Konten dari Pengguna

Donasi Bukan Drama: Etika di Balik Kamera

RIZKA NANA PUTRI
MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PAMULANG
23 April 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari RIZKA NANA PUTRI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Artificial Intelligence
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Artificial Intelligence
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, publik Indonesia semakin akrab dengan tayangan penggalangan donasi di layar kaca dan media sosial. Dari bencana alam hingga aksi kemanusiaan, semua disiarkan secara langsung, ditambah visual dramatis dan musik menyentuh. Tapi di balik nuansa haru dan slogan empati, ada satu pertanyaan penting yang kerap terlewat: apakah semuanya dilakukan secara etis? Media, baik konvensional maupun digital, memang memiliki kekuatan untuk menggerakkan solidaritas. Tidak ada yang menyangkal, ribuan orang tersentuh dan berdonasi berkat liputan yang menggugah. Namun, ketika kamera mulai menyorot terlalu dalam ke wajah-wajah korban, saat penderitaan manusia dijadikan sajian visual berkala, dan ketika narasi kesedihan dipoles demi rating—saat itulah etika diuji. Kita perlu jujur, sebagian besar praktik filantropi yang difasilitasi media belum seluruhnya tunduk pada prinsip-prinsip etik yang seharusnya mendasari kegiatan sosial. Sebagaimana diatur dalam Kode Etik Filantropi Mediamassa yang disusun oleh Dewan Pers, ada standar moral yang harus dijunjung tinggi: kesukarelaan, independensi, profesionalisme, nondiskriminasi, serta transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dalam realitasnya, kode etik ini kerap dipinggirkan demi "konten menarik". Beberapa tayangan masih menunjukkan anak-anak menangis tanpa sensor, lansia yang sakit diangkat dari tempat tidur hanya untuk kebutuhan footage, atau keluarga korban diwawancara di tengah duka mendalam. Bahkan tak jarang, tayangan itu diputar berulang kali, menimbulkan kesan eksploitasi alih-alih empati. Apakah penderitaan manusia kini hanya menjadi bahan bakar narasi? Apakah setiap donasi harus dibayar dengan air mata yang direkam kamera? Yang lebih mencemaskan, beberapa media mengaburkan batas antara aksi sosial dan promosi diri. Bantuan yang berasal dari pemirsa kadang disampaikan seolah-olah datang dari perusahaan media itu sendiri. Padahal, etika menuntut adanya penegasan: sumbangan ini dari masyarakat, bukan dari kami. Klarifikasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap para penyumbang dan integritas pengelolaan dana publik. Kita sedang hidup di era viralitas. Segala sesuatu bisa diangkat, disebar, dan menjadi konsumsi publik dalam hitungan detik. Di tengah budaya serba cepat ini, media memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menjadi penengah antara niat ba
ADVERTISEMENT
ik dan praktik yang berpotensi melukai. Kepedulian tidak boleh berubah menjadi tontonan. Donasi bukan drama. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian media untuk menegakkan batas. Untuk mengatakan “tidak” pada eksploitasi, “ya” pada edukasi. Untuk menjadikan Kode Etik Filantropi bukan sekadar dokumen, tapi nafas dalam setiap langkah. Karena pada akhirnya, nilai sejati dari filantropi bukan diukur dari jumlah dana yang terkumpul, tapi dari sejauh mana kita menjaga martabat manusia dalam prosesnya.