Konten dari Pengguna

Hubungan Toxic antara AI dan Kecerdasan Manusia: Menghambat Kewalian

Rizka Azkia
Peminat Ilmu Al-Quran dan Tafsir - UIN Sunan Ampel Surabaya
21 Januari 2025 15:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizka Azkia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi muslim memanfaatkan teknologi. Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi muslim memanfaatkan teknologi. Sumber: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi dan kreativitas manusia telah membawa era yang penuh keajaiban, di mana batasan-batasan yang sebelumnya dianggap tidak mungkin kini berhasil ditembus. Dari penemuan listrik hingga kemajuan pesat dalam bidang kecerdasan buatan (AI) dan robotika, inovasi-inovasi ini mencerminkan kemampuan luar biasa akal manusia dalam memahami dan mengolah dunia di sekitarnya. Namun, meskipun teknologi terus berkembang, pertanyaan mendasar mengenai kemanusiaan dan spiritualitas tetap ada: Apakah teknologi, terutama kecerdasan buatan, dapat memahami atau bahkan menggantikan aspek spiritualitas dan moralitas yang membentuk manusia?
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi batasan-batasan teknologi, terutama dalam kaitannya dengan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ) dan emotional quotient (EQ), yang oleh banyak ahli dianggap sebagai dimensi yang tidak dapat dijangkau oleh algoritma buatan manusia. Lalu seperti apakah pengaruh teknologi terhadap manusia? terutama dalam hal kecerdasan dan spiritualitas, serta mengapa AI, meskipun memiliki kecerdasan yang luar biasa hampir sepenuhnya tepat, tidak dapat menggantikan peran spiritualitas dalam kehidupan manusia?

Teknologi Merambat ke Kehidupan Manusia

Pada abad ke-21, teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari ponsel yang semula sederhana hingga kian canggih yang memungkinkan kita berkomunikasi dengan siapa saja di seluruh dunia, hingga algoritma yang dapat memprediksi perilaku manusia berdasarkan data besar (big data), teknologi telah membawa perubahan mendasar dalam cara kita berinteraksi, belajar, dan bekerja.
ADVERTISEMENT
Namun, hubungan ini tidak sepenuhnya satu arah. Manusia juga memegang kendali atas teknologi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh berbagai penelitian, teknologi tidak hanya menjadi alat yang kita gunakan, tetapi juga mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Salah satu klaim yang sering disampaikan adalah bahwa teknologi memiliki kemampuan untuk membentuk karakter manusia. Misalnya, perkembangan media sosial dan algoritma yang mengatur apa yang kita lihat di layar dapat mempengaruhi persepsi kita tentang diri kita sendiri, orang lain, dunia, bahkan ras tertentu. Dalam konteks ini, teknologi memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk realitas maupun kesadaran yang kita hadapi.
Akan tetapi, meskipun teknologi dapat memengaruhi cara kita berpikir dan berperilaku, ia tidak dapat sepenuhnya menggantikan aspek-aspek fundamental kemanusiaan kita, terutama yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence adalah salah satu pencapaian terbesar manusia dalam beberapa dekade terakhir. Dari algoritma pemrosesan bahasa alami yang memungkinkan mesin memahami dan merespon teks manusia, hingga robot yang dapat berinteraksi dengan manusia secara fisik, AI telah membuka pintu baru bagi berbagai aplikasi dan inovasi di berbagai sektor.
Namun, meskipun AI mampu meniru beberapa aspek kecerdasan manusia, seperti kemampuan analitis dan logis (IQ), ada batasan yang tidak dapat dijangkau oleh AI. Salah satunya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Menurut Daniel Goleman, yang mempopulerkan konsep EQ, kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Sementara itu, SQ adalah kecerdasan yang berkaitan dengan makna hidup, nilai-nilai, dan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
ADVERTISEMENT

Boundaries antara AI dan Kecerdasan Manusia

AI, dengan semua kecerdasannya, tidak memiliki emosi, keyakinan, atau nilai. Meskipun dapat diprogram untuk meniru emosi manusia dalam bentuk interaksi yang tampak empatik, AI tidak memiliki pengalaman internal yang mendasari emosi tersebut. Ini menjadi salah satu alasan mengapa, meskipun AI dapat menggantikan atau melengkapi beberapa fungsi manusia, ia tidak dapat menggantikan peran spiritualitas dalam kehidupan manusia.
Algoritma, dalam pengertian umum, adalah serangkaian instruksi atau prosedur yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam dunia pemrograman, algoritma digunakan untuk menyelesaikan masalah, mulai dari perhitungan sederhana hingga analisis data yang kompleks. Namun, ketika berbicara tentang aspek spiritualitas, algoritma memiliki keterbatasan yang jelas.

Perangkat Instan yang Menghambat Kewalian

Dalam keyakinan Islam, konsep kewalian atau kashaf mengacu pada tingkat spiritualitas yang tinggi, di mana seseorang memiliki hubungan yang mendalam dengan Tuhan dan mendapatkan pengetahuan atau pandangan yang melampaui akal manusia biasa. Kewalian ini adalah hasil dari perjalanan spiritual yang panjang dan penuh kesungguhan, yang melibatkan latihan-latihan spiritual, pengendalian diri, dan penyerahan total kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Mencapai tingkat kewalian ini membutuhkan sesuatu yang tidak dapat diukur atau diotomatisasi oleh algoritma dan teknologi. AI, meskipun mampu menganalisis data dan membuat prediksi yang luar biasa, tidak memiliki kapasitas untuk mengalami hubungan spiritual dengan Tuhan atau menjalani perjalanan spiritual seperti manusia yang mana sudah disebutkan sebelumnya, AI tidak memiliki keyakinan. Dengan kata lain, ada dimensi eksistensial yang tidak dapat disentuh oleh teknologi.
Beberapa klaim selaras dengan apa yang diuraikan pada konteks ini. Salah satunya adalah bahwa teknologi dapat mempengaruhi kecerdasan manusia, terutama dalam hal IQ. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stanford University, penggunaan teknologi seperti mesin pencari dan AI dapat meningkatkan kemampuan analitis dan logis seseorang, karena mereka memiliki akses yang lebih cepat dan mudah terhadap informasi. Namun, dalam hal EQ dan SQ, penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak bergantung pada teknologi dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk membangun hubungan emosional dan spiritual yang dalam.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, studi yang diterbitkan oleh Harvard University pada tahun 2020 menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu sering menggunakan media sosial cenderung mengalami kesulitan dalam mengenali dan mengelola emosi mereka, yang pada akhirnya berdampak negatif pada hubungan interpersonal mereka. Selain itu, penelitian dari University of California pada tahun 2019 juga menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan terlalu banyak waktu dengan teknologi cenderung merasa lebih terisolasi secara spiritual.
Teknologi, termasuk AI, adalah alat yang diciptakan oleh manusia untuk memudahkan kehidupan dan mencapai tujuan tertentu dengan lebih cepat dan efisien. Namun, meskipun teknologi telah membawa banyak manfaat, ia tidak dapat menggantikan dimensi-dimensi fundamental dari kemanusiaan, seperti kemampuan untuk merasa dan meyakini. Dalam konteks spiritualitas, perjalanan menuju kewalian atau kashaf adalah sesuatu yang tidak dapat diolah oleh algoritma, karena ia melibatkan dimensi yang jauh lebih dalam daripada sekadar prosedur logis.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, teknologi harus dilihat sebagai alat yang melengkapi, bukan menggantikan aspek-aspek penting dari kehidupan manusia. Meskipun AI dan teknologi lain dapat membantu kita memahami dan menyelesaikan banyak masalah, ada batasan-batasan yang tidak dapat mereka capai. Salah satu batasan tersebut adalah spiritualitas, yang merupakan salah satu inti dari kemanusiaan kita.
Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh teknologi, penting untuk selalu mengingat bahwa manusia adalah lebih dari sekadar kumpulan data dan algoritma. Kita adalah makhluk yang memiliki emosi, keyakinan, dan hubungan spiritual yang mendalam, yang tidak dapat direplikasi atau digantikan oleh mesin. Teknologi dapat membantu kita dalam banyak hal, tetapi ketika datang ke hal-hal yang paling penting dalam hidup, seperti hubungan kita dengan Tuhan dan sesama manusia, peran teknologi tetap terbatas.
ADVERTISEMENT