Konten dari Pengguna

Kegagahan Developmentalism Tanpa Merefleksikan Kelestarian Ekosistem

Muhammad Riyadi Nugraha
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang
30 Desember 2024 16:34 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Riyadi Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi developmentalism. Sumber foto: (Yogendra Singh/pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi developmentalism. Sumber foto: (Yogendra Singh/pexels.com)
ADVERTISEMENT
Salah satu permasalahan yang mungkin kerap kali terjadi pada setiap dasawarsa ini adalah terkait adanya developmentalism atau pembangunan yang justru berdampak negatif, terkhusus pada tatanan ekologi yang merusak kelestarian ekosistem. Pembangunan yang katanya untuk meningkatkan ekonomi itu, terkadang pihak penyelenggara tidak memperhatikan dan memperhitungkan dampak yang akan terjadi dengan adanya pembangunan tersebut.
ADVERTISEMENT
Saat ini, sudah seharusnya tidak lagi memperdebatkan mana yang lebih penting antara ekonomi dan ekologi. Kedua hal ini bukanlah dikotomi, karena semuanya harus berjalan secara seimbang, di mana Pembangunan ekonomi harus tetap berjalan, dan lingkungan tetap terjaga dan lestari.
Sudah bukan lagi rahasia umum, ketika pemerintah kerap kali melakukan pembangunan yang justru merugikan pada kelestarian lingkungan, yang tentunya berdampak besar bagi kelangsungan kehidupan manusia. Seperti kasus Wadas yang terjadi pada tahun 2022 kemarin, banyak publik yang ramai mengkritik proyek tersebut, karena akan amat sangat berdampak negatif bagi lingkungan dan juga manusia. Jika terjadi, tentu tidak ada bedanya dengan memaksa warga untuk hidup dengan kerusakan lingkungan yang ada.
Selain itu, Proyek Strategi Nasional (PSN) juga menjadi salah satu proyek pembanguan pemerintahan yang sering kali memunculkan sekelumit problematika. Seperti halnya proyek jalan tol Yogyakarta-Bawean yang menggunakan tanah uruk secara ilegal. Di sana, tanah uruk diambil dari wilayah geoheritage Sleman, yang seharusnya tidak boleh dijamah sedikit pun. Akibatnya, kerusakan lingkungan tersebut akan sulit untuk diperbaiki, hilangnya mata air, pendangkalan sungai akibat endapan lumpur, bahkan bisa terjadinya longsor dan banjir besar.
ADVERTISEMENT
Praktik developmentalisme tersebut semakin silet dan tidak ada bedanya dengan praktik pendarahan manusia pada zaman dulu, ketika yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Di beberapa negara terjajah dulu, kerap kali terjadi penindasan manusia, kekejaman, kejahatan, yang orientasinya pemerasan yang kemudian bisa menguntungkan si borjuis tersebut. Hal ini dalam dinamakan bloody hands, yaitu praktik ekonomi dengan melakukan kejahatan kepada masyarakat, guna untuk menguntungkan orang yang strata sosial berada di atas.
Dalam pembangunan, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan etika pembangunan kembali, merefleksikannya, mengukur, dan mempertimbangkan kembali segala praktik pembangunan yang akan dilakukan. Etika tentu saja tidak hanya diperuntukkan untuk elemen sosial saja, namun dalam tatanan ekologi juga perlu adanya etika. Segala macam perkiraan kerusakan ekosistem, perlu dikaji oleh lanjut secara komprehensif, yang tentunya tidak berimplikasi pada kerugian. Tidak bisa dipungkiri, jika hal ini terus terjadi, pemanasan global akan semakin terasa dan akan berimbas pada kerusakan alam.
ADVERTISEMENT
Maka besar harapan, pada pemerintahan Presiden Prabowo saat ini, bisa melihat problekmatika ini menjadi lebih komprehensif. Di mana dalam pembangunan seharusnya tidak menafikan aspek lain secara moral, seperti sosial dan kultur setempat. Etika pembangunan perlu direpresentasikan sehingga segala macam keputusan pembangunan bisa terukur dengan baik, sehingga memiliki dampak yang baik bagi kelestarian ekosistem, keberlangsungan ekonomi, dan kesejahteraan manusia.
Pembangunan harus berorientasi pada kemanusiaan dan lingkungan, bukan malah menghancurkan keduanya.