Merasakan Sunset Termewah di Bumi Serambi Mekkah

Rizki Dwika
Menulis. Jalan-jalan. Berarsitektur. Ikuti tulisan-tulisan randomnya di blog.rizkidwika.com!
Konten dari Pengguna
23 Desember 2017 20:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Dwika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbahagialah saya terlahir di Indonesia.
Sebagai negara dengan garis pesisir terpanjang kedua di dunia, negeri ini menyimpan tempat-tempat menakjubkan yang bisa dinikmati keindahannya kapan saja terutama di setiap penjuru pantainya. Mulai dari kecantikan Pulau Weh di ujung Sumatera hingga panorama yang dimiliki Teluk Jayapura, Indonesia menyuguhkan ribuan keajaiban alam yang menunggu untuk dijelajahi satu per satu, termasuk juga bagi saya yang kerap mengaku sebagai seorang penikmat senja.
ADVERTISEMENT
Salah satu pengalaman matahari terbenam yang paling menawan seumur hidup saya adalah saat saya menjelajah Provinsi Aceh untuk pertama kalinya beberapa waktu yang lalu. Berbekal tiket survei lapangan yang dipesankan dari kantor dalam rangka dinas, saya bersama seorang teman saya pun berkesempatan mengunjungi Banda Aceh selama empat hari secara cuma-cuma. Begitu kelar segala urusan pekerjaan, di hari kedua kami sudah bisa bebas mengeksplor Banda Aceh dan sekitarnya.
Ditemani kedua teman kenalan saya sesama penerima beasiswa pemerintah, Hamzah dan Arie anak-anak jebolan Unsyiah, kami berkeliling mengunjungi banyak tempat mengagumkan di seputaran Banda Aceh. Berwisata kuliner di kedai mie aceh paling lezat se-antero kota, salat di Masjid Raya Baiturrahman, serta mengunjungi Museum Tsunami dan Monumen Kapal PLTD Apung yang pada saat terjadinya tragedi, gelombang tinggi menyeret kapal seberat 2600 ton sejauh lima kilometer hingga terdampar di tengah-tengah permukiman. Suasana mencekam, sublim, dan menyedihkan seketika melebur jadi satu di benak saya.
ADVERTISEMENT
Sebagai tuan rumah, Hamzah dan Arie tiba-tiba berencana membawa kami ke sebuah pantai di tepi barat begitu sore menjelang. Katanya sih, pantai itu adalah tempat tercantik buat menikmati matahari terbenam. Dengan mengendarai dua motor (saya dibonceng Hamzah, Gege dibonceng Arie), kami pun menempuh perjalanan sekitar satu jam perjalanan menuju Kabupaten Aceh Besar. Sementara Hamzah menggeber mesin motornya hingga seratusan km/jam, mata saya dimanjakan dengan pemandangan yang susah ditemukan di Jabodetabek, mulai dari sawah yang membentang di sepanjang jalan hingga deretan pegunungan Bukit Barisan yang terlihat seperti latar film Jurrasic Park. Tak lama, kami pun tiba di Lampu’uk, Kabupaten Aceh Besar.
Untungnya, kami datang di jam setengah enam sore dan pengunjung pantai pun hanya kami berempat saja. Satu kawasan Pantai Lampu’uk pun seolah-olah menjadi pantai pribadi milik kami. Sesampainya di Pantai Lampu’uk, saya dan Gege langsung terkesima—sembari setengah menganga-nganga. Ya, hamparan pasir putih dengan gulungan ombak yang cukup tinggi seolah menyambut kedatangan kami sebagai wisatawan yang baru kali pertama datang ke provinsi ini.
Pantai Lampu’uk sendiri merupakan bagian pesisir Aceh yang terdiri dari karang, tebing, dan hamparan pasir putih sepanjang lima kilometer yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Pada tahun 2004 silam, pantai ini pun menjadi saksi bisu betapa ganasnya lautan yang menghantam dan meratakan permukiman di sekitar Aceh Besar. Bahkan, terjangan air bah juga turut menghancurkan sebuah bukit yang berada di pantai tersebut hingga sekarang hanya menyisakan setengah bagian tebingnya saja.
ADVERTISEMENT
Di Pantai Lampu’uk, kami pun berfoto-foto sembari bermain pasir selagi matahari belum sepenuhnya terbenam. Di Lampu’uk, saya pun menemukan pemandangan sunset yang paling berkesan seumur hidup saya, di mana saya menyaksikan sendiri betapa indahnya matahari terbenam di pinggiran pantai yang pernah tak berdaya saat diterjang bencana besar, di antara suasana langit yang bergradasi biru, kuning, jingga, dengan semburat warna nila. Bukan hanya itu saja, tiba-tiba ratusan kelelawar yang baru keluar dari peraduannya pun melintas tepat di depan kami. Momen keagungan Sang Pencipta yang barusan dipamerkan di depan mata pun seperti memunculkan hasrat ingin bertaubat, rasa-rasanya.
Setelah langit mulai perlahan menggelap, sekitar setengah tujuh malam kami meninggalkan Pantai Lampu’uk dan singgah di Masjid Rahmatullah untuk melaksanakan salat Magrib. Jika kamu ingat foto-foto pascatsunami yang tersebar di internet tentang beberapa masjid yang kokoh berdiri sedangkan bangunan di sekitarnya rata dengan tanah semuanya, nah, masjid ini adalah salah satunya. Meski berjarak hanya lima ratus meter dari bibir pantai, ajaibnya tak banyak kerusakan yang dialami oleh masjid ini.
ADVERTISEMENT
Saya dan Gege pun diantar menuju kota untuk kembali ke penginapan setelah puas berkeliling Banda Aceh dan sekitarnya. Lewat http://www.tiket.com/hotel, saya dan Gege memesan dua kamar (iya, meski sohib banget, kami nggak boleh menghemat uang perjalanan dengan memesan satu kamar karena kami bukan muhrim :p) di sebuah hotel yang berada persis di kawasan REX, salah satu pusat kuliner yang buka dari sore, malam, hingga pagi yang menawarkan berbagai cita rasa Aceh seperti sate matang, ayam tangkap, dan masih banyak lagi. Sungguh strategis bagi kami yang memiliki perut karet dan gampang merasa lapar setiap saat.
Saking strategisnya tempat menginap kami, untuk menuju Masjid Raya Baiturrahman dari tempat kami menginap pun hanya butuh sekitar sepuluh menit saja dengan berjalan kaki. Semua ini berkat fitur pemesanan hotel yang ada di Tiket.com, di mana kami bisa tahu seberapa jauh jarak dari suatu hotel atau penginapan ke berbagai tempat favorit maupun atraksi yang berada di kota yang sedang kita kunjungi. Selain itu, gara-gara penawaran harga yang miring dari Tiket.com pula yang membuat kami memutuskan untuk menginap di sana selama tiga malam.
ADVERTISEMENT
Meski ini baru kali pertama saya menginjakkan kaki di bumi Aceh, saya langsung terpesona dengan suasana kota, kehidupan, juga pemandangan alamnya—terlebih lagi pesona pantai barat Aceh dengan segala kecantikannya. Setelah mengalami empat hari di sana, saya pun kembali ke Jakarta dengan kenangan sunset terindah, di mana sang surya meredup di tengah-tengah langit yang cerah-merekah.
Semoga selalu ada kesempatan untuk kembali ke tanah Aceh Darussalam!