Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kesetaraan di Kampus UNJ dan Bicara Komunitarianisme vs Liberalisme
14 Februari 2020 14:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 24 Maret 1999, NATO menyerbu Yugoslavia. Dari ketinggian 35.000 kaki, NATO membombardir orang-orang Serbia di Kosovo. NATO beralasan, tindakan itu perlu dilakukan untuk menegakan HAM.
ADVERTISEMENT
Kala itu Yugoslavia terdiri dari Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, dan Montenegro. Di saat yang sama, wilayah Kosovo di Serbia mengalami pergolakan politik. Mereka ingin memisahkan diri dari Serbia.
Untuk meredam konflik di Kosovo, tentara Serbia diduga melakukan pembersihan etnis terhadap orang-orang Albania. Di Kosovo, etnis Albania merupakan mayoritas. Mereka adalah pemeluk agama Islam yang bersikeras merdeka melalui Kosovo Liberation Army (KLA).
Bagi NATO, kabar pembersihan etnis Albania yang dilakukan tentara Serbia itu merupakan pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, intervensi kemanusiaan melalui cara militer harus dilakukan.
Meski demikian, keputusan NATO untuk menyerbu Yugoslavia dan Serbia sebetulnya tak pernah direstui Dewan Keamanan PBB. Restu itu tak pernah turun lantaran China dan Rusia menentangnya dengan cara memveto. Alasannya sederhana, NATO dianggap pihak luar yang mencampuri urusan internal Yugoslavia. Penyerbuan itu pun dapat ditafsirkan ilegal.
ADVERTISEMENT
Perdebatan antara Rusia-China dengan NATO, seperti ditunjukan Costas Douzinas, profesor ilmu hukum University of London, dalam esai berjudul ‘Seven Theses on Human Rights: (4) Universalism & Communitarianism are Interdependent’ (2013), adalah perdebatan antara komunitarianisme versus liberalisme. Kedua -isme itu memiliki cara pandang yang berbeda tentang asumsi ontologis manusia.
Komunitarianisme melihat individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari komunitas. Ekspresi politik individu selalu bersifat relatif terhadap komunitas. Kebenaran adalah nilai yang dimiliki oleh otoritas komunitas. Kebenaran merupakan hal yang begitu partikular.
Liberalisme justru sebaliknya. Paham itu percaya bahwa individu adalah postulat bebas. Pengalaman politik selalu bersifat individual. HAM yang dapat diterima seluruh penduduk bumi adalah kebenaran itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pendek kata, yang satu percaya pada unikum identitas budaya. Sementara yang lainnya percaya pada moralitas universal.
Dalam kasus sehari-hari, perdebatan antara komunitarianisme dan liberalisme, misalnya, mengemuka saat orang tua memukul anaknya karena malas belajar.
Bagi komunitarianisme, pemukulan itu dapat dibenarkan sejauh keluarga merupakan komunitas yang punya aturan tersendiri. Sementara liberalisme akan menyebut pemukulan itu sebagai tindakan keliru karena melanggar HAM. Ujungnya adalah intervensi dari mereka yang percaya bahwa HAM itu benar adanya.
Di timur tengah, gagasan tentang HAM yang universal itu pernah mendapat pertentangan. Saat draf Deklarasi Universal HAM (DUHAM) disusun pada 1947, delegasi Arab Saudi mengaku keberatan. Terutama pada perkara pernikahan dan kebebasan beragama yang dinilai tak sejalan dengan Islam. Arab Saudi pun tak sudi meratifikasi deklarasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Maka, dunia Isla bereaksi dengan menyodorkan deklarasi HAM sendiri yang disebut HAM dalam Islam (DUHAMI). Deklarasinya dihelat di Kairo, Mesir, pada tahun 1990. Deklarasi tersebut merumuskan HAM dalam perspektif ajaran Islam.
Pada prinsipnya, dunia Islam menilai HAM barat modern cenderung mendorong sikap individualistik. Sementara HAM Islam berorientasi pada entitas yang lebih besar seperti keluarga maupun suku. Hubungannya bukan antarsesama manusia, melainkan ke Tuhan.
Komunitarianisme memang akan tampak seperti itu. Kebenaran akan selalu berpusat pada satu komunitas tertentu. Saat seluruh anggota komunitas itu setuju bahwa sesuatu itu harusnya begini, bukan begitu, maka hasilnya adalah kebenaran komunitas.
Seabsurd apa pun kebenaran komunitas itu, ia tetaplah dipercaya sebagai kebenaran. Proyek emansipatoris liberal pun tak mempan dengan orang yang terlanjur keras kepala. Mereka meyakini kebenaran di komunitasnya tak lagi bisa diganggu gugat.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, liberalisme pun gagal memahami bagaimana kebudayaan itu bertumbuh. Sulit memahami bahwa kepercayaan terhadap kebenaran yang partikular itu merupakan hal yang sakral.
Intervensi kemanusiaan, sebagai buntut dari liberalisme, pun seringkali menuai ironi. Menurut catatan Human Right Watch, Serbia mesti merasakan pil pahit lantaran sekitar 500 warga sipil tewas dibombardir NATO.
Sejarah lalu mencatat, peristiwa itu sebagai sebuah tragedi. Sebab bagaimana mungkin upaya penegakan HAM justru memporak-porandakan HAM itu sendiri.
Kini, kita menemui sejumlah masalah yang mesti segera diselesaikan. Terbaru, misalnya, seputar bagaimana memposisikan diri melihat fenomena foto pengurus perempuan BEM FT UNJ yang disamarkan.
Dalam foto yang beredar dan viral itu, foto pengurus laki-laki tampak terlihat jelas. Sementara foto perempuan buram, seolah tak ingin diketahui oleh publik. Dan ini kabarnya sudah berurat mengakar dalam tradisi kepengurusan BEM di sana.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif komunitarianisme, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah hal lain. Jika dan hanya jika komunitas itu sepakat bahwa foto yang disamarkan adalah aturan, dan itu telah menjadi budaya di sana, maka itu benar di komunitas tersebut.
Ini persis mengingatkan bagaimana Yugoslavia merasa benar dalam menangani pemberontakan di Kosovo. Mereka marah saat ada pihak lain yang ingin mencampuri urusan dalam negeri mereka. Mereka pun berseloroh lebih tahu apa yang mesti dilakukan ketimbang pihak lain.
Meski demikian, mengklasifikasikan BEM FT UNJ dalam kerangka komunitarianisme juga tampak problematis. Itu karena, UNJ bukanlah satu komunitas yang murni independen. UNJ adalah kampus publik yang anggarannya disubsidi oleh masyarakat.
Secara etis, tak salah jika masyarakat menggugat apa yang terjadi di sana. Terlebih bila gugatan itu dapat dipertengkarkan secara rasional. Entah itu menggunakan acuan universalisme atau pendekatan lainnya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, saya berpijak bahwa universalisme tak sepenuhnya universal. Ia akan selalu terikat pada ruang dan waktu. Di Athena, ribuan tahun silam misalnya, perempuan tak memiliki hak pilih. Sementara kepemilikan budak merupakan hal yang biasa. Kebenaran tentang dua hal tersebut dianggap universal oleh para filsuf Yunani.
Barangkali ada satu pernyataan menarik dari filsuf post-struktural Perancis, Pierre Bourdieu, yang layak dipikirkan ulang. Kira-kira begini, ia bilang:
"Seorang korban seringkali tak menyadari bahwa dirinya adalah korban"
Artinya, saat seseorang mengaku bahwa ia setuju direpresi, sesungguhnya ia hanya tak tahu di ketidaktahuannya.