Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Demi Menjadi Jurnalis, Begini Sepenggal Cerita dari Kantor Lama
18 November 2017 15:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalau bukan bodoh, pasti saya sudah sinting. Menolak dibayar nyaris dua digit per bulan. Meninggalkan seluruh zona nyaman yang telah saya dapatkan, meletakan dengan hormat jabatan yang telah dibangun, setidaknya dalam dua tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, saya masih tak percaya melakukannya. Ditawari nominal yang fantastis, saya justru mengakhirinya. Mengambil risiko untuk menjadi seorang jurnalis. Sebuah pilihan yang tidak saja melelahkan, tetapi jelas jauh dari kata kemapanan.
"Qun, kamu yakin mau jadi jurnalis? Jam kerjanya ga tentu, bisa pulang malam terus. Lebih baik kamu di sini saja, gajimu saya naikan" Pinta CEO
Dengan sopan, saya meyakinkannya kalau keputusan ini sudah final. Ada banyak hal di luar sana yang ingin saya lakukan. Terutama menulis dan bertemu dengan banyak orang. Sesuatu yang belum bisa saya temukan di sini.
***
Di perjalanan pulang, dengan mengendarai sepeda motor, pikiran menerawang ke masa lalu. Mencoba mengolah kepingan kenangan yang telah saya lalui di kantor ini. Ada rasa manis, haru dan getir ketika mengingatnya.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat betul, kala itu, tepat 12 Agusutus 2015, saya resmi diterima di Mainspring Technology. Sebuah startup yang berupaya menciptakan pengalaman baru dalam membaca berita. Produknya adalah BaBe (Baca Berita Indonesia). Tak terdengar asing, bukan?
Terletak di Gandaria 8 Office Tower, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, saya didaulat sebagai seorang karyawan swasta. Memiliki kontrak kerja, rekening BCA, hingga kartu NPWP. Jelas lepas dari status mahasiswa.Â
Mas Bisma adalah orang pertama yang saya temui di sana. Ia merupakan Manager HRD yang meloloskan saya di tahap pertama, Curiculum Vita. Ia juga mengurus segala tetek bengek admistratif karyawan baru.
Entah kenapa ia meloloskan saya, tetapi, belakangan saya menduga bila ia memiliki ketertarikan pada filsafat. Pasalnya, beberapa bulan setelahnya, ia kerap mendikusikan perkara filsafat ilmu dengan saya, untuk program doktoralnya.
ADVERTISEMENT
Lewat Mas Bisma, saya diperkenalkan oleh duo Manager Produk, yaitu Mas Adi dan Mas Tama, serta Manager Konten Mbak Hesti. Mereka yang mewawancari saya pada soal-soal teknis. Yang jelas, mereka sedang mengukur kema(mp)uan saya.
Hingga tiba pada satu waktu ketika ponsel saya berdering. Dari Mas Bisma. Ia meminta saya datang lagi ke kantornya. Dari ujung telepon, Ia menyampaikan bahwa saya diterima dan hanya tinggal menanda tangani kontrak. Esoknya saya tiba, menemuinya, membaca segala sesuatunya dengan seksama.
"Baiquni, ini kontrak kerja kamu ya. Ini gaji kamu, ini uang makan dan transportasi kamu. Masa probation kamu 3 bulan. Jangan sampai sakit ya." Ujar Mas Bisma menerangkan.
ADVERTISEMENT
Hari-hari setelahnya saya lalui dengan naik Commuter Line. Berdesakan dengan ribuan manusia setiap harinya. Dua kali sehari, pulang dan pergi. Dari Stasiun Depok Baru, transit di Tanah Abang, kemudian turun di Kebayoran Lama. Menghabiskan 15 menit berjalan kaki sambil bermandikan air keringat. Sungguh menyenangkan.
Ada banyak hal baru yang saya dapatkan di sana. Terlebih, sebagai sebuah startup, segala sesuatunya masih tampak buram. Tak ada satu guideline yang kaku. Selalu ada penyesuaian di setiap harinya. Penuh dinamika.Â
"Perusahan kita ini bukan perusahaan birokrasi" Ujar Mas Adi singkat
Dari sana, yang saya tahu adalah ini soal inovasi dan kreativitas. Kerjaan selalu ada bagi orang yang berinisiatif mencarinya. Kepekaan membaca situasi, saya kira, adalah sesuatu yang sangat dihargai di perusahaan ini.Â
ADVERTISEMENT
***
Selain Mas Adi, Mas Tama, Juga Mbak Hesti. Ada beberapa sosok yang saya temui. Beberapa di antaranya adalah Mbak Allima dan Mbak Shelly. Orang-orang itu yang kerap bersentuhan dengan saya. Masing-masingnya unik, tentu dengan karakteristik dan kemampuan yang berbeda.
Saya perlu mendefinisikannya.
Mas Adi, menurut saya, merupakan orang yang memiliki bakat kepemimpinan sejak lahir. Bicaranya sangat tenang dan persuasif. Tutur katanya begitu terorganisir. Ia tak pernah memerintah, tetapi selalu mendiskusikannya dengan baik. Ia juga tak pernah marah dalam arti yang umum, kemarahannya kerap disalurkan melalui ujaran sindiran. Dari sana saya tahu bahwa ia memang orang yang cerdas.
Sementara itu, Mas Tama, adalah sosok ilmuwan sesungguhnya. Seorang saintis data. Bidang yang ia kuasai adalah artificial intelligence, sebuah bidang studi yang masih langka di negeri ini. Berada di dekatnya mengingatkan saya akan mimpi untuk studi di benua orang. Suatu kebanggan tersendiri bisa mengenalnya.
ADVERTISEMENT
Selama berkerja, Mbak Hesti adalah orang yang bersentuhan langsung dengan saya. Ia yang mengajarkan saya menggunakan Dashboard Kamar BaBe. Ia juga memperkenalkan saya pada dunia google drive, spreadseheet, hingga trello. Ia adalah orang yang berpikiran bebas. Unik, juga jauh dari kata normalitas orang kebanyakan.
Saya masih bisa mengingat dengan jelas, ketika itu ia membawa setumpuk kartu tarot. Beberapa kali meramal nasibnya sendiri. Rumusan masalah dari ramalannya hanya satu: Berapa lama lagi kerja di kantor ini? Di situ, saya yang baru beberapa bulan bekerja, diramalkan olehnya bahwa karier saya akan bagus, masih cukup panjang di kantor ini
Berbicara data, Mbak Allima jagonya. Saya memberi julukan kepadanya sebagai sarjana excel. Tanyakan padanya apapun soal excel, ia mampu memecahkannya. Ia pernah becerita kalau ia tak lagi mampu membaca sastra, tak kuat membaca teks yang panjang., lebih suka membaca angka. Buat saya, orang yang tak suka sastra itu jelas menyedihkan, tapi Allima nyatanya bisa bahagia dengan pilihannya.
ADVERTISEMENT
Berpakaian paling rapih, layaknya the real orang kantoran, sekiranya adalah impresi pertama saya ketika berjumpa dengan Mbak Shelly. Karakteristiknya yang periang, begitu cocok pada pekerjannya di bidang business development. Ia bertanggung jawab soal partnership, tentang bagaimana memanjakan klien. Di beberapa kesempatan, saya diajak olehnya ketemu beragam media, dan saya tahu, selain ia jago story telling, ia orang yang heboh dan menyenangkan.
Selang beberapa bulan berlalu. Kantor kami kedatangan dua orang baru. Meski tidak berbarengan, keduanya boleh dibilang masuk dalam periode yang sama. Satu orang laki-laki yang memiliki banyak pengalaman di e-commerce, serta satu orang perempuan yang masih fresh from the oven, minim pengalaman, sebelumnya hanya sekadar magang, katanya.
ADVERTISEMENT
Namanya Ilham. Sebuah nama yang begitu melimpah di bumi Indonesia. Pekerjannya di kantor ini adalah mengendalikan media sosial, meski dalam perjalanannya sempat tuker guling posisi. Keahliannya di media sosial itu, menurutnya, ia dapatkan secara otodidak ketika masih berada di kantor lama, ketika ia bekerja pada sebuah startup yang menjual jebakan tikus.
Dari segi fisik, Ilham memiliki wajah yang tak pernah serius, tampak konyol dan lawakannya begitu receh. Beberapa kali saya berpikir kalau ia pantas ikut audisi Stand Up Comedy. Sampai detik ini, ia memang tak pernah ikut acara semacam itu. Jabatannya yang justru terus meningkat di kantor ini, sekarang ia menjabat sebagai product manager. Dari sekadar admin jebakan tikus, bisa jadi product manager. Saya bangga bisa mengenalnya.Â
ADVERTISEMENT
Anisa. Sama seperti Ilham, namanya juga kian melimpah di setiap sudut bumi Indonesia. Ia adalah lulusan Universitas Indonesia, angkatan 2011, satu kampus dan seangkatan dengan saya. Ia merupakan karyawan yang begitu optimis. Raut wajahnya selalu bersemangat. Dari sorot matanya, saya tahu kalau ia akan menjadi orang besar.
Anisa selalu bercerita kalau ia sebetulnya ingin bekerja pada bidang Corporate Social Responsibility (CSR). Namun nyatanya, nasib baik belum bersepakat dengannya. Jadilah ia sekantor dengan saya, tugasnya adalah membalas e-mail dan memastikan keluhan pelanggan BaBe di playstore, dapat dibalas dengan jawaban terbaik.Â
Kegigihannya dalam bekerja, dibayar oleh Tuhan dengan cara yang baik, ia didaulat menjadi team leader bagi para koordinator kontributor. Ceritanya jelas panjang, tapi yang pasti, jabatan yang ia duduki sekarang sangat strategis. Ia sangat mampu mengubah peta persepsi masyarakat Indonesia melalui media. Terus terang, saya sangat respek terhadapnya.
ADVERTISEMENT
***
Yang patah tumbuh dan hilang berganti. Tak pernah ada keabadian di dunia ini. Tak pernah ada struktur yang tetap. Selalu berubah. Itu yang saya alami dalam kurun waktu satu tahun ke belakang.
Di tahun pertama, ada banyak orang yang mengundurkan diri. Mencoba mencari peruntungan dan kesempatan yang lebih baik di tempat lain. Saya menjadi saksi bagaimana Mbak Hesti mengundurkan diri. Ia menitipkan sebuah buku berjudul 'Media dan Kekuasaan' karya Ishadi SK.
Selang itu, Mas Bisma juga mengundurkan diri. Gelar Doktor bidang Manajemen yang ia dapatkan membuatnya resah, ia nyatanya ingin berkontribusi lebih jauh di dunia pendidikan. Menjadi seorang dosen adalah pilihan yang tepat baginya. Ia bercerita bahwa ada kenikmatan tersendiri ketika mengajar.
ADVERTISEMENT
Toh perusahanaan semakin besar. Semakin banyak orang yang datang. Di titik itu saya berkenalan dua orang baru lagi. Mas Afwan dan Mbak Indira. Dua orang dari jurusan jurnalistik, beda latar belakang, beda suku, beda paradigma.
Membicarakan Mas Afwan, sama saja bercerita mengenai jurnalisme. Paling tidak, ia memiliki banyak cerita dan pengalaman untuk dibagikan ke tim, termasuk kepada saya. Kehadiran Mas Afwan memberikan denyut nadi baru bagi perusahaan. Ia menggantikan peran Mbak Hesti. Kemampuannya memprediksi isu, serta memetakan media menjadi catatan yang sempurna. Saya banyak belajar darinya.
Dalam suatu kesempatan, ia kerap mengingatkan bahwa kita tidak harus mencintai perusahaan, mencintai profesi jauh lebih utama. Ia yang secara tak langsung merangsang saya untuk jadi jurnalis. Terkadang ia memang tampak keras kepala, tetapi sebetulnya, kekeraskepalannya itu begitu berguna. Sayangnya, ia memutuskan untuk tidak bertahan lama, hanya satu tahun. Percayalah, kantor lebih hidup ketika ada kehadirannya.
ADVERTISEMENT
Mbak Indira adalah lulusan universitas ternama di Beijing, Tiongkok. Bisa berbahasa mandarin. Awalnya ia diplotkan untuk menjadi junior product manager. Mengurus segala kebutuhan teknis operasional. Menjembatani apa yang diperlukan oleh tim konten kepada pihak developer. Meski akhirnya ia yang kemudian didaulat jadi Head of Content. Sampai detik ini.
Sebagai seorang kawan, juga teman secara profesional, Mbak Indira yang terakhir memberikan review kepada saya. Hampir tidak ada kritik pada review tersebut, kecuali satu hal, bahwa menurutnya, seorang Baiquni harus memiliki pengalaman baru agar tidak bosan. Saya menduga, itu adalah kode bahwa dirinya mengizinkan saya terbang di tempat lain.
Jika boleh jujur, saya telah beberapa kali membuatnya repot di kala pagi buta. Di saat ia masih terlelap tidur dan terjaga dengan otak yang setengah sadar. Sisi baiknya, ia bukanlah tipe yang mudah marah. Lebih memilih untuk selalu tersenyum dan tertawa, sesulit apapun situasinya. Terima kasih ya mbak.
ADVERTISEMENT
***
Upaya bongkar pasang personil kerap terjadi. Saya memiliki teman yang sebetulnya tidak benar-bena baru, rekondisi mungkin kata yang tepat untuk melukiskannya. Sebut saja ada Amri, Rebecca dan Dini.
Amri adalah anak lulusan sejarah. Idealnya, semua anak sejarah pasti menulis yang lampau. Tetapi tidak bagi Amri, ia justru menulis masa depan. Memulai karier sebagai seorang writer teknologi, ia banyak bebicara tentang sisi-sisi uniknya.
Nasib kemudian membawahnya bertemu saya. Tak lagi menulis, lebih banyak melakukan kurasi. Amri adalah orang yang jujur,konsisten, juga tahan banting. Sebagai informasi, orang seperti Amri lah yang selalu mengingatkan saya untuk pulang tepat waktu. Saya bersyukur untuk itu.
Kemudian, Napitupulu adalah marganya. Kita dapat menebak bila ia memang merupakan orang batak. Saya mengenalnya sebagai Rebecca. Rebecca ini yang juga merupakan orang yang selalu mengingatkan saya untuk pulang tepat waktu. Dari situ saya tahu, ia bersekongkol dengan Amri.
ADVERTISEMENT
Buat saya, bila diibaratkan dengan ponsel pintar, Rebecca pastinya memiliki prosesor dan ram yang mumpuni. Paralingualnya enak, ia mampu bercerita secara sistematis dan terstrutur, tanpa ada lag sedikit pun. Kemampuan berbahasa inggrisnya tak perlu dipertanyakan. Bahasa mandarin pun ia kuasasi. Sangat pantas untuk jadi News Anchor di televisi.Â
Tidak hanya itu, Rebecca adalah orang yang paling jujur terhadap suara hatinya. Jujur pula terhadap orang lain atas apa yang ada di pikirannya. Saya masih ingat, dia pernah mengatakan kalau saya memiliki kemampuan yang sebetulnya bisa diaplikasikan secara maksimal di tempat lain. Dia pula yang selalu bertanya ke saya, soal apakah sudah dapat tempat kerja baru atau belum.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Dini namanya. Nama semi lengkapnya Renadini. Ia adalah lulusan Sastra Indonesia. Beberapa kali saya mendiskusikan aspek-aspek kebahasaan kepadanya. Soal konsistensi penerapan bebahasa di Indonesia, tentu saja. Dini adalah orang yang cerdas dalam hal ini.
Sialnya, Dini adalah orang yang kerap menjadi objek candaan teman-temannya. Tidak ada yang tahu persis bagaimana hal itu bermula. Yang jelas, sebagian berpendapat bila Dini memang menyukai perlakuan tesebut. Sebagian lainnya menganalogikan bahwa bila Dini tidak masuk kantor, maka rasanya seperti ada yang kurang. Sementara bila Dini masuk, rasanya seperti ada yang berlebih. Sebuah candaan terhadapnya merupakan bukti bahwa ia memilki kelebihan. Selalu dirindukan teman-temannya.
Terakhir kali, ia bercerita kalau ia mengharapkan kekasih hati. Sesuatu yang ia dambakan sejak lama. Kriterianya sederhana; islam, taat beragama dan mampu membimbingnya. Saya selalu mendoakannya, tentu agar ia mendapatkan yang terbaik. Semoga selalu semangat.
ADVERTISEMENT
***
Perjalanan terus berlanjut. Saya tak lagi naik KRL, pasalnya sudah memiliki sepeda motor sendiri. Hasil dari jerih payah bekerja. Ada banyak hal enak yang saya dapatkan di sini. Terutama traktiran makan di beberapa restoran milik para borjuasi di Mall Gandaria City. Sesuatu yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya.
Bersama kantor ini pula, saya merasakan untuk pertama kalinya naik pesawat terbang. Kala itu liburan selama beberapa hari di Belitong. Tanah laskar pelangi. Sebuah tempat yang sebelumnya hanya saya tahu dari novel-novel karya Andrea Hirata. Tempat dan situasi yang begitu indah untuk diabadikan di dalam foto.
***
Waktu pada akhirnya berbicara tentang masa depan. Cukup banyak teman yang mengundurkan diri. Banyak juga yang datang. Beberapa di antara yang pergi adalah Mas Tama dan Mas Adi. Dua orang cerdas, yang telah bersedia menerima kehadiran saya.
ADVERTISEMENT
Mas Tama pergi lebih dahulu, mencari peruntungan di tempat lain. Selang beberapa bulan berganti, Mas Adi mengabarkan bila ia juga harus pergi. Mengembara ke tempat lain, menghebatkan diri. Meninggalkan banyak kenangan yang tidak akan bisa saya lupakan.
Sebelum dan sekaligus bersaman dengan itu, saya memiliki bayak teman yang benar-benar baru. Manajemen dan teknologi yang berubah menghasilkan kebutuhan karyawan yang lebih banyak.
Ada banyak impresi dari mereka yang tak akan bisa saya lupakan.
Pinta yang mampu membaca situasi dan berjualan risol mayo di kantor. Sifa yang bercita-cita jadi jurnalis dan galau karena belum dapat pacar. Mutiara si anak kriminologi yang doyan makan nasi padang. Bayu yang terampil mengakses website-website dewasa. Diana yang suka musik klasik, pun sudah resign duluan. Devi yang seringkali membantu saya mengangkat galon di hari sabtu dan minggu. Kiki yang merindukan jodoh orang bule. Rio yang katanya sudah melupakan 'Tuhan'.Â
ADVERTISEMENT
Lalu ada Ulul yang doyan makan dan kerap dikerjai oleh teman-temannya. Azhar yang berminat pada keheningan. Mike yang suka gosip dan selalu menghitung hari di kantor ini. Pristi yang masih belum berpikir untuk punya pacar. Alif yang kabarnya sedang menyusun rencana untuk PDKT dengan Sifa. Mas Githo yang selalu bercerita tentang keluarga dan nilai kehidupan. Hingga Mas Tino yang memiliki banyak kartu kredit di dompetnya.
Â
***
Semua yang bermula harus tetap berakhir. Manusia adalah mereka yang mampu mengambil keputusan-keputusan. Dan saya telah melakukannya.Â
Terima kasih untuk segala sesuatunya. Ada banyak nama yang tidak mampu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Tetapi, percayalah, bahwa segala ekspresi, wajah dan nama selalu akan dikenang. Menjadi satu spektrum ingatan yang sesekali bisa dihadirkan kembali sebagai sebuah nostalgi.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, terima kasih dan terima kasih. Semoga kita semua mampu menjadi orang-orang hebat kedepannya.