Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kejahatan Siber di Era Digital: Peran SDGs 16 dan Pancasila
20 November 2024 14:28 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari RIZKI PRADANA EXTIANSYAH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital yang semakin kompleks, tantangan global seperti kejahatan siber (cyber crime) kian mengemuka dan memerlukan solusi yang melibatkan berbagai pihak. Salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang relevan dalam konteks ini adalah SDGs 16, yaitu mengenai perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat. Penerapan nilai-nilai Pancasila, sebagai ideologi dasar bangsa Indonesia, dapat menjadi landasan penting dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah kejahatan siber. Nilai-nilai seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan dapat diterjemahkan ke dalam bentuk kolaborasi yang lebih efektif antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri digital dalam menanggulangi kejahatan siber. Artikel ini akan mengupas hubungan antara SDGs 16 dan penerapan nilai-nilai Pancasila, serta bagaimana keduanya dapat diterapkan dalam membentuk regulasi, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memperkuat sistem keamanan digital untuk menghadapi tantangan cyber crime di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melansir dari BPPTIK bahwa data statistik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat telah terjadi 370,02 juta serangan siber terhadap Indonesia pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi 266,74 juta serangan siber. Jumlah ini meningkat sebesar 38,72%. Sektor administrasi pemerintahan menjadi target utama serangan siber di Indonesia dengan serangan berjumlah 284,09 juta. Selain itu, bentuk serangan siber ini beragam jenisnya. Berikut ini contoh beberapa kasus kejahatan siber dari sumber-sumber terpercaya, diantaranya:
Kejahatan Siber dalam Dunia Perbankan
Melansir pada Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI permasalahan utama dalam konteks ini adalah meningkatnya kejahatan siber seiring perkembangan teknologi perbankan digital yang mengubah perilaku transaksi masyarakat. Kejahatan siber seperti peretasan data, pencurian identitas, dan penipuan daring menjadi ancaman serius. Jumlah transaksi elektronik yang tinggi serta data yang dikumpulkan dari platform digital turut meningkatkan risiko pencurian data, terutama pada masa pandemi. Indonesia mencatat kasus kebocoran data yang signifikan, menjadikannya negara dengan kasus terbanyak ketiga di dunia.
ADVERTISEMENT
Rezky Yayang Yakhamid, ASN di Lembaga Administrasi Negara mengumpulkan data dari berbagai sumber terpercaya untuk mendukung analisis tren kejahatan dunia maya di Indonesia. Misalnya, mereka menggunakan statistik volume transaksi dari Bank Indonesia dan jumlah pelanggaran data dari Surfshark, sebuah firma keamanan dunia maya. Informasi ini memberikan wawasan tentang lonjakan transaksi digital dan risiko kejahatan dunia maya yang terkait, terutama selama gangguan ekonomi baru-baru ini. Dilansir dari data yang dirilis oleh Bank Indonesia, jumlah transaksi elektronik mulai meningkat sejak tahun 2012 pada saat awal booming-nya internet di Indonesia. Saat itu, jumlah transaksi elektronik mencapai total 100.635 transaksi. Delapan tahun berselang, pada tahun 2020, jumlah transaksi elektronik meningkat 150 kali lipatnya menembus angka 15.043.475 transaksi dengan nilai transaksi mencapai 504.956 miliar rupiah.
ADVERTISEMENT
Penipuan online atau phishing merupakan salah satu bentuk kejahatan siber yang sangat merugikan masyarakat. Dalam beberapa kasus, pelaku mengirimkan email atau pesan teks palsu yang tampak seperti dari bank resmi, dengan tujuan mencuri informasi rahasia seperti nomor rekening atau kata sandi nasabah. Banyak korban mengalami kerugian finansial yang signifikan akibat penipuan ini. Tindakan ini bertentangan dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena pelaku mengeksploitasi kepercayaan orang lain demi keuntungan pribadi. Ini juga melanggar Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, karena merusak kepercayaan antara lembaga keuangan dan nasabah.
Terkait dengan SDGs 16, kasus penipuan phishing menyoroti kebutuhan akan keadilan dan keamanan di dunia digital. Untuk mencapai tujuan SDGs 16, bank dan lembaga keuangan perlu memperkuat sistem keamanan mereka, serta memberikan edukasi kepada nasabah tentang cara melindungi diri dari penipuan online. Selain itu, kelembagaan yang tangguh diperlukan untuk menindak tegas pelaku penipuan dan memberikan perlindungan hukum kepada korban.
ADVERTISEMENT
Peretasan Data Pribadi
Melansir pada ITS news Muhammad Aulia Zikra ini menggunakan data dari beberapa sumber terpercaya untuk memberikan gambaran lengkap mengenai isu kebocoran data pribadi di Indonesia. Ia mengutip statistik dari katadata.id yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah akun yang mengalami kebocoran data terbanyak pada kuartal ketiga tahun 2022, menyoroti skala permasalahan ini. Selain itu, penulis menggunakan pernyataan dari situs resmi seperti kominfo.id, di mana Menteri Komunikasi dan Informatika menyampaikan prioritas pemerintah dalam menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi. Penulis juga menambahkan contoh kasus peretasan yang dilakukan oleh sosok terkenal seperti Bjorka, yang meretas data pejabat publik untuk tujuan politik, menunjukkan bahwa motif peretasan dapat bermacam-macam, mulai dari motif finansial hingga politik. Melalui penggunaan data dari dataindonesia.id, penulis juga menjelaskan bahwa keuntungan finansial menjadi motif utama peretas, terutama di masa krisis ekonomi akibat pandemi. Metode pengambilan data yang beragam ini bertujuan memberikan informasi faktual yang akurat dan berbasis pada data terpercaya.
ADVERTISEMENT
Para pelaku merusak tampilan situs dan mencuri data penting sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tertentu. Tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, karena melibatkan perbuatan yang tidak bermoral seperti pencurian dan perusakan data milik publik. Selain itu, tindakan ini melanggar Sila kedua Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, karena merugikan kepentingan masyarakat yang membutuhkan layanan informasi dari situs tersebut.
Dalam konteks SDGs 16, kasus ini menunjukkan tantangan dalam membangun kelembagaan yang tangguh, khususnya dalam hal keamanan digital dan perlindungan data publik. Untuk mencapai perdamaian dan keadilan, diperlukan upaya lebih dari pemerintah untuk meningkatkan keamanan siber, termasuk pengembangan infrastruktur digital yang lebih aman, serta memperkuat kerangka hukum untuk melindungi situs dan data pemerintah dari serangan siber. Ini juga mencakup pelatihan bagi pegawai pemerintah untuk mengelola risiko siber secara lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Penyebaran Berita Hoax Covid-19 yang Ditangkap Polisi
Melansir data dari Berita Kompas, Warga Kecamatan Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, berinisial SFH (27) ditangkap aparat Polres Polres Bondowoso, Rabu (18/3/2020). Perempuan tersebut merupakan warga yang menyebarkan informasi hoaks bahwa ada salah satu warga Bondowoso positif corona melalui Facebook. Kapolres Bondowoso, AKBP Erick Frendriz mengatakan, video yang telah beredar ke berbagai group Facebook itu diberi keterangan bahwa virus corona telah masuk ke daerah Bondowoso, di mana seorang warga Kecamatan Sumber Wringin positif corona dan dijemput di Terminal Bondowoso. (Penyebar Hoaks Covid-19 ditangkap Polisi) Beberapa pelaku menyebarkan informasi palsu ini dengan tujuan menimbulkan kepanikan di masyarakat atau merusak reputasi pemerintah.
Tindakan ini bertentangan dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena merugikan masyarakat luas dengan menyebarkan ketakutan dan memanipulasi opini publik. Ini juga merusak Sila Persatuan Indonesia karena dapat memecah-belah masyarakat dengan informasi yang salah.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif SDGs 16, penyebaran hoax dan ujaran kebencian mengancam perdamaian dan stabilitas sosial. Untuk mencapai tujuan SDGs 16, yaitu perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat. Ini termasuk meningkatkan literasi digital masyarakat, memperkuat regulasi anti-hoaks, serta memastikan adanya mekanisme hukum yang efektif untuk menangani pelanggaran. Dengan memperkuat kelembagaan yang tangguh, masyarakat dapat dilindungi dari ancaman informasi palsu yang dapat mengganggu ketertiban umum.