Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial Menjadi Pedang Bermata Dua bagi Seorang Seniman
30 April 2022 21:14 WIB
Tulisan dari Riyadh Arasyi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital seperti saat ini, media sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Media sosial memberikan kemudahan bagi manusia untuk berinteraksi jarak jauh dan mengakses segala informasi dengan mudah. Media sosial bisa juga sebagai alat untuk promosi karena jangkauannya yang sangat luas, salah satunya dalam bidang ekonomi kreatif. Namun bagi seorang seniman, media sosial terkadang bisa menjadi pedang bermata dua yang membuat dilema. Karena di satu sisi seorang seniman bisa mendapatkan kemudahan dalam mempromosikan karyanya kepada khalayak untuk mendapatkan banyak atensi. Tetapi di sisi lain bisa memunculkan sebuah masalah baru, yaitu banyak warganet yang mengkritik, mencibir, bahkan memaki seorang seniman ketika tidak sesuai dengan selera dan ekspektasi mereka. Hal tersebut tentu saja akan menjadi pukulan berat yang mengguncang mental seorang seniman.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasusnya, belum lama ini ramai di media sosial Twitter. Yaitu kritik keras yang dilayangkan warganet kepada Tere Liye. Karena novelnya yang berjudul “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” dituduh menyuguhkan pedofilia di dalamnya. Karena isu tersebut, Tere yang murupakan salah satu penulis populer di Indonesia dikritik dan dihujat habis-habisan oleh warganet. Padahal tuduhan tersebut sangat bersifat subjektif dan tanpa dasar teori kritik apapun. Bahkan beberapa orang yang mencibir hanya ikut-ikutan saja tanpa pernah membaca sama sekali novelnya.
Kenapa masalah tersebut bisa terjadi?
Pertama, karena di era digital yang masif seperti sekarang, seseorang akan lebih mudah untuk mengakses sesuatu hal. Tetapi masalahnya beberapa orang berpikir secara praktis dan menelan informasi yang didapatkannya tanpa mengetahui konteksnya atau menelaahnya lebih jauh lagi. Lalu mereka mendapatkan dukungan dari orang yang berpikiran sama dan kemudian membentuk suatu kelompok baru di dunia maya. Sehingga mereka berani untuk melakukan tindakan yang tidak etis terhadap kelompok atau individu lain yang dirasa bertentangan.
ADVERTISEMENT
Kedua, karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti kebebasan dalam berkesenian. Kebanyakan dari mereka selalu memiliki patokan bahwa karya seni harus bersifat menghibur dan mendidik. Padahal seni itu adalah hal yang sangat bebas dan tidak harus selalu berpatokan kepada dua hal tersebut. Seorang seniman selalu bisa memberikan edukasi dalam seminar, namun tidak selalu bisa memberikan edukasi dalam karyanya. Justru tuntutan tersebut sama saja membatasi kreativitas seorang Seniman.
Jangan berikan seniman tugas untuk mendidik
Seni merupakan manifestasi dari apa yang dilihat, dirasa, dan didengar, lalu dikemas dalam bentuk yang estetis. Jadi sebetulnya siapa saja berhak menjadi pelaku kesenian, bukan hanya orang berpendidikan dan religius. Orang tidak sekolah, orang tidak beragama, tukang bangunan, tukang becak, pelacur, bahkan orang ODGJ sekalipun boleh berkesenian di dalam Brut Art. Jadi jangan pernah memberikan tugas mendidik kepada seniman, karena tugas seorang seniman adalah membuat karya seni. “Kalau karyanya tidak mendidik dan tidak layak untuk anak?” Ya itu tugas orang tua untuk menyaring karya seni yang layak dikonsumsi anaknya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat terutama warganet harus lebih bijak lagi dalam menyikapi suatu karya seni. Setiap karya seni memiliki estetika, nilai, dan ciri khasnya masing-masing. Jadi carilah karya seni yang sesuai dengan selera Anda dan nikmati itu. Jangan malah mencibir karya seni yang tidak sesuai dengan selera Anda lalu mencibirnya. Karena sejatinya setiap karya seni mempunyai penikmat, dan setiap penikmat mempunyai seleranya masing-masing.