Siapkah Sepak Bola Indonesia untuk Naik Kelas?

Rizaldy Rivai
Seorang penggila sepakbola yang kebetulan juga memegang lisensi kepelatihan D PSSI. Pernah juga bermain di liga Hoofdklasse Belanda. #GKUnion
Konten dari Pengguna
25 September 2018 10:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizaldy Rivai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Football is a gentleman’s game played by ruffians, and rugby is a ruffian’s game played by gentlemen.”
Pepatah di atas apabila diterjemahkan kira-kira berarti, “sepak bola adalah permainan para pria priyayi yang dimainkan oleh para preman, dan rugby adalah permainan para preman yang dimainkan oleh para pria sopan.” Tidak diketahui siapa persisnya yang mengucapkan ungkapan tersebut, namun banyak yang meyakini bahwa pepatah tersebut diucapkan oleh Oscar Wilde, pujangga dan penulis sandiwara asal Irlandia.
Pepatah tersebut berasal dari abad ke-19. Meskipun konteksnya tidak seratus persen tepat, karena ada studi yang menyebutkan bahwa di abad ke-19 sepak bola juga dimainkan oleh para bangsawan dan orang-orang terhormat, pada dasarnya sepak bola dimulai sebagai permainan kaum pekerja.
ADVERTISEMENT
Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Dari sisi image.
Sepak bola sejatinya adalah permainan yang elegan. Manusia tidak diciptakan untuk bermain dengan sebuah bola menggunakan kaki, tidak alami. Namun bila mengingat kembali ke beberapa edisi kompetisi sepak bola dunia, akan selalu teringat beberapa aksi indah yang terjadi di lapangan sepak bola. Misalnya gol solo Maradona ke gawang Inggris pada Piala Dunia Meksiko 1986, atau gol bicycle kick Widodo Cahyono Putro ke gawang Kuwait di Piala Asia UEA 1996.
Masih banyak lagi gol, umpan, maupun penyelamatan luar biasa para pemain sepak bola di lapangan hijau yang saya yakin akan sulit dilupakan para pembaca semua.
Maradona pada laga Piala UEFA 1988. (Foto: AFP)
Namun untuk setiap satu keajaiban yang terjadi di dalam dunia sepak bola, akan ada satu tragedi yang juga terjadi, seperti tewasnya Haringga Sirla, seorang suporter Persija Jakarta yang tewas dihabisi beberapa pendukung Persib Bandung beberapa saat sebelum pertandingan resmi berlangsung. Tentu ini bukan sebuah hal positif yang dicari oleh Indonesia, negara yang sepak bolanya tengah berbenah diri setelah mengalami berbagai macam sanksi dari FIFA.
ADVERTISEMENT
Kekerasan kerap terjadi dalam dunia sepak bola Indonesia, baik dalam sepak bola profesional maupun amatir, baik di dalam maupun di luar lapangan. Kasus-kasus kekerasan tersebutlah yang menyeret reputasi sepak bola menjadi buruk di Indonesia.
Saya masih ingat ketika saya pernah menyampaikan keinginan kepada orang tua untuk menjadi pemain sepak bola. Keberatan mereka termanifestasi dalam berbagai macam alasan, dari mulai “mau makan apa kamu nanti?” sampai “sepak bola itu tidak prestisius, tawuran saja isinya.” Sentimen-sentimen tersebut yang saya yakin tidak hanya saya yang mengalami.
Sejumlah pendukung klub sepak bola Persija melakukan ziarah ke makam Haringga Sirla di Indramayu, Jawa Barat, Senin (24/9). (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
Ada dua kasus kekerasan yang cukup serius yang terjadi di sepak bola indonesia baru-baru ini. Selain kasus tewasnya Haringga Sirla tersebut, masih ada satu lagi tidak terlalu disorot media, yaitu kasus seorang wasit yang dikeroyok pemain Persiwa Wamena saat laga tandang Liga 2 Wilayah Timur kontra Persegres Gresik United. Wasit Abdul Razak dikejar, dipukul, dan ditendang sejumlah pemain Persiwa akibat memberikan hadiah penalti yang dianggap Persiwa tidak adil.
ADVERTISEMENT
Pertandingan sempat dihentikan selama sepuluh menit, lalu wasit memberikan dua kartu merah dan satu kartu kuning kepada Persiwa, dan PSSI pun memberikan hukuman larangan menjalani kegiatan di lingkungan PSSI selama seumur hidup untuk kapten Persiwa, dan 12 bulan untuk 4 pemain lainnya, serta denda Rp 50 juta untuk klub Persiwa itu sendiri.
Wasit Nasional, Amir. (Foto: Twitter @MafiaWasit)
Lalu bagaimana dengan Eropa, sebagai satu tolok ukur sepak bola Indonesia dalam berbenah diri? Tidak bersih juga kok. Banyak kekerasan terjadi juga di sepak bola Eropa, yang mana beberapa kasus juga berupa bentrokan antarpendukung.
Seperti halnya di Indonesia, bentrokan terjadi saat pertandingan derby berlangsung. Beberapa derby yang cenderung bertemperatur tinggi adalah The Intercontinental Derby antara Galatasaray dan Fenerbahce di Turki, The Old Firm Derby antara Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers di Skotlandia, dan De Klassieker antara Feyenoord Rotterdam dan Ajax Amsterdam di Belanda.
ADVERTISEMENT
Dari tiga contoh di atas, Turki-lah yang paling mentereng catatan kekerasannya, dengan kasus terakhir terjadi cukup baru-baru ini. Laga semi final Piala Turki antara Besiktas dan Fenerbahce, dua klub besar asal Istanbul, harus disudahi pada menit ke-56 saat pelatih Besiktas, Senol Gunes, terkena lemparan sebuah benda di kepalanya yang dilempar oleh salah satu pendukung Fenerbahce. 30 orang ditahan kepolisian Turki, dan federasi sepak bola Turki akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pertandingan pada tanggal 3 Mei tanpa adanya penonton.
Namun sebagai negara yang sepak bolanya sedang berbenah diri, alangkah baiknya kita mengambil contoh dari dua liga teratas Eropa, yakni Premier League di Inggris dan Bundesliga di Jerman. Kembali saya harus tekankan bahwa kedua liga sepak bola tersebut tidaklah 100 persen bersih dari tindak kekerasan, namun bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di Liga Indonesia, seperti bumi dan langit rasanya.
ADVERTISEMENT
Tindak kekerasan terakhir di Premier League terjadi pada tanggal 10 Maret 2018 saat laga kandang melawan Burnley. Pada babak kedua, West Ham tertinggal 3-0 dan para pendukung tim tuan rumah yang tak puas dengan performa timnya mulai merusuh dan masuk ke lapangan permainan. Co-owner West Ham, David Sullivan, pun terkena lemparan koin dari para pendukung, yang akhirnya berhasil ditangkap pihak kepolisian tanpa terjadi korban jiwa.
Salah satu suporter West Ham ke tengah lapangan. (Foto: REUTERS/David Klein )
Sementara kerusuhan di Bundesliga juga terjadi musim lalu di laga Hamburg SV melawan Borussia Monchengladbach yang berakhir 2-1. Kerusuhan terjadi karena Hamburg dipastikan terdegradasi ke level 2 Bundesliga setelah 55 tahun berada di liga teratas Jerman, setelah di pertandingan lain Wolfsburg berhasil memenangkan laga penentu mereka 4-1 melawan FC Koln.
ADVERTISEMENT
Para pendukung Hamburg yang tak puas mulai melempar cerawat dan kembang api ke lapangan, namun berkat perlindungan ratusan petugas yang membawa perisai pelindung dan tongkat, tidak ada korban jiwa di laga itu.
Rivalitas bukannya tidak ada di kedua liga top Eropa itu, tetapi tidak sampai melupakan unsur kemanusiaan para pendukungnya. Apa dasarnya? Rasa saling menghormati dan pengertian bahwa sepak bola adalah sebatas sebuah permainan olahraga dan hiburan, bukan urusan hidup dan mati.
Ambil contoh kota London. Di musim 2018/2019 Premier League, ada enam klub yang berbasis di London. Sebuah keluarga kecil beranggotakan empat orang di London bisa memiliki loyalitas ke empat klub yang berbeda.
Lalu apa yang terjadi kalau berseberangan? Kan tak mungkin kita akan berkelahi dengan ayah yang mendukung Tottenham Hotspur di saat kita cinta mati dengan Arsenal?
ADVERTISEMENT
Rasa saling menghormati inilah juga yang dibutuhkan sepak bola di Indonesia. Para wasit harus tetap diingat sebagai manusia yang tidaklah sempurna, yang bisa saja tidak melihat sebuah pelanggaran yang terjadi. Para pemain bisa suatu ketika bermain untuk Manchester United, namun sekarang membela Manchester City, dan tindakan kasar dari para fans hanyalah sebatas makian dan hinaan, sesuatu yang sangat kontras bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, sampai-sampai untuk keluar dari stadion pun butuh kendaraan berlapis baja.
Bila dilihat saksama, iklim sepak bola Inggris dan Jerman seakan jauh sekali dari apa yang terjadi di Indonesia, dan sangat pantas menjadi cita-cita untuk negara ini.
ADVERTISEMENT
Merasa terlalu jauh berpatokan dengan Eropa? Kalau begitu bagaimana dengan J.League atau K-League. Tentu kita semua familiar dengan Jepang dan budayanya yang begitu sopan, bahkan mungkin bisa dibilang steril dari tindak kekerasan. Begitupun Korea Selatan, dengan pendukung yang memliliki passion yang sangat tinggi untuk sepak bolanya tapi seakan bersih dari catatan kekerasan. Kedua negara ini juga begitu berprestasi di kancah dunia. Jepang bahkan belajar dari Indonesia saat akan membentuk kompetisi J.League.
Juara J-League 2017, Kawasaki Frontale. (Foto: AFP via Jiji Press)
Dari segi sepak bola, kita semua tahu bahwa kualitas sepak bola Indonesia sebenarnya bersaing dengan negara-negara tetangga. Ini terbukti dari beberapa kali kemenangan tim nasional junior maupun senior Indonesia saat melawan tim dari negara-negara yang dianggap lebih superior sepak bolanya. Secara kompetisi, Liga 1 juga memiliki persona dan kepribadiannya sendiri, dan cukup atraktif sebagai hiburan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ini bisa dilihat dari presentasi siaran pertandingan di televisi, maupun penonton yang sudah mulai bervariasi. Yang dulunya hanya pria yang datang ke stadion, kini ibu-ibu dan anak-anak pun mulai menonton. Apalagi di stadion I Wayan Dipta, kandang Bali United, yang paling jelas terlihat banyak penonton non-Indonesia menikmati pertandingan.
Beberapa tokoh sepak bola nasional sudah mulai berargumentasi bahwa ketimbang terus memakan korban jiwa, alangkah lebih baiknya bila sekalian saja sepak bola itu ditiadakan di Indonesia. Sebagai salah satu penggila sepak bola yang juga saat ini membantu anak-anak negeri meraih mimpinya sebagai pemain sepak bola, jujur saya merasa sedih bila olah raga ini ditiadakan.
Skuat Timnas Indonesia U-16 merayakan kemenangan atas Iran U-16 di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (21/9). (Foto: Dok. AFC)
Perlu diingat bahwa kita semua bermimpi menjadi tuan rumah Piala Dunia suatu saat nanti, dan banyak darah-darah muda yang sedang berjuang mewujudkan mimpi itu. Seiring membaiknya image sepak bola di Indonesia, otomatis akan semakin naik kualitas sepak bola di negeri ini, dan naik pula reputasi bangsa.
ADVERTISEMENT
Sepak bola adalah permainan yang sangat mendunia karena satu alasan: saat kita semua ada di lapangan, kita semua sama, dan semua pertandingan dimulai dari 0-0. Rasa hormat dibutuhkan oleh semua pihak dalam sepak bola, baik itu pemain, ofisial, wasit, maupun suporter.
Prestasi sangat diinginkan oleh kita semua, dan sepak bola adalah salah satu cara mengharumkan nama bangsa, tetapi bagaimana bisa kita naik kelas ke dunia internasional, kalau kita sendiri masih berkelakuan seperti preman?
Semoga sepak bola menyatukan dan menguatkan kita semua sebagai bangsa yang bermartabat.
ADVERTISEMENT
Salam damai olahraga untuk semua.