Konten dari Pengguna

dr Lois, COVID-19, dan Relativisme Kebenaran

Rizki Baiquni Pratama
Data Journalist
18 Juli 2021 11:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dr Louis di Polda Metro Jaya. Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
dr Louis di Polda Metro Jaya. Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Dokter Lois muncul di tengah situasi yang serba tak pasti. Dia hadir di antara masyarakat yang tak sepenuhnya percaya pemerintah. Maka, segala pernyataan dr Lois menjelma sebagai sebuah oase di negeri yang tandus dan lapar.
ADVERTISEMENT
dr Lois bilang, memakai masker saat pandemi tak efektif. Dia bahkan bilang pasien COVID-19 yang meninggal bukan karena virus tersebut, melainkan karena ‘interaksi antarobat’. Sebuah pernyataan yang menarik bukan?

Tentang Persoalan Kebenaran

Kita seringkali membayangkan kebenaran ada di ujung sana. Dia dapat dibayangkan eksis terlepas dari segala upaya merengkuh kebenaran itu sendiri.
Dalam konteks dokter Lois, kita bisa membayangkan bahwa pernyataan dokter tersebut adalah kebenaran di ujung sana yang belum direngkuh oleh dokter atau peneliti-peneliti global.
Dalam terminus filsafat, kebenaran di ujung sana dikenal sebagai representasionalisme. Seolah-olah realitas dan segala isinya ini dapat menampakkan wujud asli yang sebenar-benarnya. Tugas mahaberat inilah yang dibebankan ke ilmu pengetahuan.
Galaksi NGC 5468 yang berhasil ditangkap Teleskop Hubble. ESA/Hubble & NASA
Meski demikian, representasionalisme itu dikritik habis-habisan oleh Richard Rorty. Filsuf AS itu menyebut representasionalisme hanya akan menghasilkan ilusi kepastian tentang jaminan kebenaran atas pikiran kita terhadap dunia. Alih-alih mengejar kepastian, Rorty justru usul agar kita memikirkan pengetahuan sebagai interaksi yang terus menerus antarmanusia dan dunia.
ADVERTISEMENT
Sejarah, misalnya, menunjukkan bahwa pemahaman umat manusia terhadap bumi yang mengelilingi matahari atau sebaliknya berubah dari waktu ke waktu. Pada abad pertengahan, misalnya, sebagian besar masyarakat sepakat bahwa matahari mengelilingi bumi. Sejumlah orang yang berbeda pendapat pun akan disingkirkan.
Kita menyaksikan bagaimana Giordano Bruno dibakar hidup-hidup di depan Gereja St.Bridget pada 17 Februari 1.600. Bruno divonis bersalah lantara menyebut bumi yang mengelilingi matahari.
Pernyataan Bruno dianggap berbahaya lantaran dianggap dapat merusak akidah kristiani. Selain itu, komunitas akademik arus utama pun mengamini bahwa kebenaran di ujung sana adalah matahari yang mengelilingi bumi.
Ilustrasi Abad Pertengahan Wikimedia Commons
Uniknya, situasi masyarakat kita saat ini justru berbeda dengan abad pertengahan. Yang kita percayai saat ini adalah bumi mengelilingi matahari. Keyakinan itu bertumbuh dalam buku-buku ilmu pengetahuan yang diedarkan sejak sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Tetapi, sesungguhnya, kita masih belum tau pasti kebenaran di ujung sana itu. Misal, bagaimana bila pengamatan empiris yang dilakukan peneliti keliru tatkala mengamati objek tersebut?
Oleh sebab itu, meminjam pemikiran Rorty, persoalan pengetahuan, termasuk kebenaran di dalamnya, pada dasarnya merupakan persoalan sosial. Ada keterlibatan bahasa dan komunitas akademik yang terus berkelindan dari waktu ke waktu.
Mengutip disertasi dosen saya, Fristian Hadinata, berjudul ‘Melampaui fondasionalisme dan relativisme teori kebenaran dari perspektif Richard Rorty’ (2015), Rorty mengungkapkannya sebagai berikut:
Hal yang ingin ditekankan Rorty adalah, kebenaran tak lagi bisa dianggap sebagai sesuatu yang pasti dan universal. Alih-alih itu, kebenaran adalah kontingen (sementara) dan bergerak ke arah relativisme lantaran dijaminkan pada konsensus yang terikat pada ruang dan waktu tertentu.
ADVERTISEMENT

Kebenaran dan Pragmatisme

Meski teori kebenaran Rorty tampak hampa di udara, Rorty sesungguhnya telah menyisakan ruang untuk kita memikirkan ulang tentang kenyataan. Termasuk mengajarkan kita agar tak arogan terhadap sesuatu yang kita anggap benar.
Betul realitas ini ada di ujung sana, tetapi kebenaran tidak. Segala atribusi yang melekat pada realitas terikat pada bahasa. Yang dapat dilakukan ilmuwan hanyalah memberikan sejumlah tafsiran terhadap realitas tersebut. Upaya penafsiran itu pun tak berujung. Terus bergerak ke arah kemajuan peradaban manusia yang semakin matang.
Sejauh itu pula, kebenaran yang bisa kita pegang adalah yang disodorkan oleh komunitas akademik. Mereka yang terus menerus melakukan uji atau tafsir terhadap kenyataan itu.
Ilustrasi Masa Depan Dok. PIxabay
Di antara belukarnya tafsiran-tafsiran kebenaran itu, Rorty menyisakan satu kata kunci yaitu pragmatisme. Bahwa apa yang paling benar bukanlah yang primer. Tetapi, seharusnya, mana yang paling memiliki nilai guna untuk kita.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Dokter Lois, misalnya, mana yang paling memiliki nilai guna, menggunakan masker saat pandemi atau tidak?
Apabila virus corona itu memang berbahaya, maka tidak menggunakan masker sama saja bunuh diri. Namun, apabila virus itu tak berbahaya, maka menggunakan masker seharusnya tak menjadi soal.
Rumusan pertanyaan ini mengingatkan kita pada Taruhan Blaise Pascal. Matematikawan abad ke-17 itu mengatakan, apabila kita percaya Tuhan, tetapi saat mati nanti tak bertemu dengannya, ya, tidak akan terjadi apa-apa.
Namun, apabila tidak percaya dengan Tuhan, lalu saat mati nanti Tuhan itu ternyata sungguh ada. Maka, kemalanganlah yang kelak akan diterimanya.