Siapa Salah di Lewoleba

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
19 April 2021 23:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga Lewoleba, NTT, berbondong-bondong menyelamatkan diri. | Kredit foto: Paulus Pulo/Balleo News.
zoom-in-whitePerbesar
Warga Lewoleba, NTT, berbondong-bondong menyelamatkan diri. | Kredit foto: Paulus Pulo/Balleo News.
ADVERTISEMENT
Suasana pesisir yang sepi di Lewoleba, Nusa Tenggara Timur, menjelang pukul 12 malam pada Jumat lalu, mendadak rusuh dan kacau. Paulus Pulo, yang sedari tadi bercengkrama santai dengan kakak iparnya di teras rumah, dikejutkan gerombolan orang yang berlari tak karuan dari arah pantai melewati rumahnya.
ADVERTISEMENT
"Air naik! Air naik!" kata Paulus, Pemimpin Redaksi Balleo News (partner resmi kumparan), menirukan warga yang lari itu.
Rasa cemas Paulus membuncah, rumahnya dekat dengan pantai. Insting menyelamatkan diri (dan keluarga) membuat badannya yang kurus itu loncat dan masuk ke rumah membangunkan enam anggota keluarganya yang sudah tidur lelap.
Yang pertama dibangunkan adalah kakak perempuannya, yang langsung panik dan menggendong anaknya yang masih berumur 1 tahun. Anak sulung dan anak tengah, masing-masing berusia 12 dan 3 tahun, diteriaki agar bangun dan segera lari keluar dari rumah, dibantu dua remaja berumur 24 dan 19 tahun.
Dalam kondisi yang belum sepenuhnya sadar itu mereka berlari menyelamatkan diri. Tidak lagi sempat berpikir di mana dompet, surat-surat, atau barang-barang berharga lain.
ADVERTISEMENT
"Bahkan kami meninggalkan rumah tanpa sempat mengunci pintunya," kata Paulus.
Dengan dua kakinya Paulus berlari sembari menjaga anggota keluarganya. Dia melihat kiri-kanan: Semua orang panik dan ingin sesegera mungkin naik ke dataran tinggi Lusikawak.
Dalam kepanikan itu Paulus menelepon saya. Sembari terengah-engah, ia berkata setengah berteriak:
"Bang Gaga! Air laut pasang! Kami semua sedang lari menyelamatkan diri!"
Paulus kemudian bercerita sempat mendengar dentuman Gunung Ile Lewotolok setengah jam sebelumnya. Suara dentuman amat keras padahal jarak gunung dengan rumah Paulus itu sejauh satu jam perjalanan pakai sepeda motor.
Saya di Jakarta pun segera membuatkan berita hasil reportase Paulus, sekaligus memuat foto-foto Lewoleba yang dipenuhi berbondong-bondong warga yang hanya membawa baju di badan.
ADVERTISEMENT
Pada perjalanan penuh kecemasan itu, penerangan warga satu-satunya hanyalah dari lampu sepeda motor yang melaju melewati mereka.
Sesampainya di dataran tinggi, Paulus dan para warga menunggu nasib. Kalau siang, dari titik ini laut di ujung sana terlihat. Tapi pada malam itu hanya gelap. Semua menebak-nebak, benarkah ada tsunami?
Dua jam berlalu.
Paulus melihat ada mobil polisi wara-wiri. Petugasnya berkali-kali bilang tak ada tsunami dan air laut tidak naik.
Warga pun berangsur-angsur turun ke pesisir pantai, pulang ke rumahnya masing-masing. "Menyisakan beberapa warga yang masih trauma sehingga mereka tetap memilih di Lusikawak," ujar Paulus.
Dan syukurlah, tsunami memang tidak terjadi. Air pasang pun tidak membahayakan.
Tapi Lewoleba tergores duka. Dalam kepanikan tadi, seorang warga terjatuh dan meninggal. Ada juga seorang nenek yang panik menyebrang jalan dan tertabrak sepeda motor.
ADVERTISEMENT
Kedua korban itu tetangga Paulus.

Bagaimana Mencegah Peristiwa Serupa Terjadi?

Bencana Lewoleba adalah contoh nyata kegagalan komunikasi massa. Obatnya hanya satu: Harus ada komunikator (dalam hal ini pihak berwenang) yang segera mengambil alih informasi kepada komunikan (dalam hal ini masyarakat).
Sebatas ingatan saya yang pendek ini, itulah salah satu yang saya pelajari ketika meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran.
Dan asal kalian tahu, saya sudah amat berprasangka buruk mempertanyakan mengapa wilayah pesisir seperti NTT tidak dipasangi alarm peringatan tsunami.
Ternyata, memang tidak segampang itu.
Saya berterima kasih kepada Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), yang menjelaskan ini:
Cara ilmuwan di bumi ini (termasuk BMKG) mendeteksi tsunami adalah dengan metode seismik: Alatnya mendeteksi besaran gempa baru kemudian menghitung potensi tingginya gelombang laut.
ADVERTISEMENT
"Bila kekuatan gempa buminya mencapai parameter tertentu (sehingga menimbulkan tinggi gelombang air laut tertentu), maka metode tsunami warning menjadi bisa. Tapi kalau gelombang air laut bukan disebabkan gempa bumi, katakanlah akibat longsoran gunung, maka itu sangat sulit dideteksi," kata Daryono.
Timbul optimistis saya ketika Daryono bilang para ilmuwan lembaganya sedang mengembangkan prototipe pendeteksi tsunami berdasarkan pemantauan laut.
Nah, sembari menunggu itu, sudah seharusnya para aparatur negara berjibaku bersama warga berinisiatif menciptakan solusi komunikasi isu tsunami.
Agar bencana Lewoleba tidak terulang.