Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ancaman Dibalik Megahnya Gedung Pencakar Langit Terhadap Lingkungan Sekitar
16 Desember 2022 15:00 WIB
Tulisan dari Rizki Rahmadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat membuat pembangunan semakin marak. Gedung-gedung bertingkat terus menjejali perkotaan, sehingga nyaris tak menyisakan ruang hijau. Kondisi ini paling terlihat di ibukota Jakarta. Bangunan-bangunan tinggi di Jakarta kini tak hanya ditemui di kawasan Thamrin, Sudirman dan Kuningan saja. Di pinggiran seperti kawasan TB Simatupang, BSD, ataupun Sunter pun sudah mulai semarak oleh gedung-gedung bertingkat. Selain Jakarta, kota-kota besar Indonesia juga semakin disesaki oleh gedung bertingkat seperti Surabaya dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, kehadiran gedung-gedung bertingkat ini bahkan sempat mendapatkan sorotan karena tingginya bahaya.
ADVERTISEMENT
Indonesia memang termasuk agresif dalam pembangunan gedung bertingkat. Pertumbuhannya yang pesat mendorong permintaan yang lebih besar akan keberadaan gedung-gedung perkantoran, mal, ataupun kawasan bisnis lainya. Berdasarkan catatan Council on Tall Building and Urbana Habitat (CTBUH), Indonesia menempati peringkat kedua Asia setelah Cina dengan penyelesaian pembangunan sembilan gedung.
Sembilan gedung itu adalah Sahid Sudirman Center Jakarta dengan ketinggiana 259 meter, Raffles Hotela Jakarta 253 meter, Sinarmas MSIG Tower Jakarta 245 meter, U-Residence 2 Karawaci Tangerang 209 meter, Seaview Condominium @ Greena Bay (Pluit Tower J Jakarta) 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Greena Bay (Pluit Tower K Jakarta) 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower L Jakarta) 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower M Jakarta) 208 meter dan Tunjungan Plaza 5 Surabaya 201 meter (Amir, 2020).
ADVERTISEMENT
Maraknya gedung-gedung bertingkat itu tentu saja berdampak pada sisi lingkungan. Maka dari itu, artikel ini akan membahas mengenai dampak dari pembangunan gedung bertingkat di Indonesiaa terhadap lingkungan. Tujuannya adalah agar para pembaca bisa mengetahui ancaman yang diberikan oleh mewahnya gedung pencakar langit terhadap lingkungan sekitar.
Pembahasan
Gedung-gedung bertingkat terus menjejali perkotaan, sehingga nyaris tak menyisakan ruang hijau. Kondisi ini paling terlihat di ibukota Jakarta. Bangunan-bangunan tinggi di Jakarta kini tak hanya ditemui di kawasan Thamrin, Sudirman dan Kuningan saja. Berikut ini merupakan ancaman yang diberikan oleh mewahnya gedung pencakar langit terhadap lingkungan sekitar.
Pertama, adanya gedung pencakar langit dapat menyebabkan banjir. Maraknya gedung-gedung bertingkat itu tentu saja berdampak pada sisi lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, lebih dari 90 persen kavling perkantoran tanahnya diperkeras baik dengan beton maupun aspal. Menurut peneliti, harusnya 30 persen dari bangunan itu tidak boleh diperkeras karena diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau. Kalau semua kavling diperkeras, lalu ketika hujan turun maka airnya terbuang ke jalan sehingga tidak heran, jika Ibukota Jakarta sering banjir. Hal ini terjadi karena tidak adanya ruang resapan di sekitar bangunan perkantoran tersebut (Media Indonesia, 2018).
ADVERTISEMENT
Kedua, gedung pencakar langit dapat menyebabkan adanya penurunan permukaan tanah. Gedung-gedung tinggi di Jakarta juga membutuhkan air bersih, sementara pasokan air kurang. Akhirnya, para pemilik gedung bertingkat itu melakukan penyedotan air tanah secara besar-besaran tanpa pengawasan. Akibatnya, penurunan permukaan tanah sangat tinggi. Hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) menunjukkan, penurunan muka tanah Jakarta sudah terjadi sejak 1974. Pada tahun 2010 disebutkan sebanyak 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, seperti dikutip laman Jakarta.go.id. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, hasil penelitian itu menyebutkan dalam tempo 10-20 tahun ke depan, sekitar 50 persen wilayah Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut. Data kuantitatif memaparkan sejak 1974-2010 ditemukan fakta telah terjadi penurunan permukaan tanah hinggaa 4,1 meter. Itu terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Tidak hanya itu sejumlah wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter,Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter (Kompasiania, 2017).
ADVERTISEMENT
Ketiga, pembangunan gedung mewah yang tinggi dapat menimbulkan efek rumah kaca. Pembangunan gedung bertingkat adalah sesuatu yang tak terhindarkan di tengah pembangunan ekonomia yang pesat. Pembangunan ini memiliki konsekuensi yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan. Ruang terbuka hijau menjadi sangat sedikit, menyebabkan berkurang oksigen dan rusaknya kualitas ozon. Hal ini juga mengakibatkan sesuatu yang lebih mengerikan, yaitu efek rumah kaca, sebagian panas yang seharusnya dipantulkan oleh bumi diperangkap oleh gas-gas rumah kaca di atmosfer. Inilah sebabnya kenapa bumi semakin panas setiap tahunnya. Menjadikan krisis iklim semakin mengkhawatirkan dewasa ini.
Keempat, Yani (2018) dengan penelitiannya menemukana bahwa bangunan bertingkat memiliki ancaman bahaya yang lebih tinggi dibandingkan bangunan yang tidak bertingkat. Telah banyak kasus di dunia terkait adanya kebakaran pada bangunan bertingkat seperti World Plasco Building di Tehran, Grenfell Tower di London, dan Cosmplitan of Las Vegas di Las Vegas. Salah satu masalah yang paling sering terjadi pada sejumlah kasus kebakaran bangunan bertingkat tinggi yang terjadi di dunia ialah sulitnya akses bagi pemadam kebakaran untuk mengendalikana api.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, untuk mengatasi dan meminimalisir dampak yang diberikan oleh bangunan gedung yang tinggi yaitu pemerintah dapat menciptakan ruang terbuka hijau. Pembangunan gedung bertingkat adalah sesuatu yang tak terhindarkan di tengah pembangunan ekonomi yang pesat. Solusinya adalah dengan menambah ruang-ruang terbuka hijau, untuk meminimalisir dampak lingkungan. Selain itu, seharusnya sebelum membangun gedung-gedung pencakar langit itu harus dipikirkan secara matang-matang apa nanti dampak negatif kedepannya. Setiap apa yang kita lakukan pasti akan ada dampak negatif yang terjadi. Namun, bila bisa dipikirkan sebelumnyaa bagaimana cara mengatasinya pasti bisa segera terselesaikan.
Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan gedung mewah dan tinggi di Indonesia dilakukan sejalan dengan adanya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pembangunan gedung mewah bertingkat tinggi ini seakan telah menjadi budaya orang Indonesia. Padahal, pembangunan gedung mewah tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan seperti menimbulkan banjir, penurunan permukaan tanah, efek rumah kaca dan sulitnya akses petugas kebakaran. Maka dari itu, diperlukan upaya yang kuat dari pemerintah dalam menciptakan ruang terbuka hijau untuk meminimalisir dampak yang akan diberikan oleh adanya pembangunan gedung bertingkat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Amir, Faisal. (2020). Banyaknya Gedung-gedung Pencakar Langit, Tanda Bahaya atau Kemakmuran?. Diakses dari https://www.rancah.com/berita/nasional/26920/banyaknya-gedung-gedung-pencakar-langit-tanda-bahaya-atau-kemakmuran/, pada tanggal 14 Desember 2022.
Kompasiania. (2017). Dampak dari Pembangunan Gedung Pencakar Langit di Indonesia. Diakses dari https://www.kompasiana.com/saaputr/59aff556a1a50a30984b8502/dampak-dari-pembangunan-gedung-pencakar-langit-di-indonesia, pada tanggal 14 Desember 2022.
Media Indonesia. (2018). Antisipasi Bahaya pada Gedung Tinggi. Diakses dari https://mediaindonesia.com/opini/141045/antisipasi-bahaya-pada-gedung-tinggi, pada tanggal 14 Desember 2022.
Yuni, Niswa Dewi April. (2018). Analisa Akses Pemdam Kebakaran Sebagai Proteksi Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Bertingkat Tinggi. Skripsi. Universitas Sumatera.