Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Antropologi Perkotaan: Budaya dan Kehidupan Sosial di Kota Besar
2 Desember 2024 13:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rizal Dwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Antropologi perkotaan mengkaji hubungan sosial-budaya di tengah urbanisasi yang pesat, dengan populasi perkotaan diprediksi bertambah 2,2 miliar pada 2050, terutama di Afrika dan Asia (Le Galès & Robinson, 2023). Urbanisasi tak hanya mencakup migrasi desa-kota, tetapi juga transformasi sosial, ekonomi, dan budaya.
ADVERTISEMENT
Penelitian tentang Dinamika Budaya Urban (UCD) menunjukkan budaya sebagai pendorong utama pembangunan kota berkelanjutan, membantu perencanaan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan (Kattimani & Devadas, 2024). Di Jabodetabek, densifikasi ekonomi menciptakan tantangan pengelolaan kapasitas dan infrastruktur yang melibatkan aspek sosial, budaya, dan ekonomi (Brodjonegoro, 2023).
Antropologi perkotaan menyediakan alat untuk memahami kehidupan kota dan merancang kebijakan inklusif guna menghadapi tantangan urbanisasi, memastikan pembangunan yang adil dan seimbang (Brodjonegoro, 2023; Le Galès & Robinson, 2023).
Antropologi perkotaan, subbidang studi perkotaan, mengeksplorasi keaslian budaya dalam ruang urban melalui perspektif internal seperti struktur budaya dan eksternal seperti hubungan sosial, bahasa, serta sejarah masyarakat perkotaan (Kaltenbacher, 2016).
Sebagai cabang ilmu sosial yang berkembang, antropologi perkotaan berperan memahami kompleksitas budaya perkotaan melalui pendekatan teoritis dan empiris. Pendekatan ini relevan dengan ekologi perkotaan dan gagasan urbanisme Wirth, yang menyoroti pengaruh bentuk kota terhadap proses sosial (Kaltenbacher, 2016).
ADVERTISEMENT
Teori interaksi simbolik Goffman menjadi landasan untuk memahami makna dan identitas individu di kota. Dengan urbanisasi global, antropologi perkotaan menekankan pentingnya multikulturalisme dan keberadaan unit-unit budaya yang beragam sebagai ciri khas masyarakat urban (Kaltenbacher, 2016).
Saat ini, kosmopolitanisme dan multikulturalisme saling terkait dalam kehidupan kota besar, di mana berbagai etnis dengan budaya, pandangan, dan tradisi yang berbeda hidup berdampingan. Kondisi ini menciptakan masyarakat pluralis yang mengasimilasi dan mengintegrasikan keberagaman budaya dalam lingkungan perkotaan.
Identitas perkotaan juga dipengaruhi oleh budaya massa, yang muncul di wilayah metropolitan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (Anugrah & Pratama, 2022). Globalisasi dan teknologi informasi mengubah gaya hidup di kota-kota besar, dengan kosmopolitanisme dan budaya internasional mempengaruhi generasi muda. Fenomena ini berdampak pada ekspresi diri dan interaksi sosial (Hasan et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Penduduk perkotaan kini tidak hanya menjadi konsumen budaya, tetapi juga pencipta konten melalui teknologi, berpartisipasi aktif dalam komunitas seperti fandom yang terbentuk secara online (Hurova, 2023). Budaya populer, seperti budaya Korea yang meliputi teknologi, kosmetik, fashion, dan makanan, semakin meresap ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota (Rahmawati, 2023).
Ketidaksetaraan sosial ekonomi semakin menjadi masalah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, yang diperburuk oleh pandemi. Pandemi memperlebar kesenjangan pendapatan dan kekayaan, di mana sebagian orang memperoleh lebih banyak kekayaan, sementara komunitas pekerja kecil kesulitan mencari nafkah karena terbatasnya peluang kerja (Irawan & Sulistyo, 2022).
Kemacetan menjadi masalah besar di kota-kota dengan pertumbuhan kendaraan pribadi yang pesat. Di Kota Malang, warga Tangguwang mengalami kerugian ekonomi akibat meningkatnya jumlah mobil tanpa diimbangi dengan perluasan jalan, menyebabkan kerugian waktu dan biaya perjalanan (Ramadhani et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Keamanan juga menjadi perhatian utama di kota besar dengan meningkatnya angka kriminalitas. Kota Medan, meskipun memiliki wisata indah, juga menghadapi masalah pengemis, pembunuhan, dan korupsi, serta ketidakpatuhan hukum yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas (Stevenson & Yusuf, 2024). Penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti ruang terbuka hijau, kemiskinan ekstrem, kepadatan penduduk, dan penerangan jalan berpengaruh pada tingkat kriminalitas, dengan kemiskinan menjadi faktor utama (Fitriyyah et al., 2022).
Memecahkan masalah sosial perkotaan memerlukan pendekatan holistik dan sistemik. Beberapa kota mulai membangun sistem angkutan massal, seperti LRT, untuk mengurangi kemacetan, dan meningkatkan pengawasan lalu lintas serta sistem keamanan seperti di Kabupaten Gresik (Wibisono & Rizki, 2023).
Kesimpulan
Dengan pesatnya perkembangan dan perluasan kota, jumlah penduduk perkotaan terus meningkat, dan diperkirakan akan semakin besar dalam beberapa dekade mendatang. Antropologi perkotaan kini mempelajari kota sebagai tempat tinggal beragam orang dan hubungan mereka dengan struktur spasial dan sosial sebagai respons terhadap urbanisasi. Fenomena seperti gentrifikasi, di mana identitas budaya dan bukti sejarah kota terkikis untuk menarik wisatawan, sudah menjadi hal yang umum. Pergeseran dalam antropologi perkotaan mencakup pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sosiologi, geografi, sejarah, dan komunikasi antarbudaya, guna memahami konteks politik, ekonomi, dan sejarah perkembangan kota. Meski demikian, antropologi perkotaan tetap didominasi oleh penelitian etnografi lapangan untuk mengeksplorasi pembentukan komunitas, pengelolaan perbedaan, dan konstruksi identitas di tengah lanskap perkotaan yang terus berubah.
ADVERTISEMENT