Konten dari Pengguna

Cerita Lintas Budaya: Eksplorasi Mendalam Budaya Tiongkok

Rizki Alif Al-Hikam
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
5 Juli 2024 19:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Alif Al-Hikam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat adat ambil bagian dalam upacara pembukaan Festival Perikanan Musim Dingin Danau Chagan tahunan di Songyuan, di provinsi Jilin, Tiongkok timur laut pada Rabu (28/12/2022). Foto: Giok Gao/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat adat ambil bagian dalam upacara pembukaan Festival Perikanan Musim Dingin Danau Chagan tahunan di Songyuan, di provinsi Jilin, Tiongkok timur laut pada Rabu (28/12/2022). Foto: Giok Gao/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komunikasi Lintas Budaya kaitannya erat dengan berbagai kebudayaan yang ada di seluruh penjuru dunia. Terdapat banyak perbedaan yang ditemukan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan tersebut dapat kita temukan dan lihat dari berbagai aspek, seperti bahasa, makanan, kebiasaan, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami perbedaan kebudayaan yang ada, kita harus memiliki pemahaman terkait budaya tersebut dan kita juga harus mengetahui cara untuk berkomunikasi dengan tepat. Maka dari itu, salah satu cara untuk mengenal perbedaan yang ada adalah dengan cara melakukan wawancara dengan Warga Negara Asing (WNA) yang beda kebudayaannya dengan kita.
Namanya 牛勇 (dibaca: Niú yöng). Niú yöng lahir pada 28 Oktober 2002. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh Niú yöng adalah Bahasa Mandarin atau Bahasa Tiongkok. Niú yöng tidak bekerja, tetapi ia berkuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Sebelum kuliah di Unpad, Niú yöng sempat berkuliah di Xiangsihu Lake College, Guangxi University for Nationalities, jurusan Ekonomi dan Perdagangan Internasional.
Persepsi - Konflik
ADVERTISEMENT
Sebelum datang ke Indonesia, Niú yöng menilai Indonesia sebagai negara yang banyak kepulauan, banyak destinasi wisata dan budaya yang banyak. Selain itu, Niú yöng juga menilai orang Indonesia sebagai orang yang baik dan ramah. Hal tersebut mengacu pada persepsi yang dimiliki Niú yöng kepada Indonesia.
Persepsi orang Tiongkok terhadap orang Indonesia dapat bervariasi bergantung pada individu dan pengalaman pribadi mereka. Persepsi dapat berbeda antara individu dengan individu lain dan tidak dapat digeneralisasi secara menyeluruh. Persepsi Niú yöng tentang orang-orang Indonesia mengacu pada hal-hal yang baik. Selama Niú yöng berada di Indonesia, tidak ada konflik yang terjadi padanya.

Culture Shock – Intercultural Adjustment

Saat Niú yöng datang ke Indonesia, tentunya ia mengalami culture shock. Kondisi di mana seseorang mendapatkan realitias berbeda dengan kebudayaan asalnya. Culture shock yang dialaminya adalah orang-orang Indonesia sering mengomentari orang-orang yang berbeda dengannya.
ADVERTISEMENT
Dapat diambil contoh ketika Niú yöng pertama kali berada di Unpad, banyak mata yang tertuju padanya. Niú yöng merasa tidak nyaman, ia merasa dirinya sedang diperbincangkan dengan orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut karena memang latar orang Indonesia dan orang Tiongkok yang berbeda.
Pasalnya, orang Tiongkok cenderung tidak mempedulikan penampilan orang lain. Niú yöng memiliki kulit yang putih seperti orang Tiongkok pada umumnya sehingga ia menjadi pusat perhatian pada saat itu.
Selain itu, culture shock yang dialaminya adalah mengenai makanan. Indonesia memiliki cita rasa makanan yang banyak dan jenis makanan yang banyak pula. Namun, makanan Indonesia didominasi oleh makanan pedas. Sedangkan Niú yöng tidak terlalu suka makanan pedas.
Di Tiongkok, lebih banyak yang menjual junk food. Niú yöng menilai setelah ia mencicipi makanan yang ada di Indonesia, ia merasakan rasa-rasa baru yang ia temukan. Di Indonesia, makan sambil mengobrol atau berbicara dengan teman sudah menjadi hal yang biasa. Niú yöng merasa tidak nyaman jika sedang makan kemudian diajak mengobrol karena di Tiongkok tidak seperti itu. Di Tiongkok, saat waktu makan, mereka hanya fokus kepada makanan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia mencoba untuk bisa menyesuaikan dengan kebudayaan Indonesia yang mana nantinya hal itu akan dekat dengan dirinya. Ia mulai bisa beradaptasi dengan teman-teman kampusnya, seperti makan di kantin, naik odong sampai gerlam, dan bermain setelah selesai kelas bersama dengan teman-temannya.

Dimensi Budaya

Dimensi-dimensi budaya ini mengacu pada aspek-aspek yang membedakan satu budaya dari budaya lainnya. Budaya Power Distance yang ada pada Tiongkok termasuk tinggi. Hal tersebut karena masyarakat yang ada di Tiongkok cenderung menerima dan menghormati perbedaan status dan kekuasaan. Masyarakat Tiongkok patut dengan peraturan yang diberikan oleh pemerintah. Seperti contoh yang diberikan oleh Niú yöng adalah pejabat, bos, atasan sangat dihormati dan dianggap memiliki kekuasaan.
Berbeda dengan budaya power distance di Indonesia, masyarakat Indonesia lebih sering mengkritik pemerintah ketika kebijakannya tidak masuk akal. Hal tersebut sesuai dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Berbagai kritik disampaikan oleh masyarakat Indonesia melalui media massa, demo, aksi, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Budaya Tiongkok memiliki tingkat Uncertainty Avoidance yang tergolong tinggi. Hal tersebut dipaparkan oleh Niú yöng. Masyarakat Tiongkok tidak suka dengan ketidakpastian. Perubahan-perubahan yang ada merupakan salah satu faktor yang mengganggu dan dapat menimbulkan kecemasan.
Masyarakat Tiongkok cenderung melakukan perencanaan yang matang untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan. Niú yöng memberi contoh, masyarakat Tiongkok lebih suka bekerja menggunakan kereta daripada angkutan umum lainnya. Hal ini sama dengan Indonesia, masyarakatnya lebih suka bekerja menggunakan transportasi kereta karena selain tepat waktu, harganya juga terbilang murah.
Masyarakat Tiongkok cenderung memiliki kolektivisme yang tinggi dibanding dengan individualisme. Hal ini sama dengan Indonesia. Solidaritas sosial sangat dijunjung tinggi di sana. Masyarakat Tiongkok suka dengan kerjasama, persatuan, dan kecenderungan untuk berkelompok. Niú yöng sedikit membandingkan kehidupan pertemanannya di Tiongkok dan di Indonesia. Tidak ada perbedaan yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Niú yöng memberi contoh, ketika di Tiongkok, setelah selesai kelas, ia dan teman-temannya makan bersama di kantin. Hal itu sama terjadi saat ia berada di Indonesia. Beberapa dari masyarakat Tiongkok dan Indonesia mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok. Namun, dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Tiongkok dan Indonesia cenderung menyukai perkumpulan dan guyub.
Masyarakat Tiongkok memiliki kecenderungan yang tergolong tinggi dalam dimensi masculinity dibanding femininity. Niú yöng memberi contoh, masyarakat Tiongkok hidup dengan kedisiplinan yang tinggi. Hal ini agar masyarakat Tiongkok mampu bersaing dengan negara-negara maju. Dimensi masculinity yang diterapkan oleh masyarakat Tiongkok mengacu pada kehidupan yang lebih tersktruktur kedepannya.
Kedisiplinan yang dimiliki oleh masyarakat Tiongkok cukup berbanding terbalik dengan Indonesia. Niú yöng memberi contoh, saat ia kuliah di Tiongkok tidak ditemukan teman-teman yang terlambat saat masuk kelas dan ketika ada yang telat, tidak ada toleransi yang diberikan. Pasalnya, budaya Tiongkok sangat mengedepankan masculinity. Tidak adanya toleransi agar masyarakat Tiongkok memiliki komitmen dan tidak membiasakan hal tersebut terjadi.
ADVERTISEMENT
Saat masyarakat Tiongkok mengerjakan sesuatu, mereka cenderung untuk memiliki orientasi jangka panjang dalam pemikiran dan perilaku. Masyarakat Tiongkok memikirkan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Seperti halnya apakah yang mereka lakukan sekarang akan berdampak ke depannya atau tidak. Long term orientation yang terbilang tinggi.
Berbeda dengan Indonesia, Indonesia memiliki kecenderungan Short Orientation yang lebih tinggi. Kehidupan masyarakat Indonesia berdasarkan keadaannya saat ini. Tidak terlalu memikirkan keputusan atau tindakan dalam jangka panjang.
Selain itu, masyarakat Indonesia lebih fleksibel dalam segala hal. Masyarakat Indonesia mudah beradaptasi dengan perubahan atau situasi yang tidak terduga. Lebih tepatnya, masyarakat Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Setiap budaya memiliki keunikan dan ciri khasnya masing-masing. Tidak ada budaya yang paling baik dan paling buruk. Setiap budaya mengajarkan hal-hal yang baik. Terdapat perbedaan antara budaya Tiongkok dengan budaya Indonesia. Namun, perbedaan tersebut bukanlah suatu masalah.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai budaya pada Tiongkok dan Indonesia bervariasi bergantung pada faktor-faktor seperti adat, suku, agama, dan masih banyak lagi. Hal tersebut yang mengacu pada kekhasan yang dapat ditunjukkan oleh masing-masing budayanya. Meskipun kedua negara ini berada di Asia, budaya-budaya tersebut memiliki keragaman yang berbeda dan mereka menjunjung tinggi nilai budayanya masing-masing.