Wartawan Bernama Wayan

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
16 November 2020 23:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wayan (kredit foto: Istman Musaharun Pramadiba)
zoom-in-whitePerbesar
Wayan (kredit foto: Istman Musaharun Pramadiba)
ADVERTISEMENT
Dari meja kami di restoran gedung pencakar langit ini terlihat mobil-motor yang melaju mengitari Bundaran Hotel Indonesia yang di tengah-tengahnya ada Monumen Selamat Datang itu. Tempat makan ini sejuk, terik di luar hanya terlihat tidak terasa. Mungkin suasana begini yang setiap siang dinikmati raja-ratu di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kami ingin ada di sana selama mungkin tapi kami sadar tak mungkin gaji kami sebagai wartawan akan tahan membayari makanan dan minuman tambahan. Strategi kami: Menyeruput sedikit-sedikit saja kopi sudah dingin ini agar tak cepat-cepat habis sebab yang membayari kopi (dan makanan kami barusan) sudah pamit duluan.
Bila bukan karena I Wayan Agus Purnomo, tidak mungkin saya bisa bersantap di sana. Terpikirkan pun enggak. Dengan gaya sotoy "gue sering nongkrong di situ", Wayan si wartawan Tempo seangkatan saya itu tiba-tiba mengajak saya menemui narasumbernya, seorang petinggi partai politik (yang punya banyak duit (yang membayari makanan-minuman kami)).
Dengan "abang" petinggi parpol ini Wayan bertukar cerita, atau lebih tepatnya Wayan banyak meminta cerita. Saya berusaha mengalir saja karena Wayan memperkenalkan saya sebagai wartawan yang tahu banyak soal dalam-dalamnya KPK (padahal tidak juga). Ya, saya menulis berita di ranah hukum, Wayan ranahnya politik. Hukum dan politik, kadang klop kadang—seperti di pertemuan itu—tidak nyambung blas.
ADVERTISEMENT
Saya jarang sekali berduet dengan Wayan seperti ini. Sejak tahun pertama di Tempo kami memang sudah beda jalan. Saya di desk Ekonomi-Bisnis, ia di Nasional. Waktu Wayan dipindah ke Ekonomi-Bisnis, saya digeser ke Olahraga. Ketika akhirnya bersama-sama di Nasional dari Koran Tempo hingga majalah Tempo, kami pun beda "jurusan".
Maka saya terkagum-kagum waktu menyaksikan Wayan mewawancarai si petinggi parpol ini. Wawancara tapi atmosfernya seperti mengobrol—benar-benar tak seperti wawancara. Secuil informasi dari si narasumber disambut Wayan dengan cuilan informasi yang ia pernah dengar dari narasumbernya yang lain. Memancing pelan-pelan, berusaha menjahit peristiwa.
Hebatnya Wayan, sepanjang percakapan ia tidak mencatat atau merekam. Beda dengan saya yang ketika, katakanlah, ketemu pengacara bisa-bisa kertas salinan berkas perkara ramai terserak di meja. Wayan ini kalem, mungkin itu yang bikin narasumbernya nyaman.
ADVERTISEMENT
Ini hari Minggu (tahun 2016) sehingga saya tahu target Wayan hari itu hanyalah mendapatkan secuil informasi-yang-kalau-bisa-agak-basah yang bisa ia presentasikan dalam rapat redaksi Senin besoknya. Dan saya pun tahu, di hari itu ia tak dapat apa-apa. Kering. Remehan informasi pun tak ada apalagi yang basah-basah. Tapi pertemuan wartawan politik yang satu ini dengan para narasumbernya memang jarang cuma satu kali. Hari ini tidak ada petunjuk, mungkin besok ada. Yang jelas ia akan terus menggali dan mengumpulkan kepingan informasi yang secuil-secuil itu.
Dari Wayan yang sontoloyo ini memang beberapa kali Laporan Utama majalah Tempo menguning ala warna partai beringin dalam kasus-kasus yang menyeret nama-nama seperti Fahd El Fouz hingga Setya Novanto. Otak Wayan boleh dibilang cemerlang, kepingan informasi di jagat politik—yang kebanyakan cuma keluar dari mulut narasumber (bukan dari berkas perkara)—bisa ia rangkai-rangkai jadi nampak aduhai.
ADVERTISEMENT
Misal:
Atau ini:
ADVERTISEMENT
Dan ada apa gerangan saya menulis tentang Wayan? Karena si sontoloyo ini memilih pergi di tengah pandemi. Bukan mati tapi profesinya berganti. Semoga dosa-dosanya kelak diampuni.