Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bung Tomo dan Mitos: Membaca Sejarah yang Serba Mungkin
10 November 2018 18:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jurnalis sekaligus sejarawan Australia, Frank Palmos, menyebut pose heroik Bung Tomo yang biasa dielu-elukan setiap 10 November adalah mitos. Dengan kata lain, ia ingin menegaskan bahwa sangkaan kita selama ini tentang Bung Tomo adalah keliru.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya Surabaya 1945: Sakral Tanahku, Palmos mempertangungjawabkan klaimnya itu ke dalam uraian tiga halaman. Dalam uraian itu pula, Palmos melihat kepahlawanan Bung Tomo sebagai ‘kecelakaan sejarah’.
“Penggambaran (Bung Tomo yang tengah bertempur) ini palsu. Menurut rekan juangnya Suhario, yang ada (justru) di saat seorang fotografer Jakarta meminta Bung Tomo untuk berpose di dekat anak tangga sebuah hotel wisata di Malang tahun 1947,” tulis Palmos dalam buku yang diterbitkan pada Agustus 2016.
Tuduhan Palmos ini lantas membuat siapa pun yang mengagumi Bung Tomo kaget tak percaya. Selama ini, foto yang telah terpatri dalam buku sejarah sekolah itu menggambarkan sosok Bung Tomo sebagai pemimpin militer.
Cerita tentang foto itu datang dari hasil wawancara Palmos dengan Suhario pada 8 Maret 2010. Suhario merupakan sosok yang terlibat dalam pertempuran Surabaya. Ia sekaligus merupakan teman dekat dari Bung Tomo.
ADVERTISEMENT
Menurut keterangan Suhario pula, pose Bung Tomo itu pada mulanya diambil untuk sebuah majalah di Jakarta. Namun entah bagaimana ceritanya, foto itu dilirik berbagai penerbit. Desas-desus pun mengiringi foto itu. Mitos tentang Bung Tomo, kata Palmos, lalu terikat dengan foto tersebut.
“(Padahal) Sutomo tidak pernah bertempur di Jalanan Surabaya sama sekali,” terang Palmos.
Bukan cuma itu, Palmos bahkan dengan gamblang membeberkan sosok Bung Tomo pernah melakukan kesalahan yang fatal. Ia memaparkan kecerobohan siaran radio Bung Tomo yang berakibat hilangnya nyawa Arek Suroboyo.
Bagi siapa pun yang melihat sejarah sebagai kepastian, penelusuran Palmos barangkali penuh penyimpangan. Tanpa basa-basi, Palmos telah menghancurkan, atau paling tidak mengkikis, apa yang heroik dari diri seorang Bung Tomo.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, sejarah tidak dapat dipahami sesederhana itu. Sejarah bukanlah barang jadi yang harus dibaca berulang kali. Sejarah bukan pula kitab suci yang wajib diyakini. Sejarah--sebagai ilmu--justru mesti diverifikasi, bahkan harus memiliki kemungkinan untuk difalsifikasi.
Seorang filsuf Prancis, Jacques Derrida, mengingatkan bahwa membaca sejarah sebagai kanon, narasi besar tentang kepahlawanan amat berbahaya. Untuk itu, ia menawarkan dekonstruksi demi membalikkan bandul sejarah yang ditempatkan secara keliru.
Deridda sekaligus mengajak kita--pembaca sejarah--untuk menolak berkompromi dengan sajian sejarah. Sebaliknya, ia berpandangan bahwa sikap kompromistis harus dilebur ke dalam penghormatan akan perbedaan. Perbedaan terhadap sajian-sajian yang lain.
Melalui Deridda, sejarah sebagai narasi besar diruntuhkan. Satu-satunya yang tersisa adalah kesejarahan (historicity). Dalam kesejarahan itu pula sejarah adalah ia yang berproses, tidak pernah pasti.
ADVERTISEMENT
“Saat konsep kepastian sejarah menemui ajalnya, tepat di situ kesejarahan dimulai,” kata Deridda dalam The Specters of Marx.
Beragamnya pengalaman eksistensial tiap individu, menyebabkan setiap orang memiliki versi sejarahnya masing-masing. Ini menjadi tanda bahwa sejarah selalu menunjukkan dirinya dalam semangat perbedaan.
Bung Tomo, dalam sudut pandang Inggris adalah biang masalah. Dalam benak rakyat Surabaya adalah orator ulung, tetapi di mata Suhario, sosok Bung Tomo adalah penyiar radio yang tak pernah bertempur di medan perang. Belum lagi cerita lain yang teramat banyak, serta tak terhitung jumlahnya.
Sampai di sini, sejarah adalah ketidakpastian. Maka, mengentalkannya menjadi kepastian hanyalah upaya untuk menyatukan sesuatu yang berserak. Sejarah yang seperti itu relevan sejauh dipahami sebagai jejak, bukan kebenaran itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sejarah lalu tak pernah kurang dari lembar setengah terisi. Di titik itulah sejarah selalu berjarak pada kebenaran, sejarah adalah cerita yang tak pernah selesai, serba bisa, serba mungkin.