Konten dari Pengguna

Sakralitas Demokrasi Ilahi: Merenungi Sumpah Konklaf dalam Pemilihan Paus

Rizki Maulana Firdaus
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
8 Mei 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Maulana Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mozaik Yesus Kristus Photo by: PaoloGaetano /iStock.com
zoom-in-whitePerbesar
Mozaik Yesus Kristus Photo by: PaoloGaetano /iStock.com
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap global yang ditandai oleh pragmatisme politik, kalkulasi elektoral, dan erosinya idealisme kepemimpinan, konklaf yang merupakan ritus pemilihan Paus dalam Gereja Katolik menghadirkan sebuah antitesis yang nyaris transenden dan sarat nilai spiritual. Di balik dinding Kapel Sistina, yang berhias fresko-fresko agung karya Michelangelo, para kardinal berkumpul dalam keheningan yang sarat makna untuk menjalankan sebuah pemilihan yang bukan sekadar prosedural, melainkan spiritual.
ADVERTISEMENT
Salah satu elemen yang paling sentral dalam proses ini adalah sumpah yang diucapkan oleh setiap kardinal sebelum memberikan suara:
“Testor Christum Dominum, qui me iudicaturus est...”
yang berarti: "Aku bersaksi di hadapan Kristus Tuhan, yang akan menghakimiku..." Frasa ini bukan sekadar bagian dari liturgi formal, melainkan merupakan pernyataan komitmen moral yang paling mendalam. Sumpah tersebut menegaskan bahwa keputusan yang diambil bukanlah hasil dari kalkulasi strategis ataupun konsensus politik, melainkan lahir dari kontemplasi rohani dan kesetiaan pribadi terhadap kehendak ilahi.
Uskup selama upacara gereja di gereja Photo by: Krzysztof Winnik/iStock.com
Dalam konteks ini, konklaf tidak hanya dapat dipahami sebagai bentuk demokrasi internal Gereja, tetapi lebih jauh lagi sebagai suatu bentuk sakralitas deliberatif. Pilihan yang diambil merupakan ekspresi dari kesatuan antara nalar institusional dan suara hati nurani yang terbimbing oleh iman. Suara bukan hanya tindakan administratif, tetapi manifestasi dari doa dan tanggung jawab spiritual yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Menariknya, proses ini jauh dari hiruk-pikuk demokrasi modern yang sering kali tercemar oleh hasrat kuasa, pengaruh uang, dan manuver politis. Pemilihan dalam konklaf berlangsung dalam sunyi, tanpa kampanye, tanpa sorak-sorai. Setiap kardinal maju satu per satu, bersumpah di hadapan altar, dan memberikan suara dalam suasana yang hanya bisa disebut liturgis. Dalam keheningan itulah, sumpah menjadi paling lantang dan menggema tidak hanya di dalam ruang, tetapi juga di dalam hati dan nurani.
Lapangan Basilika Santo Petrus Photo by: katatonia82/iStock.com
Sumpah ini, dalam maknanya yang mendalam, menolak relativisme etis yang kerap melanda ranah publik dewasa ini. Ia menegaskan bahwa kekuasaan sejati tidak bersumber dari konsensus semata, melainkan dari kesetiaan kepada kebenaran dan tanggung jawab kepada Tuhan. Di sinilah kita melihat potret ideal dari kepemimpinan yang mana bukan sebagai hak istimewa, melainkan sebagai amanat yang kelak harus dipertanggungjawabkan secara transendental.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah makna sumpah ini masih relevan di era post-truth dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi? Justru kini, ketika nilai dan prinsip begitu mudah dikompromikan, konklaf menawarkan model etik yang menyejukkan dan bahwa setiap keputusan membawa konsekuensi rohani, serta kekuasaan sejati selalu tunduk pada pertanggungjawaban yang lebih tinggi dari sekadar hukum positif.
Ilustrasi seorang Paus Photo by: uzhursky/iStock.com
Lebih dari itu, sumpah dalam konklaf menyiratkan bahwa kepemimpinan adalah beban sakral. Ia tidak bisa dijalani dengan ringan atau demi kepentingan pragmatis. Dalam pengakuan akan penghakiman ilahi, terkandung kesadaran bahwa setiap pilihan adalah pertaruhan moral. Sumpah ini tidak menoleransi kalkulasi dangkal atau aliansi oportunistik. Ia menuntut integritas, yang mengakar dalam iman dan kesetiaan pada suara batin.
Pada akhirnya, sumpah ini menjadi penegasan bahwa dalam Gereja, politik dan spiritualitas tidak bisa dipisahkan. Setiap suara yang diberikan bukan hanya tindakan organisasi, tetapi persembahan rohani. Dalam dunia sekuler, mungkin sumpah seperti ini tidak bisa diterapkan secara literal. Namun semangatnya, yakni ketulusan, akuntabilitas moral, dan keterikatan pada kebenaran yang melampaui kepentingan sesaat merupakan cermin yang layak direnungkan oleh siapa pun yang memegang tanggung jawab publik.
ADVERTISEMENT