pendidikan yang hebat tanpa moral hanya akan melahirkan orang-orang cerdas yang licik, sementara moral tanpa pendidikan bisa melahirkan ketulusan yang naif. Coba kita lihat bagaimana kondisi dua hal ini di negeri yang konon katanya kaya akan budaya dan kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Pendidikan. Belajar atau Sekadar Lulus? Di negeri ideal, pendidikan adalah jalan menuju pencerahan. Ia mengajarkan bagaimana berpikir, bukan sekadar bagaimana menghafal. Ia membentuk karakter, bukan hanya membangun keterampilan teknis. Tapi di negeri ini? Ah, pendidikan sering kali sekadar ritual panjang menuju selembar ijazah. Dari kecil, anak-anak dijejali dengan mata pelajaran yang banyak, tapi sering kali tak diajarkan bagaimana menghubungkan ilmu dengan kehidupan nyata.
Sibuk menghafal teori ekonomi, tapi tak pernah diajarkan bagaimana mengelola keuangan pribadi. Belajar sejarah panjang bangsa, tapi tak diajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang berintegritas. Belajar tentang ilmu alam, tapi lebih sibuk menghafal nama unsur daripada memahami bagaimana sains bisa mengubah dunia. Dan ujungnya? Pendidikan menjadi semacam kompetisi angka, berapa nilai ujian, berapa IPK, berapa ranking sekolah. Lalu setelah lulus? Banyak yang bingung harus ke mana, karena yang mereka kejar selama ini bukan ilmu, tapi nilai.
ADVERTISEMENT
Moral. Petunjuk Hidup atau Slogan Kosong? Jika pendidikan ibarat cahaya yang menerangi akal, moral adalah kompas yang menjaga arah. Di negeri ideal, moral adalah pedoman dalam bertindak, bukan sekadar kata-kata yang dikutip di pidato. Namun, di negeri ini, moral sering kali lebih berfungsi sebagai alat propaganda ketimbang nilai yang benar-benar dijalankan. Ada yang rajin berbicara soal moralitas, tapi tangan mereka gatal bermain kuasa. Ada yang lantang menyerukan nilai-nilai kebajikan, tapi diam ketika ketidakadilan terjadi di depan mata. Ada yang berbicara soal kejujuran, tapi hobi mencari celah aturan.
Dan yang paling ironis? Moral sering kali diterapkan secara selektif. Jika rakyat kecil melanggar aturan, mereka langsung dicap tak bermoral. Jika yang melanggar adalah mereka yang berseragam rapi, ada sejuta alasan pembenaran.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam pendidikan pun moral sering kali hanya menjadi hafalan, bukan praktik. Siswa disuruh menghafal Pancasila, tapi tidak diajarkan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan. Mereka dipaksa ikut upacara bendera, tapi tidak pernah diajarkan bagaimana bersikap kritis terhadap pemimpin.
Jika pendidikan dan moral tidak dibenahi, negeri ini akan terus melahirkan orang-orang cerdas tapi licik, atau orang-orang jujur tapi bodoh. Kita butuh manusia yang cerdas dan bermoral, bukan hanya salah satu. Maka lahirlah pertanyaan mana yang lebih dulu harus dibenahi sistemnya atau manusianya?