Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Memilih untuk Childfree adalah Hak Independen Manusia
27 Juni 2022 18:49 WIB
Tulisan dari Riyadh Arasyi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Paham bebas anak atau dalam istilah bahasa Inggris disebut childfree kian marak di Indonesia. Sejatinya, orang yang memilih childfree adalah mereka yang menikah tetapi tidak ingin memiliki anak. Paham tersebut sebetulnya sudah tidak asing dan dianggap hal yang lumrah di dunia Barat. Karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Tetapi di Indonesia, paham ini seringkali mendapatkan pertentangan. Sehingga banyak pula pasangan childfree yang mendapatkan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Tentu saja sangat ironis melihat diskriminasi tersebut, mengingat manusia itu adalah makhluk independen yang memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan pilihan. Padahal, pasangan yang memilih childfree tentu bukan semata-mata mengikuti tren atau ingin bebas saja. Tetapi keputusan tersebut pasti diambil melalui proses kontemplasi panjang yang penuh kompleksitas. Karena, mayoritas orang yang memilih untuk childfree adalah orang berpendidikan. Mereka memiliki rasionalitas dan alasan logis atas pilihannya. Dan pilihan tersebut seharusnya tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
Mari kita melihat masalah ini dari perspektif yang lebih luas dan netral. Pertama, memiliki anak bukanlah perkara mudah, tetapi butuh kesiapan dan tanggung jawab yang begitu besar. Banyak pasangan yang tidak siap secara mental untuk memiliki anak. Jika dipaksakan, akhirnya terjadilah baby boomer, kekerasan terhadap anak, atau eksploitasi anak. Bahkan, bisa menyebabkan gangguan kejiwaan kepada orang tua juga. Problematika tersebut merupakan hal negatif yang tentu saja tidak diinginkan oleh siapapun.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, memiliki anak berarti harus bertanggung jawab penuh untuk memenuhi segala kebutuhannya. Tentu saja diperlukan kesiapan finansial yang baik, mengingat biaya tersebut sangatlah besar. Bagaimana tidak, sebelum lahir saja seorang anak pasti sudah menghabiskan biaya, seperti biaya cek kandungan dan biaya persalinan. Lalu ketika anak itu lahir, orang tua harus mencukupi kebutuhannya dari sejak bayi hingga kelak dewasa dan mandiri. Kebutuhan tersebut berupa sandang, pangan, maupun papan. Terlebih, orang tua juga wajib memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya, baik itu pendidikan formal ataupun non-formal. Kita ketahui bersama, bahwa pendidikan formal menghabiskan biaya yang cukup besar.
Masalah-masalah di atas lah yang berperan besar dalam mendorong beberapa pasangan untuk childfree. Yaitu, ketidaksiapan secara mental, finansial, dan tanggung jawab yang begitu besar. Selain itu, ada pula yang memilih bebas anak karena merasa populasi manusia di muka Bumi ini sudah sangat padat. Sehingga mereka memilih untuk tidak memiliki anak demi menjaga stabilitas kehidupan di Bumi. Maka dari itu, kita tidak boleh melihat fenomena childfree ini dari permukaannya saja. Tetapi harus melihat dari perspektif yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Masalah-masalah Childfree di Indonesia
Di Indonesia sendiri, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa memiliki anak adalah patokan kebahagiaan, lalu menilai mereka yang memilih untuk childfree tidak akan bahagia. Padahal ukuran kebahagiaan manusia itu kan berbeda-beda. Selain itu, banyak pula yang masih memiliki persepsi bahwa banyak anak itu banyak rezeki. Sehingga mereka berasumsi bahwa orang yang memilih childfree akan sedikit rezeki. Padahal, itu merupakan persepsi orang zaman dahulu yang sudah kurang relevan dengan zaman sekarang.
Zaman dahulu memiliki banyak anak itu memang banyak rezeki. Karena dahulu manusia masih hidup secara primitif. Katakanlah jika orang memiliki lima anak. Anak pertama akan pergi mencari ikan. Anak kedua akan pergi mencari beras. Anak ketiga akan pergi mencari kayu bakar. Anak keempat akan membatu pekerjaan rumah. Dan anak kelima akan menggembala hewan. Tentu saja akan meringankan beban orang tua dan memperlancar rezeki orang tua. Tetapi di zaman sekarang dinamika kehidupannya sudah jauh berbeda. Kita sudah memasuki era modern yang penuh materialisme. Tentu saja memiliki anak malah menambah biaya hidup yang begitu besar.
ADVERTISEMENT
Konstruksi sosial yang melekat di masyarakat tentang perempuan juga harus dibongkar. Selama ini, perempuan dianggap tidak sempurna jika belum memiliki anak. Sedangkan, banyak laki-laki yang tidak memiliki anak tetapi dianggap normal. Tentu saja hal tersebut merupakan suatu ketidakadilan bagi perempuan. Seolah perempuan di muka Bumi ini hanya berperan sebagai alat reproduksi saja.
Dan yang paling marak terjadi di Indonesia adalah, menentang paham childfree dengan dalih agama. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa hegemoni agama di Indonesia ini sangat luar biasa. Padahal, tidak segala hal harus dibenturkan dengan agama. Seharusnya kita jangan melihat agama hanya secara literal saja, tetapi harus secara fundamental. Agama sendiri sudah mengajarkan kepada penganutnya, terutama agama Islam yang mayoritas dianut warga Indonesia, untuk membuat keturunan yang baik dan bermoral. Sedangkan kalau pasangan yang tidak siap untuk memiliki anak apa harus dipaksakan? Tentu saja tidak! Karena hal yang dipaksakan akan memiliki dampak yang negatif.
ADVERTISEMENT
Agama memang suatu pedoman bagi manusia. Akan tetapi, ranah agama ini merupakan ranah privat yang sifatnya individual. Jadi kembalikan saja kepada mereka ingin memilih jalan hidup seperti apa. Jangan menjadikan agama sebagai alat untuk bertindak represif dan diskriminatif. Karena yang berhak menentukan pilihan atas hidupnya dan eksistensinya adalah diri mereka sendiri. Dan yang berhak menghakimi mereka hanyalah Tuhan. Terkecuali mereka melanggar hukum negara, baru boleh dihakimi oleh manusia.
Oleh karena itu, meskipun seandainya tidak setuju dengan paham childfree, seharusnya jangan menghakimi dan mendiskriminasi mereka yang menganut paham tersebut. Saling menghargai saja. Karena apapun alasan mereka, itu merupakan kebebasan manusia untuk menentukan pilihan. Lagipula, mereka kan tidak merugikan orang lain dan tidak melanggar hukum.
ADVERTISEMENT