Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Philippe Van Parijs dan Gagasan Basic Income di Indonesia
22 Februari 2020 14:18 WIB
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bagi Philippe, pengangguran merupakan satu persoalan serius di abad 21. Itu karena, teknologi robotik akan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan manusia. Sedangkan kapitalisme sudah kepalang tak terbantahkan. Filsuf Belgia itu pun berusaha menempuh jalan ketiga dengan rumusan dasar pertanyaan berikut:
Bagaimana cara melindungi pengangguran akibat konsekuensi teknologi, tanpa harus jatuh pada sosialisme, yang menurutnya, mencengkeram kebebasan individu?
Dan eureka! Saat Philippe mencuci tangan dan mengarahkan tatapan kosong ke jendela, jawaban itu datang ke kepalanya. Jawabannya satu: Basic Income (pendapatan dasar).
Kisah Philippe itu berasal dari sebuah ceramahnya yang berjudul ‘The Instrument of Freedom" di acara TedX Talks. Ceramah tersebut diunggah di YouTube pada 19 Agustus 2016.
ADVERTISEMENT
Empat tahun setelah video itu dirilis, Philippe datang ke Indonesia pada 22 Februari 2020. Tepatnya datang memberi kuliah umum tentang Basic Income di Aula Terapung, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Saya beruntung bisa datang dan menyaksikan filsuf Belgia itu berbicara.
“Tujuan basic income adalah kebebasan total,” kata Philippe kepada lebih dari 50 peserta yang hadir.
Philippe siang itu tampak santai. Ia mengenakan kemeja putih lengkap dengan jeans. Pakaian itu selaras dengan warna rambutnya yang berwarna putih dan sedikit gondrong. Ia seringkali mengulum pulpennya saat mendengar orang lain berbicara. Tanda ia tengah menyimak dan berpikir.
Pendek kata, Philippe menginginkan kesejahteraan sosial terjadi dalam paradigma individu. Ia percaya kesejahteraan dan kebebasan dapat terwujud tanpa harus terjebak pada logika sosialisme--yang apa-apanya--mesti diatur oleh negara.
ADVERTISEMENT
Dalam skema Basic Income, semua orang tanpa terkecuali akan menerima uang secara berkala. Idealnya diberikan secara tunai ke individu setiap bulannya. Orang kaya atau miskin pun berhak menerima uang tersebut. Uang itu bebas digunakan untuk apa saja. Tak ada syarat yang diwajibkan kepada si penerima uang.
Basic income berbeda, misalnya, dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Basic income tak peduli dengan nasib uang yang sudah diberikan ke penerima. Entah uang itu digunakan untuk mabuk-mabukan atau ‘jajan’ di tempat prostitusi sekalipun tak jadi soal.
Meski begitu, Philippe percaya bahwa individu akan membelanjakan uang itu secara bijak. Ia menepis stigma terhadap si miskin yang malas bekerja saat menerima uang gratis. Sebaliknya, Philippe memandang bahwa uang gratis itu dapat menstimulus orang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
ADVERTISEMENT
“Posisi tawar individu dalam memilih pekerjaan akan tinggi. Ia bisa menerima atau menolak pekerjaan sesuai yang diinginkannya,” ujar Philippe
Analisis Philippe itu barangkali cukup tepat. Dalam sejumlah kesempatan, buruh seringkali ‘terpaksa’ menandatangani kontrak kerja karena tak ada pilihan.
Buruh sulit membantah kontrak lantaran mesti segera memperoleh penghasilan agar dirinya subsisten (bertahan hidup minimal). Jika basic income itu diterapkan, buruh akan memiliki opsi untuk bernegosiasi soal gaji dan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya.
Lantas dari mana uang untuk basic income itu dihasilkan?
Philippe mengusulkan sumber pendanaan baru seperti pajak tanah, pajak karbon, pajak transaksi keuangan, hingga mengalihkan social assistance (bantuan sosial) seperti subsidi yang selama ini dikenal menjadi basic income.
ADVERTISEMENT
“Indonesia bisa mencoba mengalihkan bantuan sosial menjadi basic income. Ini memang tampak sulit, tetapi akan memiliki dampak yang penting,” kata Philippe.
Philippe merupakan pemikir terpenting mengenai basic income di abad ini. Profesor ekonomi dan etika sosial di University of Louvain, Belgia, itu telah menulis sejumlah buku mengenai kebebasan dan basic income. Salah satunya adalah ‘Basic Income: a Radical Proposal for a Free Society and a Sane Economy (2017).
Tiga tahun setelah buku itu terbit, Bank Dunia menerbitkan buku berjudul ‘Exploring Universal Basic Income: A Guide to Navigating, Concepts, Evidence, and Practise (2020). Buku itu turut menyinggung soal kemungkinan penerapan basic income di Indonesia.
Dalam buku itu, misalnya, disinggung mengenai program Rastra (Beras Sejahtera) yang dinilai tak begitu berhasil. Kupon untuk mendapatkan beras semacam itu dinilai tak lebih efektif ketimbang pembagian uang yang bentuknya langsung dan tunai.
ADVERTISEMENT
Buku dari Bank Dunia itu kini jadi semacam panduan hitung-hitungan ekonomi bila suatu negara ingin menerapkan basic income.
****
Ceramah Philippe di UI bukanlah satu-satunya agenda pembahasan basic income yang saya ikuti. Sejak 19-21 Februari 2020, saya menjadi peserta Basic Income Bootcamp 2020 yang diselenggarakan Basic Income Lab Research Center for Climate Change UI.
Total ada 50 peserta, termasuk saya, yang berpartisipasi dalam acara tersebut. Latar belakang peserta pun berbeda-beda. Ada peneliti, PNS, aktivis, NGO, pegiat komunitas, dan tentu saya, jurnalis. Kami merupakan 50 orang yang lolos dari 234 pendaftar di seluruh Indonesia.
Sejak 2019, Basic Income Lab berdiri untuk menyuburkan kajian tentang penerapan basic income sebagai kebijakan publik. “Basic income itu menarik, tetapi juga sensitif,” kata Sonny Mumbunan, pendiri Basic Income Lab.
ADVERTISEMENT
Selama tiga hari digembleng di bootcamp, saya dan 49 orang lainnya belajar dari sejumlah tokoh. Kami belajar dan berdiskusi, misalnya, dengan Sugeng Bagjo (INFID), Ellena Ekarahendy (SINDIKASI), Budiman Sudjatmiko (Inovator 4.0), Gabriel Asem (Bupati Tambrauw, Papua Barat), hingga tentu saja, Philippe Van Parijs.
Di sana ada banyak perspektif. Ada banyak sanggahan dan pembelaan. Dan kampus memang seharusnya demikian. Menyingkap ide-ide baru untuk diuji dan diperdebatkan secara terbuka. Saya bersaksi bagaimana peserta antusias mengangkat tanganya dan memberi pandangan-pandangan kritisnya.
Bagi saya, tak ada ide yang tak mungkin terwujud. Problemnya konsisten atau tidak memperjuangkan ide itu. Dahulu, ide tentang demokrasi menjadi bahan tertawaan di lingkungan kekaisaran Tsar Nicholas II. Pemilihan langsung dinilai mengada-ada. Tetapi kenyataannya, kini hampir separuh dunia percaya demokrasi.
ADVERTISEMENT
-----------
Penulis adalah peserta Basic Income Bootcamp 2020, jurnalis kumparan.com, sekaligus alumnus Filsafat UI (2011-2015).