Terpaksa Repot

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
20 Juli 2020 23:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Amit-amit sulitnya membuka baut bonggol roda yang baru terlihat usai ban mobil—beserta peleknya—dilepas ini.
ADVERTISEMENT
Lantaran ukuran baut jumbo, maka mesti dibuka kunci pas (wrench) jumbo. Gagang wrench ditempeli lagi sebuah pipa besi sehingga "lengan"-nya bertambah panjang.
Bukan diputar pakai tangan (rasanya mustahil ada tangan yang sanggup), gagang wrench diinjak agar daya puntirnya sebesar berat tubuh. Harapannya, cukup kuat buat memutar baut berlawanan arah jarum jam.
Persoalannya: Baut ini bergeming meski saya—yang beratnya 75 kilogram—berdiri bahkan loncat-loncat di atas batang wrench.
Diambil lagi gagang besi sehingga panjang lengannya kini dua kali lipat. Diinjak lagi berkali-kali, lalu… "Krak!" ada suara tanda baut telah terlepas dari kebekuannya.
Bagi orang bengkel, semua hal itu wajar karena makhluk yang diurus adalah Honda CR-V tahun 2010. Ini Senin, 20 Juli 2020, artinya sudah 10 tahun baut rodanya tak pernah dibuka.
ADVERTISEMENT
Setelah kaki-kaki dipreteli, terlihat semua sumber bunyi "klotak-klotak" selama mobil melaju: Tie rod (juga batang panjangnya), batang stabilizer, ball joint, hingga shock breaker. Istilah orang bengkel: Mobil lagi pengin jajan.
Beres persendian, beralih ke ban. Kondisinya… aduh. Saya langsung bersyukur karet bundar ini tidak pecah meledak waktu kemarin dipacu di tol Padaleunyi hingga 160 kilometer per jam. Ya sudah, dari tukang kaki-kaki kemudian saya ke bengkel ban.
Saya baru tahu: Setiap ban mencantumkan tahun produksi. Ban yang dadas pada tapaknya ini diproduksi tahun 2013. Karena ban adalah koentji, maka tak ragu saya rogoh dompet untuk beli ban Bridgestone tahun 2020.
Sudah dua bengkel dan dua operasi yang menguras energi, waktu, dan seisi dompet. Tapi hadeh, saya belum bisa pulang.
ADVERTISEMENT
Penyebabnya power window untuk membuka kaca pintu sopir (belakangan ini) rusak sampai enggak bisa turun-naik. Memangnya selama ini bagaimana bila bayar tol atau kasih uang ke tukang parkir? Buka pintu.
Artinya, mesti ke bengkel lain lagi.
Di bengkel terakhir ternyata montirnya juga bisa menyervis retractable mirror (pelipat kaca spion dari dalam kabin) yang entah kenapa bisa rusak. Ya, spion ini sudah enggak bisa melipat sejak lama. Kiri-kanan pula.
Empat bengkel (termasuk bengkel onderdil untuk beli wiper), lima operasi, enam jam. Kalau dihitung-hitung, uang jajan mobil ini seharga motor bekas.
Sering terpikir untuk mengganti saja CR-V ini dengan mobil baru yang otomatis enggak perlu memikirkan urusan tetek bengek ini, dan mungkin bisa tak keluar biaya: Jual mobil lalu uang hasil penjualan dibelikan mobil yang lebih baru. Mungkin bakal jadi mobil LCGC.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan. Mobil ini mesti dirawat. Maka memang mesti terpaksa repot. Mungkin ia sudah memasuki usia ngadat—maka itu konon ada sejumlah negara yang membatasi usia mobil hingga 10 tahun.
Hubungan manusia dengan mobilnya mirip urusan asmara.
Semakin panjang usia asmara, semakin banyak masalahnya. Katanya, upaya mempertahankan memang lebih sukar.
Ingat-ingat saja: Selalu ada pilihan untuk menggantinya dengan yang baru. Tinggal hati kita tega atau tidak.
Kredit foto: Ryan McGuire (Pixabay)