Konten dari Pengguna

'The American Dream' sebagai Landasan Teori Krisis Iklim

Riza Annisa Anggraeni
ASEAN Young Climate Leader 2022 UN Changemaker for Climate Action 2024
30 Januari 2024 11:54 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riza Annisa Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nature. Source: Personal Documentation
zoom-in-whitePerbesar
Nature. Source: Personal Documentation
ADVERTISEMENT
The Limits to Growth merupakan sebuah laporan yang diterbitkan oleh Club of Rome pada 1972 dengan menyatakan bahwa dalam satu abad, pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali berpotensi akan bertabrakan dengan realitas dunia yang terbatas. Para ilmuwan kemudian memperingatkan bahwa kita-manusia dan seluruh ekosistem di dalamnya, hidup di planet yang terbatas, yang mana pada faktanya tidak mampu untuk terus menopang ekspansi ekonomi tanpa batas. Berpura-pura mengabaikannya merupakan alasan utama penyebab krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Skenario masa depan yang telah menggambarkan kemungkinan dampak negatif dari upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tiada henti, kini menjadi kenyataan yang jauh lebih cepat dari perkiraan. Keadaan cuaca yang ekstrem, hilangnya keanekaragaman hayati dalam jumlah besar, meningkatnya polusi udara dan air, serta meningkatnya degradasi lingkungan merupakan bukti bahwa planet kita hampir mencapai titik terendah akan kerentanan dan tidak adanya harapan kehidupan untuk generasi mendatang.
Umat ​​​​manusia saat ini menghadapi tiga krisis planet yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Hal ini jelas bahwa penyebab utama krisis-krisis ini semuanya bersifat antropogenik, dengan kata lain disebabkan oleh perilaku manusia.
Jika kita menilik lebih dalam sebagai seorang individu dan kelompok, gaya hidup dan perilaku, juga pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan telah memberi dampak tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada siklus bumi, sehingga mengurangi kemampuan sistem pemulihan pada ekosistem-ekosistem, di mana hal tersebut sangat penting untuk kehidupan manusia, seperti siklus iklim, proses penyerbukan tanaman yang memadai, air bersih, dan lainnya.
ADVERTISEMENT

Titik Awal Konsumerisme

"Pola konsumsi masyarakat sebagai penyebab utama krisis iklim dan meningkatkan potensi kehancuran bumi.” Titik awal dari pernyataan ini tidak berasal dari hasil satu peristiwa saja, melainkan hasil dari berbagai proses sejarah yang mana jika digabungkan, menyatakan penekanan yang kuat pada konsumerisme.
Pada awal abad ke-20, peningkatan produktivitas yang didorong oleh inovasi teknologi dan pola produksi baru, terutama di negara-negara industri, menyebabkan proses kelebihan produksi yang terus menerus terjadi. Dalam mengatasi hal tersebut dan memastikan peningkatan keuntungan, banyak industrialis menyadari bahwa produksi massal harus diikuti dengan konsumsi massal. Bahwa tidak ada gunanya meningkatkan produktivitas jika masyarakat tidak mampu membeli produk tersebut.
Persepsi ini telah membuka gagasan bahwa masyarakat harus dianggap sebagai konsumen di atas segalanya. Hal ini menjadi sebuah gagasan yang populer di Amerika Serikat dan Eropa pasca Perang Dunia I. Demikian sebuah kemajuan sebuah negara diukur dari perluasan konsumsi masyarakat yang terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 1920-an, para ekonom, perencana, dan pemikir terkemuka menjadi pendukung sebuah model yang di mana pola konsumsi tinggi sebagai alat terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, standar hidup yang lebih tinggi, dan kesejahteraan. Model konsumsi ini demikian diharapkan terjadi pada semua tingkatan baik individu, dunia usaha, dan pemerintah.
Gagasan tersebut kemudian semakin diperkuat pada dekade-dekade berikutnya. Pada tahun 1950-an, negara-negara industri seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat sudah sangat bergantung pada konsumsi. Seperti yang mungkin disebut oleh sebagian orang, American Dream menjadi sebuah cara hidup aspirasional berdasarkan konsumsi materi yang menjadi rujukan sebagian besar dunia Barat.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, model yang didorong oleh konsumsi secara bertahap diekspor ke negara-negara berkembang, yang menjadi garda terdepan dalam memperluas pasar. Masyarakat global dibuat percaya bahwa jalan menuju pembangunan selalu berkaitan dengan peningkatan konsumsi. Peningkatan terbesar akhirnya terjadi pada tahun 1990an ketika globalisasi menghubungkan rantai pasokan di seluruh dunia dan memungkinkan produktivitas yang lebih besar, serta pasar yang semakin diperluas.
ADVERTISEMENT

Materialisme dan Media Sosial

Benarkah bahwa media telah mempengaruhi gaya hidup dan pola konsumsi kta?
Pada era saat ini, konsumsi berlebihan sudah begitu terintegrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita bahkan tidak menyadarinya, dengan e-commerce misalnya, produk dari seluruh sudut Nusantara atau belahan dunia lain, hanya berjarak satu klik saja. Kita dapat dengan mudah membeli sesuatu hanya dengan membuka aplikasi atau halaman web.
Demikian lahirlah sebuah gagasan bahwa konsumsi adalah alat untuk menikmati kehidupan yang lebih baik, dan ketika kita semakin mampu memenuhi kebutuhan konsumsi kita bahkan untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan, dapat dikatakan sebagai definisi dari sebuah 'kesuksesan seseorang'.
Shopping. Source: Personal Documentation
“Gaya hidup yang kita jalani telah memberi dampak yang besar terhadap planet kita, yang tanpa kita sadari telah mempengaruhi segala hal mulai dari pertumbuhan ekonomi hingga kesehatan mental, diri, dan lingkungan kita."
ADVERTISEMENT
Ketika sebuah merek atau perusahaan melakukan periklanan, maka hal itu berarti mereka sedang menargetkan hubungan emosional bawah sadar. Peristiwa ini kerap disebut sebagai neuromarketing, di mana materi periklanan dianggap mampu membuat seseorang berperilaku dan menargetkan emosi tertentu terhadap sebuah produk.
Hal ini kemudian dapat mempengaruhi aspirasi seorang individu dan persepsi mereka terhadap produk tersebut, bahkan ketika mereka sebelumnya sama sekali tidak menaruh perhatian dan minat pada produk tersebut. Hasilnya adalah perilaku materialis yang berdampak langsung pada keberlanjutan.
Materialisme adalah sebuah konsep yang menunjukkan prioritas individu pada nilai dan tujuan untuk menjadi kaya, memiliki banyak harta benda, dimana hal ini dapat membuat seseorang memperoleh status atau validasi. Hipotesisnya adalah iklan seringkali dikaitkan dengan meningkatnya materialisme.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, paparan terhadap iklan telah meningkatkan prioritas masyarakat terhadap nilai-nilai materialistis, dengan pesan-pesan iklan yang menyatakan bahwa kebahagiaan dan kehidupan yang baik bergantung pada tingkat kekayaan dan konsumsi seseorang. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang atau kelompok yang menganut nilai-nilai materialistis kurang peduli terhadap lingkungan dan lebih jarang melakukan perilaku pro-lestari.
Dan hal ini semua dapat terjadi dalam satu wadah yaitu media sosial. Media sosial sangat mempengaruhi cara kita berinteraksi satu sama lain. Dengan mempublikasikan tentang kehidupan kita, kita dipengaruhi dan mempengaruhi dalam segala aspek kehidupan kita, apa yang kita makan, pakaian yang kita kenakan, tempat yang kita kunjungi, termasuk dengan bagaimana perasaan kita.
Periklanan 4.0 adalah sebuah bentuk dari media sosial dan mengutamakan konsep “pemasaran influencer” yang di mana melalui alat ini, pembuat konten online menyatakan telah mendukung sebuah produk, meningkatkan visibilitas merek, dan mempengaruhi keputusan pembelian jutaan pengguna hanya dengan satu postingan.
ADVERTISEMENT
Jika kalian merasa kalian pernah membeli ponsel baru di mana ponsel tersebut baru saja diluncurkan, atau pakaian, sepatu, dan lain sebagainya, maka kalian pernah mengalami jenis pemasaran seperti ini.
Demikian, media sosial perlahan menjadi kekuatan pendorong dalam menentukan nilai-nilai sosial, standar konsumsi, dan aspirasi, mulai dari pakaian, makanan yang kita makan, dan di mana kita tinggal. Namun, apakah media sosial juga dapat digunakan untuk membentuk gaya hidup dan aspirasi yang lebih berkelanjutan?

Apakah Makna 'Sukses' Bagi Kamu?

Apakah kehidupan seseorang dapat dikatakan sukses jika ia menjalani kehidupan yang ia sadari bahwa gaya hidup-nya merusak mental, diri, dan lingkungan sekitar?
Kehidupan yang baik sepertinya selalu luput dari perhatian kita. Kemungkinan konsumsi yang tidak terbatas, didorong oleh konvensi sosial (misalnya, tekanan sosial karena harus selalu memiliki barang terbaru) dan kepentingan ekonomi (iklan ada di mana-mana dalam kehidupan kita sehari-hari), tampaknya menjanjikan kita bahwa kehidupan yang baik telah menanti jika kita mengonsumsi barang atau kenikmatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Gagasan tentang gaya hidup aspiratif, berdasarkan konsumsi yang semakin meningkat dan lebih nyata, telah diperkuat oleh industri media dan periklanan. Konsumsi mulai dianggap tidak hanya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan seseorang tetapi juga sebagai sarana integrasi dan pemenuhan sosial.
Sayangnya, bagi sebagian besar dari kita, standar dan aspirasi yang berhubungan dengan kehidupan yang baik sama sekali di luar jangkauan karena mencerminkan gaya hidup yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan kelompok berpenghasilan tinggi. Meskipun sebagian orang terus-menerus mengkonsumsi makanan dan produk secara berlebihan, sebagian lainnya tidak memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Mindfulness. Source: Personal Documentation
Jika kita menjadikan pendapatan sebagai acuan, menurut Bank Dunia, sekitar 650 juta orang saat ini menghadapi kemiskinan ekstrem, hidup dengan pendapatan kurang bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika kita mempertimbangkan kemiskinan multidimensi yang terkait dengan kekurangan di bidang-bidang penting dalam kehidupan, seperti tempat tinggal dan makanan yang dimakan, angka dan data yang ditunjukkan bahkan lebih buruk lagi. Bahkan ketika kita mempertimbangkan kelas menengah, dan ketimpangan sosial di seluruh dunia, gaya hidup aspiratif dan materialis yang dianggap sebagai “kehidupan yang baik” masih jauh dari kenyataan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, kita perlu mendefinisikan kembali apa itu gaya hidup berkelanjutan dan bagaimana pentingnya konsep ini ditanamkan oleh setiap individu di seluruh Nusantara Indonesia terkhusus masyarakat urban.
Bagaimana gaya hidup yang kita terapkan mampu menciptakan hal positif untuk diri dan lingkungan sekitar kita? Membentuk kembali pola pikir kita akan cara hidup, cara membeli dan apa yang kita konsumsi. Dan tidak hanya itu, juga melainkan cara kita mengatur kehidupan sehari hari, cara bersosialisasi, bertukar pandangan, berbagi, mendidik, bahkan membangun identitas. Hal ini adalah tentang mentransformasikan masyarakat kita ke arah yang lebih dan seimbang berjalan beriringan dengan lingkungan alam kita.
Demikian hal ini tidak berarti hanya mengurangi konsumsi, namun dengan prinsip utama yaitu konsumsi dalam kapasitas regeneratif, dimana evolusi sosial mencakup pemeriksaan dan adaptasi kreatif terhadap cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan mental dan hidup kita.
ADVERTISEMENT