Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dilema Biaya Pendidikan Tinggi
28 Mei 2024 9:52 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rivaldo Mubarak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dunia pendidikan sedang hangat diperbincangkan karena permasalahan Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak rasional. Hal ini semakin menjadi perhatian pascaaduan Aliansi BEM-SI kepada komisi X DPR RI. Menurut perwakilan BEM-SI dari
ADVERTISEMENT
Unsoed, kenaikan UKT berkisar 300-500 persen. Sebagai contoh, pada fakultas peternakan Unsoed terjadi kenaikan UKT dari 2,5 juta rupiah menjadi 14 juta rupiah. Hal serupa juga disampaikan oleh perwakilan BEM-SI dari universitas yang lain.
Menanggapi permasalahan tersebut, dalam wawancaranya, Plt Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Tjahjandarie, mengatakan bahwa menempuh pendidikan di perguruan tinggi merupakan kebutuhan tersier (tertiary education) dan bersifat pilihan. Beliau menambahkan bahwa Bantuan Operasional PTN (BOPTN) dari pemerintah belum dapat mencukupi seluruh kebutuhan pembiayaan pada perguruan tinggi. Pernyataan ini mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Pandangan tersebut dianggap intuitif dan menambah kebingungan publik terhadap permasalahan yang sedang berlangsung.
Menilik lebih dalam, anggaran pendidikan dalam APBN 2023 sebesar 612,2 triliun. Dari total alokasi tersebut, Kemendikbudristek mengelola sebesar 80,2 triliun atau 13,1 persen. Porsi terbesar dalam penggunaan anggaran pendidikan adalah Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 305,6 triliun.
ADVERTISEMENT
Besarnya alokasi TKD tersebut disebabkan oleh kebijakan pembangunan pendidikan dasar dan menengah yang merupakan kewenangan dari pemerintah daerah. Di samping itu, alokasi BOPTN untuk pendidikan tinggi dan vokasi sebesar 7,29 triliun atau 1,19 persen dari APBN pendidikan. Alokasi BOPTN menurun pada tahun 2024 menjadi 6,62 triliun atau 0,9 persen. Nilai ini di bawah rekomendasi anggaran pendidikan tinggi dari UNESCO sebesar minimal 2 persen dari APBN.
Sejak awal proklamasi, para pendiri negeri ini sudah menyadari pentingnya pendidikan dalam berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 yang mengamanatkan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Pemikiran tersebut diperkuat dengan Pasal 31 UUD yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dasar (SD, SMP) dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam perjalanannya, pemerintah menggerakkan program wajib belajar sampai 12 tahun dengan menambahkan pendidikan menengah (SMA).
ADVERTISEMENT
Menurut Bank Dunia, semua pendidikan formal pasca sekolah menengah termasuk dalam pendidikan tersier termasuk perguruan tinggi. Kendati demikian, pendidikan tersier ini dianggap berperan penting dalam mendorong pertumbuhan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah banyak melakukan reformasi dalam bidang pendidikan. Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN serta APBD. Namun, amanat tersebut baru terealisasi pada tahun 2009 dengan APBN pendidikan sebesar 207,4 triliun atau 20,72 persen dari total APBN.
Alokasi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki belanja publik pendidikan terbesar. Besaran alokasi anggaran ini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dalam informasi APBN 2024 disebutkan bahwa arah kebijakan pembangunan pendidikan saat ini di antaranya adalah peningkatan akses pendidikan melalui perluasan wajib belajar dan bantuan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas pembangunan pendidikan saat ini pada pendidikan dasar dan menengah.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan pembangunan pendidikan dapat dilihat dari pemerataannya. Salah satu indikator yang digunakan untuk menggambarkan pemerataan pendidikan adalah partisipasi sekolah. Harapannya semakin tinggi penduduk yang berpartisipasi dalam pembelajaran di sekolah, maka semakin baik kualitas kehidupan masyarakat. Kondisi partisipasi sekolah dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Kasar (APK).
Menurut Badan Pusat Statistik, APS usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun pada 2023 sebesar 99,16 persen dan 96,10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 tahun yang dilaksanakan oleh pemerintah berjalan baik, namun masih dibutuhkan upaya lebih untuk menyukseskan program wajib belajar 12 tahun. Hal ini ditunjukkan dengan APS usia 16-18 tahun sebesar 73,42 persen. Artinya, dari 100 penduduk usia 16-18 tahun, 27 di antaranya tidak bersekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP.
ADVERTISEMENT
Selain itu, nilai APS usia 19-23 tahun (umur kuliah) hanya sebesar 28,96 persen. Artinya, pada 2023 penduduk usia 19-23 tahun yang masih bersekolah/kuliah di Indonesia kurang dari sepertiganya. Jika dilihat dari tingkat kesejahteraannya, terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok pengeluaran terendah (kuintil 1) dan kelompok pengeluaran tertinggi (kuintil 5) dalam mengenyam pendidikan sampai usia kuliah.
Dari 100 penduduk berusia 19-23 tahun pada kelompok pengeluaran tertinggi, 45 di antaranya sedang bersekolah, namun pada kelompok pengeluaran terendah, hanya terdapat 18 orang yang masih sekolah/kuliah. Sejalan dengan hal tersebut, (Perdana, 2015) menyatakan bahwa anak yang berada pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan rendah cenderung tidak bersekolah dibandingkan anak yang berada pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan tinggi.
ADVERTISEMENT
Nilai APK memiliki besaran yang serupa dengan APS. APK menunjukkan proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan dengan kelompok umur yang sesuai. Semakin tinggi nilai APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan. Pada tahun 2023, nilai APK SD dan SMP tergolong tinggi sebesar 105,62 persen dan 92,51 persen. Kendati demikian, nilai APK SMP dan SMA masih di bawah target renstra kemendikbudristek 2020-2024.
Pada jenjang pendidikan tinggi, nilai APK tahun 2023 hanya sebesar 31,45 persen. Capaian tersebut lebih rendah dari target renstra Kemendikbudristek 2020-2024 sebesar 37,63 persen. Jika dilihat dari kelompok pengeluarannya, capaian APK PT pada kelompok pengeluaran terendah sebesar 17,54 persen.
Besaran ini cukup jauh di bawah capaian APK PT pada kelompok pengeluaran tertinggi. Pada kelompok pengeluaran tertinggi lebih dari setengah penduduk usia 19-23 tahun sedang menempuh pendidikan tinggi (APK PT sebesar 52,65 persen).
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan adanya disparitas yang besar antara penduduk miskin dan kaya dalam mengakses pendidikan tinggi. Padahal menurut (Elmira dan Suryadarma, 2018), kesetaraan akses terhadap pendidikan tinggi merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan juga keluar dari kemiskinan.
Sejalan dengan data di atas, OECD merilis data persentase lulusan pendidikan tinggi negara di dunia tahun 2023. Dalam publikasinya, penduduk Indonesia yang menamatkan pendidikan tinggi sebesar 11,9 persen. Angka ini cukup kecil jika dibandingkan dengan Kanada yang memiliki lulusan pendidikan tinggi terbanyak di dunia sebesar 60 persen.
Negara lain di Kawasan Asia juga memiliki jumlah lulusan pendidikan tinggi yang besar. Sebagai contoh, di negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, lebih dari setengah penduduknya menamatkan pendidikan tinggi. Sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia merupakan lulusan SMP dengan persentase sebesar 62 persen menurut OECD.
ADVERTISEMENT
Dalam indikator lainnya, Indonesia memiliki kualitas pendidikan di bawah rata-rata internasional. Hal ini ditunjukkan dalam data PISA yang menilai tiga indikator kualitas pendidikan negara di dunia meliputi kemampuan matematika, sains dan literasi membaca. Pada tahun 2022, Indonesia memiliki nilai di bawah rata-rata Global pada ketiga indikator.
Pada kemampuan matematika, siswa di Indonesia menempati peringkat 70 dari 81 negara yang dinilai, sedangkan kecakapan dalam sains menempatkan siswa Indonesia pada peringkat 67. Pada literasi membaca, murid di Indonesia menempati peringkat 71 dari 81 negara. Dengan kondisi alam dan kebudayaan yang serupa, negara lain di Asia memiliki nilai yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, Singapura menempati peringkat pertama dalam 3 Indikator. Selain itu Jepang, China dan Korea memiliki nilai jauh di atas rata-rata dunia. Di asia tenggara, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Thailand, berada di atas Indonesia pada ketiga Indikator tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa potret pendidikan yang telah diuraikan menunjukkan bahwa upaya pemerataan pendidikan dasar di Indonesia pada jenjang SD sudah baik, namun pada jenjang SMP masih di bawah target yang ditetapkan. Pada pendidikan menengah (SMA), pemerintah perlu meningkatkan upaya peningkatan aksesibilitasnya karena masih banyak penduduk yang tidak melanjutkan pendidikannya sampai pada jenjang ini, utamanya terjadi pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan rendah.
Capaian wajib belajar 12 tahun yang belum optimal ini menjadikan pendidikan dasar dan menengah masih menjadi fokus utama belanja APBN pendidikan. Sebagai implikasi, pembangunan pendidikan tinggi kemungkinan belum dapat menjadi prioritas saat ini.
Selain itu, alokasi anggaran APBN sebesar 20 persen untuk pendidikan ternyata belum cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan sampai jenjang tertinggi. Menyikapi hal tersebut, pemerintah perlu berperan aktif dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan penggunaan anggaran pendidikan yang utamanya pada program daerah.
ADVERTISEMENT
Hal ini penting karena hampir setengah dari APBN pendidikan dialokasikan ke daerah. Secara komprehensif, pemerintah juga perlu melakukan pengkajian ulang mengenai penambahan porsi anggaran untuk membiayai kebutuhan pendidikan sampai pada jenjang pendidikan tinggi. Masyarakat juga dapat mengambil peran dalam mendukung pembiayaan pendidikan tinggi yang berkeadilan.