Konten dari Pengguna

Panjat Pinang Sudah Ada Sejak Zaman Belanda, Lalu Apa Masalahnya?

Rizki Baiquni Pratama
Data Journalist
18 Agustus 2019 10:57 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga mengikuti lomba panjat pinang kolosal dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengikuti lomba panjat pinang kolosal dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Panjat pinang harusnya sederhana. Sesederhana mereka yang menyaksikan lomba tersebut. Cukup datang, tak perlu tiket, dan tinggal mengomentari. Terpenting, ada kegembiraan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Bagi warga, panjat pinang adalah perkara ritus tahunan. Kehadirannya sebagai penanda bahwa ini adalah Hari Kemerdekaan. Siapa saja boleh terlibat. Semuanya larut dalam euforia yang hanya ada sekali dalam setahun. Tafsirannya sesederhana itu.
Persoalannya, apa yang seharusnya sederhana menjadi agak rumit di tahun ini. Itu karena, Wali Kota Langsa, Aceh, Usman Abdullah, melarang warganya untuk menggelar lomba panjat pinang dalam peringatan HUT ke-74 RI tahun ini. Ia menilai, lomba tersebut merupakan warisan penjajah yang tak ada nilai edukasinya.
Larangan itu termaktub dalam surat instruksi bernomor 450/2381/2019 tentang peringatan HUT Ke-74. Di dalamnya, Usman memerintahkan seluruh pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), para kepala desa, dan para pimpinan BUMN/BUMD di wilayah Kota Langsa untuk mentaati instruksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Usman sebetulnya bukanlah orang pertama yang menyebut panjat pinang sebagai warisan Belanda. Empat tahun lalu, diskursus semacam ini sempat mengemuka ke publik. Adalah pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, yang mengusulkan agar panjat pinang tak lagi dilombakan karena merendahkan martabat bangsa.
Pernyataan itu terangkum dalam sebuah artikel berjudul ‘Kenapa Harus Panjat Pinang?’ yang dipublikasikan pada 16 Mei 2015. Tulisan panjang itu ia publikasikan sebagai bentuk tanggung jawab atas pernyataan singkatnya yang lebih dulu menuai polemik.
Panjat Pinang di Era Kolonialisme. Sumber: Komunitas Historia
Dalam uraiannya, Asep merujuk pada sebuah foto yang ia lihat saat melakukan riset di Museum Tropen, Belanda. Dalam foto itu, tampak orang Indonesia yang tengah berusah payah memanjat pohon pinang untuk mendapat hadiah. Foto tersebut diambil sekitar tahun 1917-an.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang pribumi yang saling berebut, kemudian terjatuh karena pohon pinang yang licin. Hal tersebut sangatlah lucu bagi penduduk Hindia Belanda, terutama kaum elit seperti orang Eropa, karena melihat orang pribumi yang rela saling berebut untuk sesuatu hal yang tidak berarti di mata mereka,” tulis Asep.
Keterputusan Korelasi dan Pergulatan Makna
Kegelisahan Usman dan Asep sebetulnya berangkat dari satu ide tentang narasi besar dalam ilmu sejarah. Mereka melihat sejarah sebagai korelat. Yakni, sejarah sebagai sesuatu yang memiliki signifikansi dan konsekuensi politisnya pada masa kini.
Di Amerika Serikat (AS), ada cerita tentang patung di Capitol yang diganti karena pikiran semacam itu. Patung pengacara Uriah Milton Rose dan senator James Paul Clark harus tersingkir karena dianggap simbol rasis. Padahal, kedua patung itu sudah ada di Capitol lebih dari 100 tahun lalu.
Patung Uriah Milton Rose. Dok: Wikimedia
Sebagai gantinya, legenda musik Johny Cash dan aktivis HAM Daisy Lee Gatson Bates akan mengisi ruang kosong itu. Bagi masyarakat di sana, kedua patung itu diharapkan membawa semangat baru bagi masa depan AS yang lebih demokratis.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, sejarah sebagai korelat tak selamanya memiliki cerita seperti di AS. Struktur sosial dunia justru lebih banyak bercerita tentang keterputusan korelasi. Yakni, suatu kondisi ketika peristiwa yang sama di masa lalu memiliki tafsiran yang berbeda pada masa kini.
Keterputusan korelasi misalnya terjadi pada fenomena celana jeans. Pada abad ke-19, celana tersebut hanya dipakai oleh para pekerja tambang di Eropa dan AS. Orang kaya jelas tak sudi menggunakan celana tersebut.
Memasuki abad ke-20, semua mulai berubah. Celana jeans yang awalnya dimaknai sebagai celana proletariat itu mulai digunakan secara luas. Bahkan, kini celana jeans bisa dibilang menjadi standar fashion dunia.
Contoh lainnya ada pada simbol keagamaan. Dalam Islam, simbol bulan sabit barangkali tak lagi dipertanyakan asal-usulnya. Padahal, simbol yang ada di atas kubah masjid itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah. Simbol itu baru diasosiasikan dengan Islam sejak Kekhilafaan Turki Ustmani pada abad ke-15.
Ilustrasi Masjid. Dok: AFP
Namun jauh sebelum itu, penggunaan simbol bulan sabit sudah ada sejak era paganisme. Robert A Morey dalam The Islamic Invasion menguraikan, jejak simbol bulan sabit ada pada pendiri pendiri dinasti ke-3 Ur, Raja Ur-Nammu (2047-2030 SM). Pada masa itu, bulan dianggap sebagai dewa utama yang disembah.
ADVERTISEMENT
Sejumlah jejak arkeologis bahkan membuktikan bahwa bulan memiliki ikatan emosional di Jazirah Arab. Morey mencatat, kakbah bahkan pernah menjadi rumah dari 360 dewa. Namun di antara semua itu, dewa bulan adalah dewa yang paling kuat.
Ur Nammu. Dok: Wikiwand
Menariknya, tak ada lagi yang menggugat keabsahan simbol bulan sabit tersebut, dan itu memang tidak perlu. Terputusnya korelasi menyebabkan gugurnya interpretasi lama. Sekaligus menumbuhkan gagasan baru tentang simbol. Di situlah bulan sabit menemukan makna barunya.
Semua Hanya Permainan
Filsuf Prancis, Michel Foucault, dengan apik menyebut setiap zaman memiliki kebenarannya masing-masing. Sejarah selalu memiliki epistemenya tersendiri. Apa yang diyakini di masa lalu, bisa berbeda dengan di masa kini, atau bahkan di masa depan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa yang lebih spesifik, Foucault menyebutnya sebagai ‘Truth Games’. Yakni, sejarah sebagai sebuah permainan kebenaran. Dan itu merembes ke dalam setiap laku berpikir dalam kebudayaan umat manusia.
Warga membawa hadiah sepeda usai mengikuti lomba panjat pinang kolosal dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta. Dok: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Kelupaan akan sejarah barangkali juga jadi tak terlalu buruk. Saat semua orang di dunia ini tak lagi ingat asal-usul mereka, tak ingat akan permusuhan yang mereka bina, tak lagi ada ulasan tentang kebencian yang pernah terpuruk, maka visi baru dapat tercipta. Sebuah tatanan masyarakat dunia yang memulai segala sesuatunya dari nol.
Namun itu semua jelas terlalu jauh. Karena, hal krusial kita saat ini adalah panjat pinang. Seharusnya, lomba tersebut dipahami sesederhana mungkin. Sesederhana menontonnya sambil makan mi telor gulung. Selama positif dan menyenangkan, kenapa tidak? Namanya juga permainan.
ADVERTISEMENT