Pembubaran Tempat Prostitusi Bukanlah Solusi

Konten dari Pengguna
23 Januari 2018 23:16 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Mubarok tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu PSK asing yang diamankan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu PSK asing yang diamankan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tanah abang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Indonesia. Namun jangan salah, coba sesekali, pada malam hari Anda kesana, maka Anda akan menemukan puluhan wanita dengan make up tebal berjejer.
ADVERTISEMENT
Tepatnya di sekitar stasiun Tanah Abang di pinggir jalan, banyak wanita dari paruh baya sampai muda belia. Rumor mengatakan bahwa mereka merupakan PSK yang menjajakan diri mereka di situ.
Lalu, ada pertanyaan berkecamuk, mengapa disitu? Dan mengapa jadi tersebar seperti ini? Jakarta sendiri bisa dibilang memiliki "sentra pelacuran yang terkenal, mulai dari mangga besar, sampai Jakarta Barat dengan modus pijat dan spa nya."
Sepertinya, upaya pemerintah untuk membubarkan berbagai macam area pelacuran tidak memberi dampak yang signifikan. Bukannya mereka berhenti, malah mereka menjajakan diri menyebar dan tak terkendali.
Belajar dari penutupan di kramat tunggak misalnya, mereka tidak berhenti menjadi pelacur. Mereka tetap melacur, namun menyebar.
Imbas dari penyebaran ialah sulitnya kontrol dari dinas kesehatan untuk mendata para pelacur tersebut. Yang hasilnya penyakit mengerikan seperti HIV sangat amat rawan menyebar.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai pelacuran, sebuah artikel yang ditulis Forrest Nickman di Slate.com, 6 Maret 2012, berdasarkan keterangan antropolog University of Chicago, Don Kullick, menerangkan bahwa prostitusi memang sudah ada sejak awal peradaban manusia, tetapi belum bisa dipastikan apakah PSK merupakan profesi tertua.
Salah satu bukti bahwa prostitusi sudah ada ribuan tahun lalu adalah naskah Alkitab. Disebutkan, tentara Israel dahulu punya banyak istri dan selir. Raja Solomon dikenal punya 700 istri dan 3.000 selir. Pada masa Romawi Kuno, orang sudah bisa membeli seks dengan koin.
Lalu, bagaimana cara mengatasi pelacuran tersebut? Menurut hemat saya, pelacuran akan sangat sulit dihilangkan sama sekali, mungkin kita bisa berupaya menguranginya. Karena pada hakikatnya seperti mengutip syair lagu Silampukau, bahwa pelacur dan mucikari kan hidup abadi, salah satu cara mengatasi ialah dengan mengelompokkan.
ADVERTISEMENT
Dengan pengelompokan tentu akan lebih mudah bagi dinas terkait untuk melakukan kontrol terhadap penyakit dan tentu pembinaan. Pelacur merupakan bagian yang lain dari masyarakat, tentu untuk masuk kembali menjadi bagian seutuhnya dari masyarakat, butuh persiapan.
Berbicara mengenai pelacur, saya jadi teringat sajak dari WS Rendra yang berjudul "Pelacur Ibukota Bersatulah". Berikut sebagian sajak yang menurut saya sedikit "nyambung" dengan tulisan saya.
Politisi dan pegawai tinggi Adalah caluk yang rapi Kongres-kongres dan konferensi Tak pernah berjalan tanpa kalian Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’ Lantaran kelaparan yang menakutkan Kemiskinan yang mengekang Dan telah lama sia-sia cari kerja Ijazah sekolah tanpa guna.