Konten dari Pengguna

Plato dan Sebuah Kota Utopis Tanpa Tawa

Rizki Baiquni Pratama
Alumnnus filsafat Universitas Indonesia. Bergabung dengan kumparan sejak 2017 dan kini menjadi redaktur content intelligence. Penerima beasiswa liputan Data Journalism Hackathon IDJN 2021.
29 Maret 2022 9:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung filsuf Plato di Yunani. Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Patung filsuf Plato di Yunani. Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Plato begitu alergi dengan lelucon, candaan, atau apa pun itu yang membuat seseorang tertawa. Bagi Plato, lelucon adalah hal buruk lantaran diciptakan dengan cara mengorbankan orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya berjudul 'Republic' (360 SM), Plato menyebut seseorang yang tertawa akan kehilangan kendali atas dirinya. Bahkan bukan cuma itu, Plato menuding orang yang menertawakan sesuatu sebetulnya merupakan ekspresi lain dari kebencian.
Lelucon terburuk dari yang paling buruk, kata Plato, adalah yang ditargetkan untuk menertawakan teman. Lelucon itu juga makin buruk karena menyebabkan seseorang kehilangan rasionalitasnya.
Maka, Plato membayangkan sebuah kota utopis tanpa tawa. Sebuah kota yang surplus akan pujian bagi para dewa dan orang-orang bijak. Tempat itu menjadi spesial karena dikelola oleh pemerintahan yang tertib. Tak akan ada orang yang menghina orang lain dengan menyembunyikannya dalam lelucon.
Tapi hingga akhir hayatnya, kota ideal tanpa tawa itu tak pernah terwujud. Bahkan sebaliknya, lelucon dan tertawa itu justru merembes tiap hari dalam sendi kehidupan manusia modern.
Kota Yunani kuno Kirene. Abdullah DOMA / AFP
Di era Plato hidup, acara komedi bahkan tak pernah ada tiap hari. Acara penuh tawa hanya dirayakan di acara keagamaan. Itu pun bisa dihitung dengan jari lantaran hanya ada di festival untuk memuji dewa Dionysus dan Demeter.
ADVERTISEMENT
Kala festival itu tiba, ada pesta makan malam besar yang diadakan oleh bangsawan Athena. Di sanalah kemudian orang-orang dari kelas bawah datang dengan memberikan tawa bagi tuan rumah. Mereka melakukannya demi mengais-ngais makanan dari meja makan para aristokrat.
Plato sebetulnya juga tak lepas dari sasaran roasting para komedian tersebut. Robert Brock dalam 'Plato and Comedy: Owls to Athens' (1990) menunjukkan bahwa para komedian itu seringkali mengolok-olok wajah Plato. Bahkan, mereka juga menyindir konsep-konsep abstrak filsafat Plato seperti 'apa itu kebaikan', 'apa itu pengetahuan', dan lain sebagainya.
Kekesalan Plato terhadap komedian itu makin membuncah ketika gurunya, Socrates, harus mati bunuh diri akibat minum racun. Plato percaya bahwa kematian Socrates salah satunya disebabkan oleh tulisan yang dibuat oleh Aristophanes, seorang penulis karya drama dengan genre komedi.
ADVERTISEMENT
Dalam 'The Cloud' (423 SM), Aristophanes mengejek Socrates yang berjalan ke sana ke mari dengan menyebutnya melakukan hal-hal yang omong kosong. Socrates sendiri memang senang berdialog dengan orang untuk berfilsafat dan mempertanyakan makna hidup.
Sebelum bunuh diri, Socrates dituduh menolak mengakui dewa-dewa yang diakui oleh negara, memperkenalkan dewa-dewa baru, dan merusak moral kaum muda. Bagi Plato, tulisan Aristophanes memprovokasi negara dan masyarakat untuk membenci Socrates.
Maka, Plato menulis uraian panjang mengenai Aristhopanes dan Socrates dalam Symposium (385–370 SM). Dalam tulisan itu, Plato menggambarkan bahwa Aristophanes dan Socrates sebetulnya merupakan sahabat. Namun menurut Plato, Aristhopanes dengki dengan kebijaksanaan yang dimiliki Socrates. Itulah yang kemudian memicu Aristophanes mengejek Socrates dengan cara membalutnya dengan komedi.
ADVERTISEMENT
Dan di sanalah masalahnya. Bagi Plato, seperti sudah disinggung sebelumnya, lelucon terburuk dari yang paling buruk adalah yang ditargetkan untuk menertawakan teman. Itu pula yang mendorongnya untuk mengajukan sebuah kota tanpa tawa. Pertanyaannya, mungkinkah ada kota seperti itu?