Konten dari Pengguna

Urgensi Kebangsaan dan Dinamika Kenegaraan

Rival Laosa
Political Science Muhammadiyah University of Jakarta
21 Oktober 2023 13:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Gratsias Adhi Hermawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Gratsias Adhi Hermawan
ADVERTISEMENT
Berbicara bangsa dan negara, maka akan membahas dua konsep yang erat kaitannya dalam konteks sosial dan politik. Jika melihat secara umum, bangsa dengan pemahamannya adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan keturunan, asal, sejarah, dan bahasa.
ADVERTISEMENT
Atau juga dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang rasa dan ikatan kesatuannya berdasarkan pada kesamaan cita-cita, tujuan, nasib yang mendorong mereka untuk hidup bersama dalam wilayah tertentu demi kelangsungan hidup dan eksistensi mereka. Ya, mungkin nasionalisme adalah cita-citanya.
Konteks negara sebagaimana yang dipahami secara umum seperti organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh individu rakyatnya.
Jika berbicara kekuasaan yang di mana sebagai suatu masyarakat yang dapat dengan konteks monopoli dalam penggunaan kehidupan hukum secara sah dalam suatu wilayah. Jelas tujuan dan fungsinya mencakup segala bentuk penguasaan "ipoleksosbudhamkamrata".
Berbicara Indonesia dengan latar belakang sejarah yang cukup panjang, perjuangan politis, menjadi narasi penghubung untuk suatu republik yang ingin tercapai. Hukum satu rasa, adil satu sama, mungkin cita-cita yang dituangkan dari ketuhanan sampai keadilan menjadi urgensi sejak dahulu.
ADVERTISEMENT
Dengan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan persatuan dari perbedaan yang begitu banyak, membuat polarisasi yang satu. Akan tetapi monopoli primer dan sekunder menjadi satu kesatuan yang terpisah.
Indonesia sudah sejak 78 tahun kemerdekaan, politik sejarah dan budaya sudah banyak dilalui untuk mencapai kemerdekaan yang kita rasakan saat ini. Berpaling dari kebudayaan kebangsaan sebagai satu bangsa yang merdeka dengan aturan hukum pemerintahan yang sah, Indonesia sudah menjalani sejarah pergantian kekuasaan negara dengan konsep demokrasi.
Ilustrasi upacara bendera HUT RI. Foto: Unspalsh
Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 dengan 7 Presiden sejak 18 Agustus 1945. Menjelang 2024 yang mana Indonesia akan masuk dalam pergantian kepemimpinan ke-8. Maka pada tahun politik ini, negara banyak mengalami dinamika politik kenegaraan ataupun situasi kebangsaan yang cukup megah.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti, korupsi pejabat eksekutif dari pusat sampai daerah kabupaten, menjadi dinamika yang antah-berantah baiknya di mana. Sumber daya manusia yang entah mengarah pada kemajuan yang mana? Politik identitas, budaya, agama adat dan ras masih terjadi dalam bangsa ini.
Urgensi generasi penerus, dari yang katanya sebagai tunas muda yang akan memegang masa Emas pada tahun 2045 masih menjadi tanda tanya apakah kita pada saat itu benar maju secara kebangsaan dan kenegaraan. Atau hanya saja angan-angan yang tangga pertamanya pun masih belum jelas ke mana arahnya.
Intelektual hanya diterjualkan pada orang yang masih memikirkan dirinya saja, kekuasaan yang masih berpegang pada hukum yang tumpul ke atas, atas keluarga, atas kelompok, atas koalisi. Namun tajam ke bawah, masyarakat bawah, masyarakat yang masih diminoritaskan, ataupun oposisi yang di bawah jabatan koalisi.
ADVERTISEMENT
Generasi emas 2045 yang sebagai sebuah wacana, dan gagasan dalam rangka mempersiapkan para generasi muda Indonesia yang berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing tinggi.
Diseminasi gagasan itu gencar dilakukan untuk menginspirasi generasi muda agar lebih bersemangat dalam belajar dan berkarya di segala bidang. Namun pada realitanya, masih merasa benar atas kekuasaan kecilnya, benar atas idealismenya, benar akan kepercayaannya—namun masih bisa diberi harga untuk dijual ke pasarnya.
Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Para tokoh kenegaraan yang menjanjikan keemasan pada rakyatnya, namun ternyata hanya pada keluarganya, kelompoknya dan koalisinya. Jelas ini membuat urgensi kebangsaan untuk masa depan makin terlihat jelas merosot ke bawahnya. Dinamika pemilu masih dibakar dengan isu-isu kebangsaan yang rancu, kebangsaan yang terkelaskan minor dan mayor.
ADVERTISEMENT
Politik dipertarungkan dan dibenturkan dengan hukum yang entah di mana adilnya, dibenturkan dengan siapa orang di belakangnya, dibenturkan pula dengan kebenaran yang hanya untuk dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri. Intelektual dijalani sebagai motor kendaraan manipulatif untuk validasi pribadi bukan untuk motor Pembangunan kebangsaan dan kenegaraan.
Jelas ini tantangan untuk menyelesaikan urgensi kebangsaan yang termakan oleh zaman yang condong universal tanpa memilah baik dan buruknya, dinamika kenegaraan yang termakan dengan interest atau kepentingan pribadi atau kelompok tanpa memandang keadilan dan kebajikan.
Ideologi hanya digunakan untuk internal kelompok bukan untuk membangun bangsa, idealisme hanya digunakan untuk promosi harga tinggi individu sebagai bentuk manipulatif bukan sebagai bentuk mencerdaskan sesama. Ya jelas ini menjadi tantangan yang harus dipahami terlebih dahulu agar bisa diselesaikan secara bersama-sama.
ADVERTISEMENT