Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ibu Kota Baru, Harapan atau Luka Lama yang Diulang?
4 Mei 2025 15:14 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Rizki Mo'arota Duha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa yang tumbuh dalam dinamika sosial dan politik Indonesia, saya menyambut dengan rasa penasaran dan waswas terhadap proyek besar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan. Pemerintah menyebut proyek ini sebagai simbol transformasi bangsa, perpindahan pusat pemerintahan dari Jakarta yang padat dan sumpek menuju kota yang hijau dan modern. Namun, pertanyaan saya sederhana: transformasi untuk siapa?
ADVERTISEMENT
Pembangunan IKN memang terdengar megah. Jalanan lebar, gedung ramah lingkungan, hingga konsep kota pintar yang konon akan menjadi wajah masa depan Indonesia. Tapi di balik megahnya rencana, suara masyarakat adat, lingkungan hidup, dan realita sosial seolah tertinggal. Lahan yang kini digunakan untuk pembangunan adalah bagian dari wilayah hidup suku-suku Dayak yang sejak lama menjaga hutan sebagai ibu bagi kehidupan mereka. Apakah suara mereka benar-benar diikutsertakan dalam pengambilan keputusan?
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa pembangunan harus berpihak pada rakyat. Kita tidak bisa mengulang luka lama di mana pembangunan dilakukan atas nama kemajuan, tetapi meninggalkan jejak ketidakadilan. Dalam berbagai studi, pembangunan besar sering kali memicu penggusuran, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan. Apakah kita ingin menjadikan IKN sebagai contoh keberhasilan pembangunan, atau hanya memperindah wajah ketimpangan?
ADVERTISEMENT
Tidak berarti saya menolak sepenuhnya gagasan IKN. Saya paham Jakarta sudah terlalu padat, dan pemindahan ibu kota mungkin menjadi salah satu solusi. Namun, prosesnya harus terbuka, partisipatif, dan berkelanjutan. Jangan sampai kita membangun kota baru dengan cara lama: elitis, tertutup, dan mengabaikan keberlanjutan.
Sebagai generasi muda, saya ingin melihat Indonesia tumbuh tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam kesadaran sosial dan ekologi. Pembangunan IKN seharusnya menjadi cermin kematangan bangsa, bukan sekadar proyek kebanggaan yang dibangun terburu-buru demi simbol politik.
Jangan biarkan ibu kota baru menjadi luka baru. Bangunlah dengan hati, bukan hanya dengan beton.
Rizki Mo'arota Duha,Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Universitas Katolik Santo Thomas Medan.