Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kejahatan Kerah Putih & Potensi Intimidasi Hakim
28 Agustus 2024 6:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari RIZKA ANANDA PUTRI - tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 kian menjadi sorotan publik. Nilai kerugian negara karena kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ditaksir mencapai Rp 271T. Kasus ini membuka tabir kompleksitas dan modus dugaan pencucian uang dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Melihat para aktor yang terlibat merupakan “orang dan perusahaan besar”, bahkan begitu peliknya kasus ini maka patutlah disebut kasus ini merupakan kejahatan kerah putih atau white collar crime.
ADVERTISEMENT
Kejahatan kerah putih?
White collar crime atau kejahatan kerah putih pertama kali diperkenalkan kepada umum oleh seorang kriminolog yaitu Edwin H. Sutherland pada tahun 1939 (Artidjo Alkostar, 1994). Sutherland merumuskannya sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (Rusli Muhammad, 1994). Umumnya kejahatan kerah putih dikenal sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki kecerdasan dan status sosial ekonomi kelas atas.
Kasus dugaan korupsi timah dengan kerugian Rp 271T sangat menyita perhatian masyarakat. Bagaimana tidak? Pada awal kemunculan kasus tersebut, masyarakat sangat dihebohkan dengan angka kerugian korupsi yang mencapai angka fantastis yaitu Rp 271T. Di saat banyak masyarakat menghadapi kelesuan ekonomi hingga sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi ternyata kondisi ini berbanding terbalik dengan para tikus berkerah putih yang ternyata selama ini menikmati tumpukan uang hasil perbuatan korupsi.
ADVERTISEMENT
Nama “Harvey Mouis”, seorang pengusaha yang dikenal masyarakat sebagai suami dari artis “Sandra Dewi” juga tak kalah luput dari sorotan media setelah ikut ditetapkan sebagai tersangka. Dari hasil proses penyidikan dan persidangan, artis ternama Sandra Dewi pun disebut ikut kecipratan aliran “uang panas” kasus ini sejumlah Rp 3,1M. Selain Harvey Mouis terdapat lebih dari 20 tersangka yang terdiri dari aktor-aktor yang memiliki status politik dan sosial yang tinggi telah ikut ditetapkan menjadi tersangka.
Selain korupsi, dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan dalam kasus inipun juga menarik perhatian masyarakat karena dinilai sangat “pelik” dengan dalih CSR. Setiap langkah dalam proses pencucian uang kasus ini tampaknya telah dipikirkan dengan matang oleh mereka yang berkerah putih untuk memastikan bahwa jejak keuangan yang ditinggalkan begitu samar dan sulit dilacak.
ADVERTISEMENT
Potensi Intimidasi Hakim
Dibalik polemik kasus ini, terdapat tantangan yang berkisar pada potensi intimidasi terhadap hakim yang menangani perkara tersebut. Dalam proses penyidikan dan persidangan yang sedang berlangsung terlihat beratnya tekanan yang dihadapi oleh sistem peradilan dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pihak-pihak dengan kekuatan ekonomi dan politik yang besar.
Mengingat bobot kasus yang melibatkan kepentingan besar, pelaku kejahatan sering kali memiliki sumber daya untuk menekan dan mempengaruhi proses hukum. Intimidasi ini bisa berupa ancaman langsung terhadap hakim, tekanan dari pihak-pihak politik, atau upaya untuk merusak reputasi hakim melalui media massa. Penggunaan media massa untuk mempengaruhi opini publik juga berpotensi menambah tekanan terhadap putusan hukum yang ada di tangan hakim, sehingga dapat berdampak putusan yang tidak objektif atau bahkan penundaan dalam proses peradilan.
ADVERTISEMENT
Tingkat intimidasi yang tinggi dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan memperburuk citra institusi peradilan. Agar sistem hukum dapat berfungsi dengan efektif dan adil, penting untuk menerapkan langkah-langkah perlindungan bagi hakim. Ini termasuk memastikan keamanan fisik mereka, memberikan dukungan psikologis, dan memperkuat mekanisme pengawasan untuk mencegah intervensi luar yang dapat mengganggu independensi hakim dan peradilan. Transparansi dalam proses hukum dan reformasi regulasi juga diperlukan untuk menutup celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan kerah putih.
Rekomendasi
Kasus korupsi timah Rp 271T memberikan gambaran jelas mengenai tantangan besar yang dihadapi oleh hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan di tengah ancaman intimidasi. Untuk mengatasi masalah ini, kolaborasi antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penegakan hukum yang independen dan efektif. Hanya dengan langkah-langkah perbaikan yang tepat, integritas sistem peradilan dapat dipertahankan dan keadilan benar-benar ditegakkan. Upaya perbaikan dapat dilakukan melalui penguatan perlindungan terhadap keamanan Hakim, peningkatan transparansi proses hukum, edukasi, dan pemantauan proses peradilan oleh segenap pihak.
ADVERTISEMENT
Kejahatan kerah putih yang melibatkan pejabat tinggi dan tokoh publik dalam kasus korupsi timah Rp 271T memiliki kompleksitas dan potensi intimidasi yang mengancam hakim dan sistem peradilan. Tak hanya kasus tersebut, potensi intimidasi terhadap Hakim terus menjadi bayang-bayang terhadap Hakim dalam setiap proses pelaksanaan kewajibannya. Dengan adanya potensi ancaman terhadap Hakim, penting untuk menerapkan langkah-langkah perbaikan yang mencakup perlindungan, transparansi, reformasi hukum, pelatihan, dan kolaborasi antar lembaga. Dengan cara ini, diharapkan keadilan dapat ditegakkan dengan lebih efektif dan martabat hakim dapat terjaga.