Konten dari Pengguna

Petani di Ibukota: Profesi Antara Ada dan Tiada

6 November 2017 16:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Mubarok tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petani di Ibukota: Profesi Antara Ada dan Tiada
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia adalah negara agraris, begitulah republik kita dikenal oleh dunia, bahkan dahulu Portugis dan Belanda, rela jauh-jauh dari Eropa ke Indonesia karena hasil pertanian di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, muncul sebuah pertanyaan apakah Indonesia dewasa ini masih cocok dikatakan sebagai negara agraris? Mengingat berdasarkan data yang dikeluarkan BPS mengungkapkan bahwa jumlah petani di Indonesia mengalami penurunan lebih dari 20%, hal ini dikarenakan banyak anak-anak muda yang tidak mau lagi bekerja sebagai petani.
Penurunan jumlah petani itu terjadi secara masif di wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar yang ada di Indonesia, salah satunya ialah Jakarta. Penduduk di Kota Jakarta cenderung memilih bekerja di sektor formal, sangat sedikit sekali yang memilih untuk menggeluti bidang pertanian.
Namun lain halnya denga Samari dan Kusnadi. Ketika ditemui kumparan (kumparan.com) di Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat Senin (6/11), mereka memilih menjalani profesi sebagai petani yang sangat sedikit sekali di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ketika disinggung mengenai alasan memilih menjadi petani di kota metropolitan ini, jawaban yang cukup bijak keluar dari kedua orang ini.
"Kalau semua orang kerja kantoran, nanti yang mau jadi petani siapa, mas? Toh, kita juga bisanya cuma bertani", ujar salah satu dari petani ketika ditemui kumparan (kumparan.com).
Lahan pertanian yang tersisa di Jakarta sejatinya ada beberapa, namun tidak sebanyak dulu.
"Ada beberapa, di Bulak ada, di Kopti ada, tapi gak sebanyak dulu", ujar Kusnadi
Saat kumparan berkesempatan untuk berbincang lebih jauh dengan mereka, kami menemukan berbagai hal yang menarik, diantaranya ialah fakta bahwa tanah yang mereka garap bukan tanah milik sendiri.
"Tanah ini milik PT, Jadi kita menggarap ya tidak apa-apa, selama PT tidak butuh, kalo mereka butuh ya mau gak mau harus pergi", ucap Samari.
ADVERTISEMENT
Selain itu menurut Kusnadi, untuk menggarap lahan tersebut petani tidak perlu mengeluarkan sama sekali, terkecuali sudah ada petani yang menggarap sebelumnya.
"Kalo mau garap lahan ini gak perlu bayar mas, yang penting ijin saja, kecuali kalo sudah digarap sama orang lain, baru negosiasi sama yang garap duluan mengenai biaya", ucap Kusnadi.
Penghasilan Tak Tentu
Berbicara mengenai penghasilan, petani dimanapun selalu saja mempunyai permasalahan yang sama, yakni mengenai penghasilan yang tidak menentu, di mana harga pupuk dan obat-obatan cenderung naik, di sisi lain harga sayuran cenderung fluktuatif mengikuti pasar.
Hal itu pula yang mendasari Samari dan Kusnadi tidak berani menanam palawija, menurut mereka, palawija masa pertumbuhannya cenderung lebih lama daripada sayuran seperti kangkung, kemangi, caisim dan bayam.
ADVERTISEMENT
"Kalau Palawija itu lama mas, sebenarnya tanahnya bisa ditanamin, tapi takutnya pas panen harganya lagi turun, kalo sayuran begini kan cuma 20 hari lebih", ujar Kusnadi.
Untuk penghasilan dari bertani sendiri menurut penuturan dia, sangat variatif, terkadang perkotak bisa mendapatkan 1 juta rupiah, terkadang Rp.500 Ribu Rupiah.
"Penghasilan sendiri kadang sejuta, kadang Rp.500 ribu, kaya sekarang ini lagi murah banget, ya dapetnya Rp.500 ribu, itu kotor", ujar Kusnadi.
Pasar Sedang Lesu
Kusnadi menuturkan bahwa sekarang harga sayur sedang jelek-jeleknya. Untuk harga satu gebung (isi 20 ikat) itu dihargai sekitar Rp 8 Ribu, hal ini terjadi sekitar 3 bulan terakhir, sejak hari raya idul fitri.
Menurutnya harga pernah naik sekitar 15 ribu, tetapi hal itu hanya terjadi sekitar satu minggu, namun harga sayur juga pernah menukik tajam sampai Rp 7 ribu.
ADVERTISEMENT
Petani di Ibukota: Profesi Antara Ada dan Tiada (1)
zoom-in-whitePerbesar
Ia pun menuturkan bahwa dari Rp 8.000, ia hanya bisa menampung sedikit keuntungannya, belum dikurangi oleh upah mencabut dan mencuci, upah mencabut dan mencuci sendiri sekitar Rp 2.000.
Rp 6.000 yang ia terima sendiri masih harus dikurangi oleh biaya pupuk dan biaya obat.
"Biaya obat sekali semprot itu Rp 50.000 dalam sekali masa panen ada sekitar 3 kali semprot, sedangkan pupuk itu Rp 100.000, harus dua kali disemprot, belum kulinya, Rp. 70.000 sehari", ujar Kusnadi.
kumparan mencoba mengkalkulasi keuntungan yang kira-kira diperoleh Kusnadi dalam masa panen per-kotaknya. Menurut dia, per kotak ladang bisa menghasilkan 60-80 gebung, apabila kita ambil rata-rata 70, maka penghasilannya sekitar 70 x Rp 8.000 = Rp 560.000. Lalu dikurangi biaya cabit cuci, sekitar Rp 140.000, tersisa Rp 420.000.
ADVERTISEMENT
Apabila kita kurangi biaya pupuk dan obat kira-kira nilai bersih yang diperoleh dia sekitar Rp 100.000 (dengan asumsi perkotak tidak sama ukuran, serta biaya perawatannya).
Ketika ditanyakan, Kusnadi sendiri menggarap sekitar 11 kotak lahan, jadi kurang lebih penghasilan dia di masa harga sedang lesu sekitar Rp. 1.100.000 (Asumsi ini apabila seluruh tanaman yang ditanam Kusnadi ialah Bayam semua, sebagai catatan Kusnadi tidak hanya menanam bayam, namun mayoritas bayam)
Keuntungan yang sedemikian tipisnya tidak mengurungkan niat Kusnadi untuk bertani.
"Kita mah wong tani yang penting bisa makan, apalagi harga lagi murah banget, gak dibuang aja syukur", Ujar Kusnadi.
Pupuk yang Mahal
Salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh Kusnadi sangat sedikit ialah mahalnya harga pupuk, menurut penuturan beliau, pupuk urea yang ia terima tidak lagi di subsidi.
ADVERTISEMENT
"Urea yang di subsidi harganya Rp 5.000/kg sedangkan yang putih, yang tidak di subsidi sekitar Rp.7.000", ujarnya.
"Yang Rp 5.000 itu namanya doang pupuk subsidi, tapi harganya enggak subsidi", tambahnya.
Hal tersebut ia ambil kesimpulan dengan membandingkan harga pupuk yang sama di daerahnya.
"Kalau di kampung satu karung itu harganya sekitar Rp 90.000, nah sedangkan di sini, itu sekitar Rp 180.000", ucap Kusnadi.
Ketika kumparan mencoba mencari tahu harga pupuk urea yang dimaksud, penulis menemukan bahwa harga pupuk urea non subsidi dijual Rp 3.800/Kg.
Jalur Distribusi Terlalu Panjang.
Jalur distribusi suatu barang untuk sampai ke tangan konsumen juga mempengaruhi harga, sebagai contoh, ketika Kusnadi menjual Rp 400 per ikat lalu dia jual kepada tengkulak, lalu tengkulak menjual kembali kepada pedagang pasar, lalu dari pedagang pasar bisa sampai ke tangan konsumen langsung, atau melanjutkan ke tukang sayur keliling yang baru ke tangan konsumen.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut yang membuat perbedaan sangat jauh dari harga yang konsumen keluarkan untuk membeli sayur, dengan harga yang Kusnadi terima sebagai petani.
Hal ini coba kami konfirmasi kepada salah satu penjual makanan di sekitar situ, Wasikha.
"Kalau ukuran segitu biasanya di pasar sekitar Rp 1000- Rp 2000", ucap Wasikha.
Untuk membandingkan harga, kami juga melakukan survey ke retail modern di sekitar situ, di mana di retail tersebut dengan ukuran yang sangat jauh lebih kecil dari ukuran satu ikat dari Kusnadi namun memiliki harga yang mahal, sekitar 2 kali lipat.
Petani di Ibukota: Profesi Antara Ada dan Tiada (2)
zoom-in-whitePerbesar
Petani di Ibukota: Profesi Antara Ada dan Tiada (3)
zoom-in-whitePerbesar
Meilhat hal-hal tersebut sejatinya agak sedikit miris melihat petani yang merupakan profesi yang sangat mulia dan sudah langka di ibukota, namun sangat sulit untuk mencapai kata sejahtera. Petani di ibukota walaupun sudah sangat langka, namun mereka sejatinya membutuhkan perhatian pemerintah, baik dalam bentuk subsidi maupun keringanan lainnya
ADVERTISEMENT