Konten dari Pengguna

Bagong dan Barak Militer

Rizki Baiquni Pratama
Alumnnus filsafat Universitas Indonesia. Bergabung dengan kumparan sejak 2017 dan kini menjadi redaktur content intelligence. Penerima beasiswa liputan Data Journalism Hackathon IDJN 2021.
4 Mei 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi barak militer pakww/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi barak militer pakww/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dulu, waktu SMP, saya punya teman bernama Bagong. Kulitnya gelap, tubuhnya jangkung, dan suaranya berat seperti orang dewasa. Dia tukang palak dan sulit diatur. Guru-guru frustasi, wali kelas pun angkat tangan. Setiap kali datang ke sekolah, seragamnya selalu tampak kusut. Warnanya menguning, dan kami semua menduga seragam itu nyaris tak pernah dicuci.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Bagong menghampiri saya dan bertanya soal matematika. Bukannya langsung memberinya jawaban, saya mengajaknya melihat pola dan memahami cara berpikir logis. Bagong berusaha mengikuti, mendengarkan dengan serius. Sampai akhirnya dia tertawa dan berkata, “Otak gue enggak nyampe, Pe.”
"Pe" adalah panggilan semua orang untuk saya kala itu. Asalnya dari inisial BP (BePe) alias Baiquni Pratama.
Dalam sejumlah kesempatan, Bagong selalu bercerita tentang dua hal yang selalu dia banggakan. Pertama, motornya—motor cross tua yang dirawat penuh kasih layaknya seekor kuda. Kalau bel pulang sekolah berbunyi, motor itu dia geber-geber di depan gerbang. Suara knalpotnya memekakkan telinga, dan asapnya mengepul-ngepul.
Kedua, Bagong bangga betul menceritakan aksi tawuran. “Tempur”—begitu dia menyebutnya. Dia bisa bercerita panjang lebar soal bagaimana mengatur siasat dan menyerbu siswa dari sekolah lain. Matanya berbinar-binar saat bercerita. Dia bilang tempur itu seru, bagus untuk adrenalin.
ADVERTISEMENT
Lalu hari-hari lalu lewat begitu saja—sampai Bagong tiba-tiba menghilang dari sekolah. Kata guru dan teman-teman yang lain, dia putus di tengah jalan, entah apa alasannya. Ada desas-desus yang bilang Bagong jadi tukang pukul. Kemudian ada yang bilang Bagong sempat jadi satpam. Terbaru, saya dapat kabar bahwa Bagong sudah jadi PNS. Katanya, dia sudah banyak berubah.
Kisah Bagong lalu menghantui pikiran saya ketika mendengar gagasan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tentang memasukkan anak-anak "nakal" ke barak militer. Jika program itu hadir di masa SMP kami, nama Bagong barangkali masuk ke dalam daftar paling atas. Dan mungkin, kami semua akan merasakan sedikit kelegaan.
Namun, di balik kelegaan itu, muncul pertanyaan yang jauh lebih penting. Yakni, apakah kenakalan remaja bisa diselesaikan hanya dengan disiplin ala barak? Jawabannya tentu tak sesederhana itu. Diperlukan kajian serius untuk memahami apakah pendekatan semacam ini mampu menyentuh akar masalah, atau justru malah menimbulkan masalah baru di masa depan.
ADVERTISEMENT
Pengalaman di Amerika Serikat barangkali bisa jadi pelajaran. Sejak akhir 1980-an, sejumlah negara bagian di AS menerapkan program juvenile boot camp. Program ini menawarkan pendekatan disiplin ala militer untuk mengatasi kenakalan remaja. Sebagian besar peserta memang berhasil menyelesaikan masa pelatihan, tetapi gagal dalam fase aftercare atau saat kembali ke masyarakat.
Berdasarkan catatan dari Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP), sebuah lembaga di bawah U.S. Department of Justice, tingkat residivisme peserta juvenile boot camps tidak lebih rendah dibandingkan remaja yang menjalani hukuman konvensional. Selain itu, pengawasan yang sangat ketat di masa aftercare justru memperbesar kemungkinan mereka kembali tertangkap, bukan karena mereka lebih nakal, tetapi karena intensitas pengawasan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Maka, kalau mau lebih fair, Bagong sebenarnya adalah representasi buram dari sistem sosial dan pendidikan kita yang rapuh. Di balik keonarannya, di balik motornya yang berisik dan asapnya yang mengepul, ada anak yang sebenarnya masih ingin memahami. Masih mau mendengar. Tapi tidak tahu bagaimana caranya bertahan dalam sistem yang tak pernah dibuat untuknya.
Aristoteles menyebut eudaimonia—kebahagiaan atau hidup baik—sebagai tujuan pendidikan. Pendidikan sejati bukan menundukkan, tapi membimbing manusia agar bisa memilih yang baik secara sadar. Barak, dengan semua struktur militernya, cenderung menciptakan kepatuhan, bukan kesadaran.
Tentu, bukan berarti disiplin tak penting. Tapi disiplin yang lahir dari ketakutan berbeda dengan disiplin yang tumbuh dari pengertian. Yang pertama memaksa, yang kedua membimbing. Dalam dunia yang sangat ideal, orang tua, guru, dan masyarakat bisa menjadi tempat anak-anak merasa aman. Pertanyaannya: bisakah kita menciptakan dunia yang ideal itu?
ADVERTISEMENT
Bagong pernah berkata otaknya tak sampai. Tapi mungkin yang lebih jujur: kita semua pun otaknya tak sampai—atau belum sampai—memahami dunia Bagong dan anak-anak lain yang serupa dengannya.