Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Semua Agama Benar di Mata Tuhan, Apa Benar?
18 September 2021 9:23 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 2000-an, konsep semua agama benar sudah mengemuka di Indonesia. Konsep tersebut diboyong oleh cerdik pandai di Utan Kayu. Kita lalu lebih mengenalnya sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL).
ADVERTISEMENT
Koordinator JIL saat itu adalah Ulil Abshar Abdalla. Dalam sebuah kolom berjudul ‘Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam’ yang terbit di Harian Kompas, santri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut menganalogikan agama sebagai sebuah ‘baju’. Menurut Ulil, ‘baju’ bukanlah forma. Oleh sebab itu, kata dia, ‘baju’ tak lebih penting dari nilai yang tersembunyi di baliknya.
“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pecinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya,” tulis Ulil, Senin (18/11/2002).
Tendensi Ulil sebetulnya sederhana saja. Ia saat itu resah dengan pertengkaran yang muncul lantaran perbedaan ‘baju’. Oleh sebab itu, Ulil menyebut bahwa umat yang selalu merasa ‘bajunya’ paling benar dan paling mutlak harus direvisi sesuai perkembangan zaman. Dus, pernyataannya itulah yang kemudian memantik kontroversi setelahnya.
ADVERTISEMENT
Reaksi atas tulisan Ulil, misalnya, datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang dikenal sebagai Gus Mus. Mertua Ulil itu menasihati menantunya melalui media yang sama dua minggu setelah tulisan Ulil terbit.
Dalam kolom berjudul ‘Menyegarkan Kembali Sikap Islam’, Gus Mus menyampaikan tiga kesalahan Ulil. Pertama, Ulil memilih target pembaca yang salah; Kedua, Ulil menulis dengan geram dan penuh nafsu; Ketiga, Ulil menulis opininya pada bulan Ramadhan. Gus Mus lalu menutup kolom tersebut dengan berdoa bahwa suatu saat Ulil akan menyesal saat membaca lagi tulisannya.
Saat itu, kritik terhadap Ulil atau JIL datang bertubi-tubi. Tak terkecuali datang dari dosen Filsafat UI Rocky Gerung. Dalam sebuah diskusi di Freedom Institute, misalnya, Rocky menilai bahwa kata Islam dan Liberal saja sudah contradictio in terminis. Sebab, setiap agama pada dasarnya datang melalui kitab yang sudah final, sementara liberalisme sebaliknya.
ADVERTISEMENT
“Dari awal dia (Ulil) mencegah dari kejernihan pikiran tentang beda antara ideologi sekuler dan doktrin agama. Digabung resultannya nol,” kata Rocky.
Kini, aktivitas JIL sebagai organisasi tak pernah lagi terdengar. Sementara, doa Gus Mus sudah diijabah pada 30 April 2017 lalu. Menantunya itu mengaku telah meralat cara pandangnya.
Dalam tulisan berjudul ‘Tiga Sikap atas Kitab Suci’ di akun Facebooknya, Ulil mengambil jalan tengah. Ia tak lagi menjadikan ayat suci sebagai makmum dari perkembangan zaman. Sebab, perkembangan zaman sekalipun, menurutnya, perlu dicurigai.
Cara pandang Ulil ini sebetulnya sejalan dengan gagasan deretan filsuf marxis di Jerman. Khususnya para filsuf mazhab frankfurt seperti Horkheimer, Adorno, dkk, yang melihat bahwa ada yang keliru dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Horkheimer, misalnya, melihat masyarakat saat ini adalah masyarakat satu dimensi. Yakni, sebuah kondisi perbudakan terhadap manusia yang dilakukan atas nama konsumtivisme dan kapitalisme. Apabila teori itu kita rentangkan, maka tafsir agama tak sepatutnya mengikuti perkembangan zaman tersebut.
Saat ini, tren filsafat dan ilmu-ilmu sosial juga tak lagi bertendensi untuk mencapai konsensus atau mempersatukan hal-hal yang partikular. Alih-alih itu, filsafat postmodernisme, misalnya, menyodorkan disensus atau ketidaksepakatan terhadap hal-hal yang partikular tersebut. Kita bisa menyaksikan bagaimana Jacques Derrida hingga Jacques Ranciere mempertahankan proposal itu.
Dalam agama, misalnya, hal yang dilihat harusnya bukan lagi persamaan, tetapi justru perbedaan. Sebab, tiap agama memiliki basis nilai keyakinan yang saling menegasi satu sama lain. Menyamakan semua agama pun jadi proyek yang penuh kesia-siaan. Yang diperlukan adalah merayakan perbedaan lantaran iman tak patut ditansaksikan.
ADVERTISEMENT