Wartawan yang (Hanya Melihat tapi) Tidak Mengamati

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
27 Januari 2020 16:52 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kertas-kertas pada bloknot ini telah melemah, tapi memori yang tercantum di setiap halamannya masih tertancap kuat.
Bloknot ini pemberian Tempo, tahun 2011, di hari pertamaku. Bloknot pertamaku sebagai wartawan.
Di halaman-halaman awal, bloknot ini menyimpan buah pikir dari para wartawan senior karena pada hari pertama itu kami belum "turun ke lapangan", masih harus ikut semacam kelas pendidikan dasar.
Para senior yang tercatat di bloknot ini: Hermien Y. Kleden, M. Taufiqurrahman, Burhan Sholihin, L. R. Baskoro, Yos Rizal Suriaji, UU Suhardi, hingga Qaris Tajudin.
Catatanku singkat-singkat saja. Misalnya ucapan Kak Hermien ini:
ADVERTISEMENT
Lembaran halaman selanjutnya menyimpan catatan dari "latihan liputan". Aku ditugaskan ke Pasar Taman Puring, mencari berita yang kira-kira bisa menarik. Catatanku:
Yang dicatat di Taman Puring pagi-pagi itu.
Sebagai lulusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, tentu aku sudah fasih liputan. Mudah saja bikin berita dari Taman Puring. Enteng saja langkah kaki ini ke kantor sepulang "latihan perang" itu.
Ternyata, di kelas lanjutan, Qaris Tajudin bertanya ini: Narasumbermu pakai jam tangan enggak?
Aku jawab, pakai.
Qaris Tajudin bertanya lagi: Di tangan kiri atau tangan kanan?
Aku: ... (lama mengingat-ingat)
Yang begini-begini rasanya enggak ada di mata kuliah. Jadilah melalui Qaris Tajudin aku (kami) dapatkan sebuah pelajaran penting: Wartawan harusnya bersungguh-sungguh menggunakan panca indera dalam meliput. Detail. Bukan hanya "melihat" tapi "mengamati".
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun selepas kelas ini pun masih saja aku dimarahi, terutama oleh Stefanus Teguh Edi Pramono alias MAS PRAM: "Lo cuma melihat tapi enggak mengamati!"
Jadilah aku belajar mengamati. Berita Di KPK Atut Bak Bawang Merah, Airin 'Bawang Putih', yang tayang pada 10 Desember 2013, mengisahkan bedanya Atut yang glamor dan Airin yang sederhana ketika datang ke KPK memenuhi panggilan pemeriksaan atas kasus suap.
Dua pekan setelahnya, pada 26 Desember 2013, Airin kembali lagi ke KPK. Saat kami (para wartawan) doorstop, aku terpaksa berjongkok di depan lutut Airin (karena kalau berdiri akan menghalangi sorotan kamera fotografer yang galak-galak itu), menodongkan tape recorder ke atas.
Sembari berjongkok itulah aku lama menatap sepatu Airin. Sepatu yang rasanya bentuknya biasa saja, tapi sering dipakai Wali Kota Tangerang Selatan itu.
ADVERTISEMENT
Aku akan salah bila tak mempercayai insting sendiri. Segera saja aku potret sepatu itu, fotonya kukirim ke kantor, dengan pertanyaan: Ini merek apa?
Seseorang di milis kantor menjawab: Itu sepatu mahal, mereknya Gucci.
Lantas, tayanglah sebuah berita berjudul Airin dan Sepatu Gucci Biru Favorit. Hasil "mengamati".
***
Pak Dalipin Sang Baginda telah aku tanyakan pendapatnya tentang topik ini. Tapi ia tak mau dikutip. Tapi aku tetap mengutip. Karena aku hakulyakin beliau tidak akan marah:
ADVERTISEMENT