Cari Pakai Kaki
Konten dari Pengguna
17 Februari 2020 23:48 WIB
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bila wartawan mengeluh dan dari mulutnya tercetus satu saja istilah di atas, gampang mengartikannya: Bahwa hasil liputannya tidak menghasilkan berita yang memuaskan. "Daging" beritanya enggak dapat—persis ayam goreng tapi cuma tulang dan kulit—tidak mengenyangkan, "gizi"-nya kurang.
ADVERTISEMENT
"Amarzan Loebis punya sindiran buat itu: 'Liputannya enggak berkeringat'," kata Syailendra Persada, wartawan seangkatan saya di Tempo.
Ketika hasil liputan seperti itu dipaksakan ditulis, hampir pasti beritanya tidak enak dibaca. Selayaknya mengonsumsi informasi datar. Jangankan menarik hati pembaca, menarik hati redaktur pun sulit.
Bagi para wartawan yang mendambakan adanya "cerita di balik peristiwa" di berita-berita mereka, kondisi "landai" adalah serbagawat. Dampaknya dahsyat: Makan tak enak. Tidur tak nyenyak. Bangun tak semangat.
Semua wartawan pasti mengalaminya, semacam sudah jadi kutukan profesi. Niat hati ingin mendapatkan halaman (khususnya wartawan koran/majalah), yang didapat hanyalah "digoblok-gobloki" redaktur.
ADVERTISEMENT
***
Saya lupa dari mana munculnya kalimat "Carilah berita pakai kaki." Mungkin saya karang-karang sendiri. Tapi saya punya bukti.
November 2009, saat saya masih mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad, saya berjalan kaki menyusuri jalanan Dago, Bandung, mencari apa-apa yang bisa saya jadikan berita. Ini bukan untuk berita sungguhan melainkan untuk tugas kuliah.
Kala itu saya berambisi mendapatkan "Pelanggaran yang ada di Dago".
Mari kita lihat:
Semua foto adalah karya jurnalistik dari saya yang kala itu belum jadi jurnalis—hanya bermodalkan kaki dan kamera.
Wartawan profesional yang sampai sekarang masih mengeluh kering berita mungkin karena ini: Kakinya belum digunakan.