Menilik Bagaimana Pemerintah Mengatasi Pandemi dengan Egois

Rizki Ardandhitya Dwi Krisnanda
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta yang Hobi Mengemudi
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 13:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Ardandhitya Dwi Krisnanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Unsplash/Azkha Fahila
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unsplash/Azkha Fahila
ADVERTISEMENT
Pernah mendengar kalimat Alangkah Lucunya Negeri Ini? Film maupun kalimat tersebut mungkin sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana negara berkembang ini membawa sebuah roda kepemerintahan berjalan. Bagaimana tidak? Penanganan pandemi seharusnya secara tegas, jelas, terstruktur malah terkesan amburadul, tidak lupa juga dengan keegoisan para pemerintah di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Hasrat ingin membahasnya pun sampai bingung karena saking banyaknya tingkah laku para pejabat ini. Sebaiknya dimulai dari wakil rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Belum lama ini salah satu anggota Komisi IX DPR yang juga menjadi Ketua Fraksi PAN, dan juga Wakil Sekjen PAN mengeluarkan statement dengan tinggi hati dan tanpa toleransi bahwa meminta fasilitas kesehatan berupa rumah sakit khusus pejabat.
Ia meminta tersebut dengan berdalih salah satu anggota fraksinya kurang mendapatkan pertolongan yang maksimal dan dengan alat kesehatan juga yang kurang memadai hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Wahai anggota dewan yang terhormat, saya juga memahami anda geram atas kondisi yang menimpa. Tapi, memaksakan untuk mengadakan rumah sakit khusus pejabat rasa-rasanya anda egois sekali.
ADVERTISEMENT
Banyak dari warga masyarakat yang juga merasakan hal yang sama, harus mengantre untuk mendapatkan ruangan IGD, UGD maupun tempat isolasi yang memadai. Menahan diri agar tetap bisa bertahan dari saturasi oksigen yang rendah. Di samping itu, sanak saudara yang lain mencari pertolongan dengan menelpon ketersediaan ruangan di rumah sakit lain, mencari tempat tabung oksigen masih tersedia, hal itu dilakukan agar salah satu keluarga mereka juga selamat. Mereka juga berjuang.
Lalu, dengan mudahnya para wakil rakyat meminta privilege dengan rumah sakit khusus pejabat? Sungguh ironi. Lebih baik kalian sulap halaman atau gedung DPR tempat kalian bekerja menjadi rumah sakit dadakan, dan tenaga kesehatan juga dari para anggota DPR. Sehingga kalian walaupun sakit tetap bisa work from office (WFO).
ADVERTISEMENT
Fakta lain yaitu belakangan ini seperti yang kita tahu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Koordinator PPKM Darurat Se-Jawa Bali mengatakan bahwa situasi COVID-19 terkendali, jika ada yang menganggap tidak terkendali suruh datang bertemu dengannya.
Hingga kini, saya masih menerka-nerka dari mana situasi pandemi gelombang kedua tersebut masih terkendali. Hampir 55 ribu kasus baru pada 14 juli 2021, dengan hampir 1.000 orang meninggal. Apakah data tersebut menjadi tolak ukur situasi terkendali? Sepertinya kok tidak, dan bahkan kasus baru terus melonjak.
Selain itu, jika melihat fakta di lapangan bahwa terjadi minim ketersediaan ruangan pada rumah sakit, kelangkaan oksigen maupun fasilitas kesehatan lainnya sepertinya masih jauh dari kata terkendali.
Muncul juga perdebatan bahwa PPKM akan diperpanjang selama 6 minggu. Apakah dengan memperpanjang jangka pembatasan akan menyebabkan kurva melandai? Mungkin saja hal itu bisa terjadi jika, penanganan lebih serius, lebih tegas dan tidak semrawut. Juga dengan mempertimbangkan kondisi rakyat yang kini juga mengalami kolaps dari segi ekonomi, terlebih bagi mereka yang terkendala PHK dari perusahaan.
ADVERTISEMENT
Di sektor lapangan-pun menuai kontra beberapa waktu akibat ulah petugas yang menertibkan. Di Gowa seorang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan pemukulan terhadap sepasang suami istri pemilik warung kopi yang saat itu sedang ada penertiban PPKM. Hal tersebut tidaklah dibenarkan. Segala bentuk penertiban bisa dilakukan dan dibicarakan dengan baik-baik tidak perlu menggunakan unsur kekerasan di dalamnya.
Masih banyak keegoisan dari tingkah laku pemerintah terkait pengendalian pandemi ini yang mengakibatkan kegeraman, seperti anak dari Menteri Ekonomi yang bertolak ke Jepang untuk bulan madu, sedangkan bapaknya ke Singapura. Mensos yang melontarkan kata diskriminatif kepada wilayah Papua, dan banyak lagi.
Entah sampai kapan hal ini akan berlanjut, dan ketidaktegasan para pemerintah dalam menekan kurva laju kasus baru. Semoga pemegang kendali penanganan pandemi ini lebih tersadarkan mana fokus utama yang perlu dilakukan agar keadaan semakin lebih membaik.
ADVERTISEMENT