Konten dari Pengguna

Kok Bisa Seorang Profesor Melakukan Kekerasan Seksual?

Muhammad Riyadi Nugraha
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang
11 April 2025 17:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Riyadi Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi kekerasan seksual (pexels.com/Michelle Hart)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi kekerasan seksual (pexels.com/Michelle Hart)
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, ada berita pelecehan seksual yang sedang heboh di jagat maya. Perbuatan bejat tersebut dilakukan oleh seorang Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Edy Meiyanto, terhadap belasan mahasiswinya saat sedang melakukan bimbingan akademik.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM mencatat setidaknya 15 korban dan 33 tindakan pelecehan yang dilakukan oleh Edy saat proses bimbingan akademik berlangsung.
Adapun laporan pertama masuk pada Juli 2024 dan setelah pemeriksaan, UGM menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap serta pencopotan dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC). Selain itu, KEMENDIKTISAINTEK juga memproses pencopotan status ASN miliknya.
Tentu banyak yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang yang bergelar akademik tinggi bisa melakukan tindakan seperti itu?

Kekerasan seksual menempati kasus dengan jumlah yang selalu tinggi

Selain kasus di atas, pada tanggal 2 Desember 2024, Universitas Islam Riau pernah memecat Dekan FISIP berinisial SAL setelah terbukti melakukan pelecehan terhadap alumni yang sedang konsultasi agar dapat mengajar di kampus tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, di Universitas Pelita Harapan, Tanggerang, seorang dosen piano juga diberhentikan setelah adanya laporan kekerasan seksual bertahun-tahun terhadap mahasiswanya.
Nah, kalau kita merujuk pada data dari KEMENDIKTISAINTEK (istilah dulunya KEMENDIKBUD) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63% kasus tak pernah dilaporkan.
Kemudian, per Juli 2023, tercatat ada 65 kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Tentu saja, angka-angka ini hanyalah puncak dari gunung es.
Tapi yang pasti, kekerasan seksual tidak terbatas di kampus saja. Data dari Simfoni PPA sejak awal 2025 menunjukkan bahwa terdapat 5.258 perempuan dan 1.238 laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual menjadi kasus paling dominan, yakni 2.562 kasus.
ADVERTISEMENT
Tambah lagi, data yang dirilis oleh Komnas Perempuan bersama mitra CATAHU (Catatan Tahunan) terbaru, yaitu pada 05 Maret 2025 yang menegaskan bahwa kekerasan seksual tetap menjadi bentuk kekerasan paling tinggi dengan 17.305 kasus, disusul kekerasan fisik (12.626), psikis (11.475), dan ekonomi (4.565).
Tragisnya, pelaku kekerasan justru seringkali adalah mereka yang seharusnya kita harapkan menjadi pelindung, namun malah sebaliknya. Di antara pelaku tersebut adalah dosen, guru, pejabat, aparat penegak hukum, hingga tokoh agama.

Kenapa bisa terjadi?

Salah satu alasan kenapa kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa. Dalam banyak kejadian, pelaku memiliki posisi sosial dan otoritas yang lebih tinggi dibanding korban. Selain itu, kekuasaan tersebut dieksploitasi untuk melanggengkan tindakan penyimpangan.
ADVERTISEMENT
Inilah yang disebut sebagai abuse of power, atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, yang kerap merugikan pihak lain, terutama mereka yang lebih rentan.
Dalam sebuah penelitian yang berjudul Abuse of power–an experimental investigation of the effects of power and transparency on centralized punishment, mengatakan bahwa setidaknya ada dua benang merah dari sikap abuse of power ini, bahwa:
ADVERTISEMENT
Bahkan ada satu kasus yang baru juga, yaitu dokter PPDS yang memerkosa anak pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Miris, ya?
Adapun, penyalahgunaan kekuasaan selain daripada kasus kekerasan ini, saat di mana wali kota Depok yang mengizinkan mobil dinas untuk mudik, padahal jelas-jelas melanggar aturan. Ya, masa bisa semudah itu pakai fasilitas negara, hehe.
Kalau dipikir-pikir, ya, bahwa Indonesia sejatinya sudah memiliki payung hukum, yakni sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun pertanyaannya, sejauh mana sebuah institusi, khususnya kampus—mampu menafsirkan dan menerapkannya secara serius?
Maka kiranya kehadiran Satgas PPKS di berbagai perguruan tinggi patut untuk diapresiasi, tetapi belum cukup bila tidak disertai dengan komitmen kolektif dari seluruh elemen kampus, bahkan untuk semua instansi atau lembaga yang ada.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Lantas, mengapa seorang akademisi bisa terlibat dalam kekerasan seksual? Jawabannya ada pada dua hal: penyalahgunaan kuasa, dan ilusi bahwa adanya anggapan "pendidikan (intelektual)=moral yang baik.
Kalau dianalogikan, pendidikan itu seperti SIM mengemudi, di mana ketika kita punya suratnya, tapi faktanya belum tentu juga bisa berkendara dengan baik. Begitu juga dengan moralitas. Ia bukan datang dari gelar atau jabatan, melainkan dibentuk oleh pengalaman, kesadaran, dan nilai hidup yang dipraktikkan sehari-hari.
Lebih dari kesalahan, kekerasan seksual adalah kejahatan yang kejam. Dan siapa pun pelakunya, tak peduli gelar atau statusnya, harus bertanggung jawab di hadapan hukum dan masyarakat.
Kalau kamu punya perspektif atau pengalaman soal ini, tuliskan di kolom komentar, ya!
ADVERTISEMENT
Referensi Website:
ADVERTISEMENT
Referensi Jurnal: