Perjuangan Revolusi Kemerdekaan Kaum Ulama dan Santri di Jawa Timur

Rizki Oktafiyanto
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang 2020
Konten dari Pengguna
29 April 2022 14:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Oktafiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
KH Hasyim Asy'ari & Bung Tomo. Photo by : Rizki Oktafiyanto
zoom-in-whitePerbesar
KH Hasyim Asy'ari & Bung Tomo. Photo by : Rizki Oktafiyanto
ADVERTISEMENT
Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa ini memasuki masa baru yang dikenal dengan “revolusi”, dimana pada saat itu keadaan memaksa banyak pihak dari berbagai golongan terlibat dalam upaya-upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada September 1945 ketika tentara Sekutu dan NICA datang ke Indonesia dengan tujuan mengembalikan kekuasaan lama Belanda di wilayah ini, membuat keadaan di berbagai daerah kembali memanas akibat kondisi sosial politik yang tidak jelas, yang di perparah dengan provokasi di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Peristiwa-peristiwa bentrokan fisik yang menimbulkan korban terjadi di berbagai penjuru daerah. Seperti salah satunya yang terjadi di Surabaya, dimana peristiwa bentrokan fisik yang terkenal terjadi pada 10 November 1945, dan sekaligus menjadi monumen ingatan paling berpengaruh bagi tumbuhnya nasionalisme dan patriotisme Indonesia dari masa Revolusi.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya para kaum elit politik, anggota militer, ataupun masyarakat biasa yang ikut dalam perjuangan tersebut. Salah satu golongan yang juga memiliki peranan besar dalam peristiwa ini yaitu santri dan kaum agamawan. Hal tersebut juga karena pada saat itu Jawa Timur juga merupakan tempat pendidikan Islam tradisional yang cukup berpengaruh sejak masa pergerakan, sehingga tidak heran jika santri dan kaum agamawan di sana memiliki andil besar dalam proses menegakkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah jatuhnya kota-kota besar di Jawa ke tangan sekutu dan kondisi pemerintahan republik yang sudah mulai terdesak, membuat Kiai di Jawa Timur dibawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dan NU (Nahdlatul Ulama) secara organisasional mengadakan pertemuan guna menentukan sikap untuk mengatasi hal tersebut. Kemudian muncullah sebuah kesepakatan patriotis di kalangan Kiai dan santri dalam perjuangan menegakkan cita-cita proklamasi dalam bentuk resolusi jihad. Situasi yang kian mendesak dan kewajiban mempertahankan umat Islam dari serangan “kaum kafir” dengan tujuan jahatlah yang membuat resolusi jihad ini dikeluarkan. Dan dengan resolusi ini dapat menjadi motivasi terbesar dari kalangan muslimin di Jawa Timur untuk bergerak melakukan pemberontakan.
Resolusi jihad dicetuskan pada 22 Oktober 1945, keputusan diambil oleh ulama dari berbagai cabang NU di Jawa dan Madura yang saat itu sedang berada di Surabaya. Para ulama dengan sangat yakin mendeklarasikan pernyataan bahwa “mempertahankan kemerdekaan harus ditempuh dengan tindakan jihad”. Dimana santri memiliki peran strategis dan berada pada barisan Hisbullah, sementara para Kiai berada di barisan Mujahiddin.
ADVERTISEMENT
Beberapa perjuangan lain yang dilakukan oleh kaum ulama diantaranya, perjuangan Kiai Subchi Parakan atau Kiai Bambu Runcing, dimana ia dan para santrinya berjuang menggunakan senjata bambu runcing dalam perjuangan jihad. Di Pesantren Buntet, Kiai Abbas membentuk Laskar Santri bernama Asybal dan Athfal. Pesantren ini juga dijadikan sebagai markas latihan Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan para pasukan PETA. Laskar Hizbullah merupakan tentara rintisan para ulama dan santri yang ikut berjuang dalam peperangan 10 November 1945 di Surabaya yang dipimpin K.H. Hasyim Asy’ari dengan semangat resolusi jihadnya.