Pilkada dan Pemilu: Pesta Demokrasi atau Perebutan Kekuasaan Elit?

Konten dari Pengguna
10 Januari 2018 23:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Mubarok tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini, pemberitaan di media riuh ramai dengan Pilkada serentak 2018. Perhelatan lima tahunan tersebut acapkali disebut sebagai "pesta demokrasi."
ADVERTISEMENT
Kata pesta dan kata demokrasi yang kerap disandingkan dalam acara lima tahunan tersebut rasanya aneh. Secara harfiah pesta demokrasi dapat dimaknai dengan perayaan demokrasi, pertanyaannya---apa yang dirayakan dari demokrasi Indonesia?
Sebelum berbicara lebih jauh, lebih bijak apabila kita memahami---apa itu demokrasi. Untuk memahami konsep demokrasi, kita perlu memahaminya dalam konteks sejarahnya. Konsep demokrasi sebagaimana kita pahami sekarang ini, yaitu yang identik dengan pemilihan umum (pemilu), hak-hak dan kebebasan dasar (basic rights and liberties) seperti kebebasan sipil dan politik, dan pergantian kekuasaan sesungguhnya merupakan pembacaan yang cukup baru. Pembacaan ini setidaknya mulai populer di tengah Abad ke-19, hingga sekarang.
Ya, tepat, dewasa ini demokrasi dipersempit maknanya menjadi sebatas pergantian kekuasaan, demokrasi dipersempit hanya menjadi proses elektoral semata. Schumpeter adalah penggagas utama dari konsepsi ini. Baginya, tidak ada yang namanya kebaikan publik (common good) karena tiap-tiap individu memiliki preferensinya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Yang bisa dilakukan individu di dalam konteks politik adalah memilih politisi untuk mewakili preferensinya dalam kancah perdebatan mengenai kebijakan publik. Demokrasi, dengan kata lain, hanyalah prosedur pemilihan dan sirkulasi elit.
Implikasinya, bukan demos yang berkuasa, melainkan lapisan elit yang merepresentasikan rakyat. Hal tersebut dapat kita lihat dalam proses pra-demokrasi dewasa ini. Dimana para ketua partai dan para petinggi-petingginya yang merupakan elit-elit memilih siapa-siapa saja yang akan dipilih rakyat dalam mekanisme pemilu.
Tarik ulur dukungan, drama-drama antar partai, hampir tiap hari kita saksikan. Para elit partai politik seakan punya kuasa penuh untuk menentukan siapa saja yang akan kita pilih.
Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara. Saat rakyat menggunakan hak pilihnya dalam proses pemilu, rakyat dianggap sudah tuntas dalam pelaksanaan demokrasi. Acapkali rakyat tidak dilibatkan dalam proses sebelum pemilu, dan bahkan sesudah pemilu.
ADVERTISEMENT
Coba kita lihat, apabila dalam perhelatan Pilkada serentak para elit partai politik memutuskan untuk memilih kambing yang berkompetisi dalam pilkada (sebagai catatan, peraturan kita tidak membolehkan), mungkin mau tidak mau kita harus memilih kambing dalam bilik-bilik suara.
Lalu, menjadi sebuah pertanyaan, apakah kontestasi Pilkada dan Pemilu masih layak menjadi sebuah pesta demokrasi? Atau hanya perebutan kekuasaan antar elit?