Konten dari Pengguna

Bergabung dengan BRICS: Harapan Baru Nilai Tukar Rupiah dan Sistem Pembayaran

Rizki Pradipto Widyantomo
Central Banker at Bank Indonesia
5 November 2024 12:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Pradipto Widyantomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Salah satu pilar kerja sama BRICS yang sedang digalakkan adalah pengembangan sistem pembayaran lintas negara dengan mata uang lokal.

Sumber : Bank Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Bank Indonesia
Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) menjadi langkah strategis dalam memperkokoh fondasi ekonomi nasional. Dengan total PDB gabungan sebesar lebih dari 27% dari ekonomi dunia dan hampir separuh populasi global, BRICS merupakan kekuatan ekonomi yang signifikan. Dalam konteks ini, keanggotaan Indonesia diharapkan mampu menciptakan peluang baru bagi penguatan nilai tukar rupiah dan sistem pembayaran domestik.
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah, yang kerap dipengaruhi oleh volatilitas eksternal, menghadapi tantangan dari fluktuasi dolar AS yang menguasai lebih dari 60% perdagangan internasional. Menurut data Bank Indonesia (2023), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tekanan yang cukup besar di tengah ketidakpastian ekonomi global, dengan penurunan nilai tukar hingga 3% sepanjang semester pertama 2023. Dengan bergabung di BRICS, Indonesia berkesempatan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS melalui peningkatan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi antar anggota.
Salah satu pilar kerja sama BRICS yang sedang digalakkan adalah pengembangan sistem pembayaran lintas negara dengan mata uang lokal. Langkah ini diperkirakan dapat membantu negara anggota untuk lebih mandiri dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh, Tiongkok dan Rusia telah membentuk platform pembayaran bilateral yang memungkinkan transaksi antar kedua negara dilakukan dalam yuan dan rubel. Data menunjukkan bahwa sekitar 17% dari perdagangan bilateral Tiongkok dan Rusia pada 2022 telah beralih dari dolar AS ke mata uang lokal mereka.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia, implementasi inisiatif ini akan membantu mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar yang disebabkan oleh perubahan nilai dolar AS. Menurut laporan BI (2023), volatilitas nilai tukar yang disebabkan oleh eksposur dolar AS menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi inflasi domestik, terutama pada sektor impor. Dengan mendorong penggunaan rupiah dalam perdagangan internasional, Indonesia dapat memperkuat kestabilan ekonominya di tengah guncangan global.
Keberhasilan upaya ini tentu tidak terlepas dari dukungan kebijakan domestik yang konsisten. Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan intervensi ganda dalam menjaga stabilitas nilai tukar, baik melalui operasi moneter maupun pengaturan likuiditas valas. Pada Agustus 2023, cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar USD 137 miliar, yang merupakan salah satu penyangga stabilitas nilai tukar. Namun, dengan meningkatnya kebutuhan valas untuk impor energi dan infrastruktur, ketahanan ini perlu diperkuat melalui diversifikasi mata uang transaksi internasional.
ADVERTISEMENT
Menurut data Kementerian Perdagangan, volume perdagangan Indonesia dengan negara-negara BRICS terus meningkat, dengan kenaikan sebesar 9% pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan potensi besar bagi pengembangan sistem pembayaran berbasis mata uang lokal dalam kerangka BRICS. Selain itu, insentif fiskal untuk mendukung ekspor juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan cadangan devisa dan memperkuat posisi rupiah di pasar global.
Keanggotaan Indonesia di BRICS bukanlah solusi instan, tetapi merupakan langkah jangka panjang untuk menciptakan ekonomi yang lebih resilient dan mandiri. Indonesia berkesempatan untuk memanfaatkan platform ini sebagai pintu masuk memperluas pasar ekspor non-tradisional, terutama di sektor unggulan seperti produk kelapa sawit, karet, dan barang elektronik. Data menunjukkan bahwa pada 2023, ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS mencapai USD 35 miliar, atau sekitar 21% dari total ekspor non-migas.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu memperhatikan tantangan di era globalisasi yang semakin kompleks. Menurut laporan McKinsey & Company (2023), negara berkembang yang tidak melakukan inovasi di sektor finansial berisiko menghadapi peningkatan volatilitas pasar. Oleh karena itu, kolaborasi Indonesia dengan BRICS diharapkan tidak hanya memperkuat nilai tukar rupiah, tetapi juga menciptakan sistem pembayaran yang lebih tangguh di masa depan.