Konten dari Pengguna

Athena: Film Aksi Seru Tentang Rasisme dan Kekerasan di Perancis

Rizal Nurhadiansyah
Saya adalah penulis ulasan film yang aktif di blog dan media online, serta tertarik dengan berbagai genre dan aspek film. Saya juga menulis konten edukasi di Teras Politik, dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya.
26 September 2022 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizal Nurhadiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster resmi film Athena. Foto: Twitter/@filmdaze
zoom-in-whitePerbesar
Poster resmi film Athena. Foto: Twitter/@filmdaze
ADVERTISEMENT
Netflix baru saja merilis film aksi seru Athena, yang merupakan karya terbaru Romain Gavras. Sutradara Perancis ini mengawali karir sutradaranya dengan memproduksi video musik untuk musikus terkenal seperti Justice, Jamie XX, dan Kanye West. Athena adalah film panjang ketiganya setelah sukses dengan Our Day Will Come (2010) dan The World Is Yours (2018). Sejauh ini Romain Gavras cukup eksploratif dalam membuat film. Ketiga filmnya memiliki warna, tema, dan genre yang berbeda. Dia bisa mengeksekusi drama, komedi, hingga film aksi yang menegangkan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari sisi artistiknya yang memang luar biasa, Romain Gavras juga selalu punya pesan untuk disampaikan lewat filmnya. Di film ini, Gavras berusaha membicarakan rasisme dan kekerasan di Perancis, khususnya isu kekerasan aparat terhadap kelompok minoritas, dalam hal ini, kelompok muslim.
Film Athena tidak ada sangkut pautnya dengan Dewi Perang atau mitologi Yunani lainnya, ini film tentang perlawanan. Judul Athena sendiri diambil dari nama pemukiman imigran yang tinggal di Perancis. Film ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Karim (Sami Slimane) yang memimpin pemberontakan terhadap polisi setelah kematian tragis adiknya, Idir. Karim menduga polisi terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan adiknya. Di sisi yang lain, kakak keduanya, Abdel (Dali Benssalah) adalah seorang polisi yang mencoba untuk mencari solusi selain kekerasan. Ketika dua adiknya sedang berada dalam konflik yang menegangkan, Mokhtar (Ouassini Embarek), kakak tertua mereka justru sibuk dengan bisnis narkobanya dan berusaha keluar dari tempat kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan antara kelompok pemberontak dan polisi tidak terbendung. Abdel berusaha mengevakuasi para orang tua dan anak kecil, sementara Karim semakin menggila. Karim menganggap perlawanan yang dia lakukan perlu, karena diskriminasi tidak bisa diselesaikan dengan duduk bersama lagi. Nyawa adiknya telah direnggut. Baginya, ini bukan hanya soal balas dendam, melainkan juga tuntutan kesetaraan.
Karim dan Abdel berada di dua kutub yang berbeda. Abdel juga menderita atas kematian adiknya, tetapi dia percaya bahwa hal ini bisa diselesaikan tanpa kerusuhan. Investigasi bisa dilakukan tanpa ada yang terluka. Kerusuhan justru akan memunculkan korban-korban baru.
Still cut dari film Athena. Foto: Twitter/@NetflixFR
Film Athena mampu membuka diskusi yang filosofis soal bagaimana cara menghapus rasisme dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Duduk bersama sambil minum teh atau adu tembak? Film ini tidak memutuskan mana yang lebih baik di antara dua jalan itu, tetapi memberikan kesempatan bagi penonton untuk menyimpulkan sendiri. Ya, film ini memang akan tampak sangat pesimistis. Hal tersebut juga diakui oleh Romain Gavras dalam wawancaranya bersama The Guardian.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, film ini ditulis dengan sangat baik oleh Romain Gavras, Elias Belkeddar, dan Ladj Ly (Les Misérables). Komposisi antara elemen drama dan aksi dalam naskahnya seimbang. Selain itu, naskah film ini juga sangat padat, sehingga tidak sulit bagi Gavras untuk menciptakan intensitas yang tinggi. Sebetulnya, Gavras memang tidak pernah membuat film berdurasi lebih dari 97 menit. Dia selalu mampu menyederhanakan narasi kompleks dan membungkusnya kemasan yang efisien.
Secara teknis, film Athena sangat matang. Mudah bagi saya untuk mengatakan bahwa film ini adalah salah satu yang terbaik tahun ini, terutama untuk film aksi seru. Film ini nyaris sempurna dalam laju cerita, musik, hingga sinematografi.
Film berdurasi 97 menit ini memiliki laju cerita yang cepat sehingga tidak menyia-nyiakan ruang bertutur. Selain itu, eskalasi ketegangan terus naik seiring berjalannya film. Hal ini juga didukung oleh musik gubahan Marco Casanova dan Arnaud Lavalex yang memacu jantung. Tidak kalah keren, departemen sinematografi yang dipimpin Matias Boucard juga berkontribusi banyak dalam mentransfer ketegangan kepada penonton. Pengambilan gambar di film ini juga cukup "mentah", misalnya saat kamera mengikuti karakter tertentu dari belakang dalam waktu yang cukup panjang. Pengambilan gambar ini membuat penonton merasa ikut berlari di tengah kerusuhan. Dengan pencapaian sinematik seperti itu, film ini memang lebih cocok tayang di bioskop.
Karim (Sami Slimane) sedang memimpin gerakan perlawanan terhadap polisi. Foto: Twitter/@NetflixFR
Sebuah film tidak akan memiliki rasa tanpa adanya kerja keras para aktor. Penampilan brilian dari Sami Slimane dan Dali Benssalah menjadi salah satu faktor kesuksesan film Athena. Kedua aktor ini sangat luwes dalam menyampaikan emosi subtil, bahkan lewat gerak jari dan bibir. Setidaknya, salah satu dari mereka harus mendapatkan penghargaan aktor terbaik di festival film internasional.
ADVERTISEMENT
Film Athena tampil gagah sebagai film aksi seru yang solid dan mampu memberi pengalaman sinematik luar biasa, sebuah perjalanan menegangkan yang layak dicoba. Seandainya film ini ditayangkan, saya pastikan akan memesan tiket di hari pertama penayangan semahal apapun harganya.