Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
27 April 2025 15:36 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Rizki Koerniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pencucian uang secara umum telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana dan tergolong dalam kejahatan kerah putih dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bahkan kejahatan serius (serious crime) karena memiliki modus operandi yang berbeda dan lebih berbahaya dari kejahatan konvensional yang dikenal dalam hukum pidana di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pencucian uang menurut UU Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Ini berarti setiap tindakan yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau aset hasil tindak pidana dianggap sebagai pencucian uang.
Hambatan pengusutan tindak pidana pencucian uang
Salah satu masalah kompleks pengusutan tindak pidana pencucian uang yakni dalam proses pembuktian tindak pidana pencucian uang tersebut tidak mudah serta dalam praktik tidak efektif, karena berdasarkan pengalaman negara maju, untuk pembuktian tindak pidana ini sangat sulit jika tempat kejadian perkara berada di luar negeri atau wewenang mengadili di luar wilayah negara yang bersangkutan dan nilai kejahatan pencucian uang tersebut dilihat kerugiannya sangat berarti, apalagi antar negara tersebut tidak ada kerjasama internasional terkait kejahatan tersebut. Tentunya hal demikian akan mempersulit instansi penegak hukum dalam upaya pemberantasan pencucian uang di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kasus Muhammad Nazaruddin yang menjadi terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang dapat dilihat bagaimana rumitnya proses pembuktian terbalik dalam kasus pencucian uang.
Bahkan jaksa dari KPK dalam beberapa kali kesempatan kesulitan dalam merampas harta kekayaan terdakwa yang merupakan hasil kejahatan. Terdakwa Muhammad Nazaruddin berkilah bahwa aset yang akan disita bukan miliknya melainkan milik dari orang lain.
Beda pula cara untuk menyamarkan aset hasil kejahatan yang dilakukan oleh Irjen Djoko Susilo mantan Kakorlantas Polri yang terjerat kasus korupsi Simulator SIM tersebut menyamarkan aset hasil korupsi dengan nama istri siri dan orang dekat pelaku.
Pembuktian terbalik banyak dikritisi oleh para ahli hukum pidana, dan menjadi polemik dalam penerapannya, karenanya ahli hukum pidana bernama Oliver Stolpe memberikan alternatif Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan, konsep teori pembuktian ini adanya teori probabilitas yang diturunkan dalam hal kepemilikan harta kekayaan hasil dari tindak pidana akan tetapi tetap mempertahankan teori probabilitas yang sangat tinggi dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang.
ADVERTISEMENT
Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaats) bukan negara berdasarkan atas kekuasaan (Macht staats). Khusus dalam hukum pidana untuk membuktikan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah melakukan perbuatan pidana adalah melalui mekanisme pembuktian di pengadilan. Negara Indonesia merupakan bekas koloni Hindia Belanda jadi Indonesia juga menganut sistem beban pembuktian yang sama dengan Belanda (Eropa Kontinental) yang memberikan beban pembuktian pada penuntut umum. Sebetulnya secara universal beban pembuktian pada penuntut umum juga digunakan oleh beberapa negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon.
Seiring berjalannya waktu beban pembuktian pada penuntut umum dianggap tidak efektif dalam memberantas tindak pidana luar biasa (Extra ordinary crime) seperti korupsi dan pencucian uang. Oleh karena itu muncul ide untuk mengadopsi sistem “Pembalikan Beban Pembuktian” proses pembuktian yang sudah lebih dahulu ada dalam sistem hukum Anglo-Saxon. Setelah diskusi dan perdebatan yang panjang antara pemerintah dengan parlemen akhirnya dihasilkan jalan tengah yaitu dengan menerapkan pembalikan beban pembuktian yang terbatas dan berimbang.
ADVERTISEMENT
Menurut Undang-Undang PP TPPU, pembuktian terbalik menjadi kewajiban terdakwa, terdakwa diwajibkan membuktikan harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana, namun jaksa penuntut umum tetap diberikan beban untuk membuktikan unsur kesalahan terdakwa. Pada Pasal 77 disebutkan, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 77, lebih lanjut dan pada Pasal 78 Undang-Undang PP TPPU bahwa terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Dalam hukum positif Indonesia pembalikan beban pembuktian atau lebih dikenal dengan istilah pembuktian terbalik diadopsi dalam dua peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU Pemberantasan Tipikor) dan Undang-Undang PP TPPU.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan ide awal pemerintah maka pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang dalam UU Pemberantasan Tipikor hanya dapat diterapkan dalam 2 (dua) objek pembuktian
yaitu: 1. Pada “korupsi suap menerima gratifikasi” yang nilainya Rp. 10.000.000.00.- (Sepuluh juta rupiah) atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf A Jo Pasal 37).
2. Pada “harta benda terdakwa” yang terbagi dalam 2 (dua) jenis yakni:
a. Harta benda yang didakwakan dan yang ada hubungannya dengan pembuktian tindak pidana korupsi dalam perkara pokok (Pasal 37A).
b. Harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38 Jo Pasal 37).
Sedangkan dalam Undang-Undang PP TPPU pembuktian terbalik diterapkan
dalam 2 (dua) jenis tindak pidana pencucian uang:
1. Tindak pidana pencucian uang aktif (Pasal 3 dan Pasal 4). Tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, mempergunakan frasa “menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang, atau surat berharga atau perbuatan lain yang merupakan kalimat aktif dalam perumusan Pasal 3, maka dapat diketahui bahwa tindak pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam kepustakaan tindak pidana pencucian uang termasuk atau disebut tindak pidana pencucian uang aktif. Tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, mempergunakan frasa “menyembunyikan” dan “menyamarkan” yang merupakan kalimat aktif dalam perumusan Pasal 4, maka dapat diketahui tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam kepustakaan tindak pidana pencucian uang adalah termasuk atau disebut tindak pidana pencucian uang aktif.13
ADVERTISEMENT
2. Tindak pidana pencucian uang pasif (Pasal 5). Tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mempergunakan frasa “menerima” dan “menguasai” yang merupakan kalimat pasif dalam perumusan Pasal 5, dalam kepustakaan tindak pidana pencucian uang adalah termasuk atau disebut tindak pidana pencucian uang pasif.
Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Dalam Proses Pembuktian Terbalik Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang
Uang memiliki peranan penting dalam hidup manusia, tidak jarang demi mendapatkan uang manusia melakukan segala cara baik itu yang diperbolehkan ataupun yang melanggar hukum. Dalam organisasi kejahatan (crime organization).
Uang merupakan komponen penting yang menggerakkan roda kejahatan dan tidak jarang harta kekayaan digunakan untuk ekspansi bisnis kejahatan di negara tetangga. Sampai saat ini penegakan hukum di negara berkembang seperti Indonesia masih berfokus pada pemidanaan pelaku kejahatan tanpa memperdulikan harta kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa.
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalannya waktu ditambah adanya dorongan dari komunitas internasional maka telah ada perubahan untuk mulai menelusuri harta kekayaan terdakwa yang berasal dari kejahatan. Dalam organisasi kejahatan harta kekayaan memiliki tempat yang sangat tinggi sehingga tidak jarang anggota organisasi kejahatan rela untuk di penjara selama waktu tertentu asalkan harta kekayaan tidak tersentuh oleh otoritas penegak hukum.
Undang-Undang PP TPPU Pasal 1 butir (13) mengartikan “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Frasa Harta kekayaan selalu tercantum dalam delik pencucian uang baik itu pencucian uang aktif dan pencucian uang pasif, bahkan unsur mengetahui dan patut diduga (knowledge or reason to know) bahwa harta kekayaan hasil dari tindak pidana merupakan unsur krusial dalam delik pencucian uang. Bahkan bisa dibilang tanpa adanya harta kekayaan hasil tindak pidana maka tindak pidana pencucian uang dianggap tidak pernah terjadi. Saat ini di dunia telah terjadi pergeseran paradigma penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari “follow the suspect” menuju orientasi pada aset atau harta kekayaan “follow the money” pengembalian aset tindak pidana untuk kepentingan negara maupun pihak yang dirugikan merupakan tujuan utama dari konsep “follow the money”.
ADVERTISEMENT
Di samping itu konsep “follow the money” juga memiliki pendekatan preventif yaitu pelaporan transaksi mencurigakan atau pengawasan terhadap institusi perbankan dan pendekatan represif yaitu pemidanaan pelaku dan perampasan harta kekayaan hasil kejahatan untuk memutus mata rantai kejahatan pencucian uang dan meruntuhkan roda bisnis dari organisasi kejahatan.
Dalam konsep “follow the money” apabila terjadi kejahatan pencucian uang maka penelusuran harta kekayaan merupakan salah satu aspek penting selain menangkap para pelaku pencucian uang. Konsep “follow the money” juga mendorong penegak hukum untuk tidak diam menunggu kejahatan terjadi kemudian bertindak melainkan selalu berkoordinasi dengan Financial Intelligence Unit (FIU) atau di Indonesia dikenal PPATK, yang mengawasi segala bentuk transaksi mencurigakan yang terjadi.
Jika ditemukan aset yang mencurigakan asal usulnya maka penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bisa memulai penyelidikan berdasarkan laporan dari PPATK. Penegakan hukum kasus pencucian uang di Indonesia sampai saat ini masih berorientasi pada pelaku “follow the suspect” salah satu alasan untuk mendukung argumen ini adalah dalam pandangan hukum pencucian uang Indonesia sepanjang belum adanya pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dalam perkara asal, maka segala hal terkait dengan aset tidak bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan “follow the money” dan “follow the suspect” tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penegakan hukum yaitu memberi efek jera kepada pelaku dan memberikan deterrent effect bagi publik dan merampas hasil tindak pidana untuk negara diperlukan kerja sama para penegak hukum untuk mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Dalam Undang-Undang PP TPPU Pasal 77 terdakwa diwajibkan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Jika terdakwa berhasil untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya tersebut berasal dari hasil yang sah maka keadaan ini dapat memberikan petunjuk kepada hakim dalam pengambilan keputusan.
Disisi lain jaksa penuntut umum tetap harus membuktikan unsur-unsur pasal yang didakwakan. Selanjutnya alat bukti yang diajukan di persidangan baik oleh terdakwa maupun jaksa penuntut umum akan dilakukan penilaian oleh hakim.
ADVERTISEMENT
Dalam hal putusan pengadilan menyatakan harta kekayaan terdakwa bukan hasil dari tindak pidana, maka harta kekayaan tersebut tetap dalam penguasaan terdakwa ataupun ahli warisnya dan ada kemungkinan terdakwa memperoleh putusan bebas (Vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van alle rechtsvervolging). Sebaliknya jika putusan Pengadilan menyatakan harta kekayaan terdakwa hasil dari tindak pidana, maka terdakwa dijatuhi pidana dan harta kekayaannya dirampas untuk negara.
Kesimpulan
Pembuktian terbalik dalam Undang-Undang PP TPPU diterapkan terhadap harta kekayaan terdakwa. Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa berasal dari tindak pidana, namun konsep pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 yang diterapkan baik untuk tindak pidana pencucian uang aktif (Pasal 3 dan Pasal 4) dan tindak pidana pencucian uang pasif (Pasal 5) tidak dijelaskan secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang PP TPPU, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
Akibat hukum terhadap harta kekayaan terdakwa dalam pembuktian terbalik perkara pencucian uang yaitu apabila terdakwa berhasil membuktikan bahwa harta tersebut bukan berasal dari tindak pidana maka harta kekayaan tersebut tetap dalam penguasaan terdakwa dan ahli warisnya. Namun jika terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta tersebut bukan berasal dari tindak pidana maka harta kekayaan tersebut dalam putusan hakim akan dirampas untuk negara.
Dalam aspek pembuktian tindak pidana pencucian uang harus ada perubahan yang komprehensif dan tegas agar proses pembuktian terbalik (dalam pelaksanaannya lebih menjamin kepastian hukum) dan perlu segera disahkannya RUU Perampasan Aset yang saat ini sedang disusun di DPR RI agar dapat membantu instansi penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta mendorong proses penegakan hukum yang lebih efektif yaitu dengan merampas aset hasil dari tindak pidana pencucian uang.
ADVERTISEMENT