Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Memutus Rantai Kebencian di Bukit Duri
19 April 2025 12:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di antara papan tulis yang lebih banyak berisi kebencian ketimbang pengetahuan, para siswa SMA Bukit Duri bertumbuh. Di sana, hari-hari berlalu seperti asap rokok di kantin belakang: lambat, kusam, dan penuh gumaman sinis. Para siswa tak tahu bakal menjadi apa di masa depan. Yang mereka tahu cuma memaki orang yang matanya punya sepasang lipatan epikantus—orang-orang keturunan Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Edwin (Morgan Oey) lalu datang ke sekolah itu dengan wajah dan suara yang datar, seperti seseorang yang tak ingin menarik perhatian. Tapi trauma tidak pernah bisa disembunyikan, bahkan dari para siswa yang menatapnya penuh curiga. Guru seni pindahan itu adalah keturunan Tionghoa yang jadi korban kerusuhan pada 2009. Dan, di masa kini, 2027, dia mengajar kesenian untuk para siswa yang bahkan menganggapnya binatang.
Dari sekian banyak siswa di kelas itu, Jefri (Omara Esteghlal) adalah yang paling berandal. Kebenciannya terhadap etnis Tionghoa membuatnya gelap mata hingga mencoba membunuh Edwin. Percobaan pertama gagal, dan Jefri dikeluarkan dari sekolah. Tapi justru di situlah kebenciannya semakin meledak. Bersama tujuh anggota gengnya, ia menyusun siasat baru untuk menghabisi sang guru.
Kesempatan itu datang ketika Edwin bersama guru BK, Diana (Hana Malasan), serta dua muridnya—Kristo (Endy Arfian) dan Fatih (Rangga)—datang ke sekolah pada hari libur. Jefri dan kawan-kawannya yang membawa dendam, katana, linggis, dan kapak, mengepung mereka di gelanggang olahraga. Dalam senyap yang diselingi teriakan, ruangan itu berubah menjadi arena pertempuran batin, sebelum akhirnya menjadi ladang pembantaian.
ADVERTISEMENT
Film Pengepungan di Bukit Duri karya Joko Anwar adalah alegori kelam tentang bagaimana kebencian diwariskan lintas generasi. Kebencian itu tumbuh dari kegagalan sistem sosial-politik, percakapan yang banal, dan dari wacana sehari-hari yang tak pernah mempertanyakan prasangka. Bukit Duri adalah simbol negara yang gagal memutus rantai dendam etnis, dan membiarkan trauma menjelma menjadi kurikulum yang tak tertulis.
Bayang-bayang paling muram dari film ini adalah memori kolektif kita tentang Tragedi 1998—ketika Jakarta dan kota-kota lain dilanda gelombang kekerasan yang menjadikan orang Tionghoa sebagai kambing hitam. Ratusan toko dijarah, rumah dibakar, perempuan diperkosa, dan nyawa-nyawa direnggut hanya karena persoalan rasial.
Namun, Pengepungan di Bukit Duri bukanlah cerita tentang 1998. Ia tidak menarasikan masa lalu, melainkan memperingatkan masa kini dan masa depan.
ADVERTISEMENT
Ketika bahasa tak lagi berfungsi untuk menjelaskan dunia. Bahasa telah kehilangan nuansa dan kedalaman. Ia berubah menjadi senjata, meledak setiap kali mulut dibuka. Umpatan seperti “anjing,” “kontol,” “ngentot” di Pengepungan di Bukit Duri meluncur tanpa ragu, tanpa pikir, tanpa harapan untuk dipahami—seolah satu-satunya cara agar eksistensi diakui adalah dengan melukai.
Dalam filsafat Ludwig Wittgenstein, bahasa adalah bentuk kehidupan (language is a form of life). Maka, bila bahasa sehari-hari berubah menjadi ladang caci-maki, kita tengah berada dalam bentuk kehidupan yang sudah rusak. Dunia Edwin dan Jefri adalah dunia tempat bahasa bukan lagi sarana pengertian, tapi alat pemisah, persis seperti dinding gelanggang yang memisahkan mereka. Tak ada ruang untuk dialog dalam kebencian—yang ada hanya monolog kasar yang terus bergema dan menular.
ADVERTISEMENT
Kata-kata kotor yang surplus di film itu sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang lebih kelam: ketakutan. Kebencian adalah wajah luar dari rasa takut yang tak bisa disebutkan. Dalam ketakutan kolektif, kata-kata kehilangan keindahan dan fungsinya. Yang tersisa hanyalah dentum brutal dari bibir yang ingin didengar dengan cara yang paling keras.
Tubuh manusia, kata para biolog maupun antropolog, adalah produk evolusi dan adaptasi. Mata sipit adalah hasil ribuan tahun hidup dalam cuaca bersalju dan terik menyilaukan. Ia bukan warisan dosa, bukan simbol keserakahan, bukan pula lambang penjajahan. Hanya hasil dari mutasi genetik yang bertahan. Namun di SMA Bukit Duri, serta di banyak tempat lain di dunia ini, bentuk mata bisa menjadi kutukan.
Adalah bodoh—jika tak ingin disebut biadab—bahwa sepasang lipatan epikantus bisa melahirkan dendam. Tapi memang, manusia modern sering kali gagal berpikir modern. Kita masih mencari kambing hitam dari bentuk tubuh, sebagaimana manusia purba menganggap orang asing sebagai ancaman hanya karena warna kulitnya berbeda.
ADVERTISEMENT
Di Bukit Duri, tidak ada ruang untuk pemahaman. Yang ada hanya gema dendam yang tak tahu asalnya. Dan film ini, sekelam apapun, setidaknya menyodorkan satu pertanyaan yang harus kita jawab bersama: sampai kapan kita membiarkan bentuk wajah menentukan siapa yang pantas dibenci?
Film ini adalah alarm bagi kita semua.